Hasil Riset: Buzzer Bisa Ancam Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi

Hasil Riset: Buzzer Bisa Ancam Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Di Indonesia, pasukan siber atau buzzer yang gemar membelah opini publik lewat media sosial tampaknya bukan omong kosong belaka. Hasil riset terbaru dari Oxford Internet Institute (OII) menunjukkan, disinformasi atau informasi palsu di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh buzzer besutan partai politik dan politikus atau kontraktor swasta. 

Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Komunikasi Universitas Indonesia, menjelaskan dalam The Conversation, tugas buzzer utamanya adalah menciptakan propaganda.

Strategi komunikasi yang digunakan oleh pasukan bayaran ini tak lain membuat informasi palsu dan mengamplifikasi pesan dalam media sosial melalui pembuatan tagar atau mempercepat sirkulasi disinformasi. Para buzzer biasanya bekerja berdasarkan pesanan. 

Buzzer adalah fenomena global. Mereka tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga ada di negara lain, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Berdasarkan riset Oxford, para buzzer biasanya melancarkan propaganda di media sosial: Facebook, Twitter, YouTube, grup WhatsApp, dan Instagram.

Jasa buzzer biasanya digunakan oleh lima kategori organisasi, yakni pemerintah, politikus dan partai politik, kontraktor swasta, lembaga nirlaba, dan individu atau tokoh berpengaruh. Dalam melancarkan aksinya, para buzzer akan menggunakan akun medsos palsu untuk menggiring opini publik, mendukung politikus atau partai politik tertentu, dan menyerang oposisi.

Kerjanya beragam, mulai dari menciptakan disinformasi dalam bentuk meme, video, atau situs berita palsu; melaporkan konten atau akun lawan agar diblokir; menyebarkan berita lewat chat personal atau broadcast; hingga membuat pesan menjadi sebuah topik pembicaraan di media sosial. 
Buzzer ancam demokrasi dan kebebasan berekspresi

Menurut Whisnu, berbahaya jika buzzer sampai digunakan oleh negara otoritarian, di mana rezim otoriter menggunakan media sosial untuk menekan perbedaan dalam opini publik demi melanggengkan kekuasaannya. 

“Kebebasan berekspresi juga terancam karena pendapat yang berlawanan dengan pemerintah diserang balik dengan disinformasi dan akun media sosialnya diretas dan disebar,” tulis Whisnu dalam The Conversation. 

Artinya, teknologi digital yang semestinya mengemansipasi demokrasi justru malah mendegradasi dengan menciptakan polarisasi dan perpecahan publik dalam prosesnya. Pada akhirnya, informasi yang tidak akurat dan faktual akan mendistorsi pengetahuan publik. 

“Hal ini membuat publik kehilangan kerangka acuan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, terutama terkait pemilihan pemimpin dan pengawasan kebijakan publik,” paparnya.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa teknologi digital hanya mengamplifikasi kesenjangan kekuasaan dalam sistem demokrasi yang telah terjadi selama ini. Perdebatan publik dalam media sosial bukanlah untuk mengembangkan diskursus demokrasi, tapi merupakan perpanjangan kepentingan dari elite politik.

Untuk itu, kata Whisnu, pendidikan politik dan literasi informasi bisa menjadi kunci dalam memerangi propaganda di sosial media. Bagaimanapun, aktor atau dalang di balik pengguna buzzer harus menahan diri agar tidak tercipta kondisi yang lebih parah karena terus memelihara informasi palsu.

Related

News 99715018010754232

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item