Mengenal Pandemic Bond, Surat Utang Baru yang Diterbitkan Pemerintah Indonesia

Mengenal Pandemic Bond, Surat Utang Baru yang Diterbitkan Pemerintah Indonesia, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Penerbitan surat utang untuk menangani dampak ekonomi dari pandemi virus corona (Covid-19) telah diwacanakan. Indonesia merilis surat utang bernama Pandemic Bond, atau sebelumnya disebut Recovery Bond, sementara negara-negara Eropa meminta persetujuan penerbitan Coronabonds.

Dalam konferensi pers virtual, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Pemerintah Indonesia secara resmi akan menerbitkan Pandemic Bond sebagai salah satu upaya mendukung dunia usaha, dalam meningkatkan likuiditas keuangan di tengah wabah Covid-19.

Pandemic Bond atau Recovery Bond adalah surat utang pemerintah dalam bentuk rupiah yang bisa diakuisisi Bank Indonesia (BI) serta sektor swasta lainnya seperti importir, eksportir, dan sebagainya.

Sri Mulyani menegaskan akan mencermati betul aturan yang akan menjadi pelaksanaan penggunaan Pandemic Bond. Pemerintah tidak ingin kebijakan ini justru ugal-ugalan.

"BI dan Kemenkeu akan membuat rambu-rambu agar tidak ada persepsi pemerintah secara ugal-ugalan minta pembiayaan BI," kata Sri Mulyani. "Ini untuk mencegah market volatile yang timbul, sehingga tidak rasional dan perlu direspons dengan pilihan pembiayaan," tegasnya.

Sebagai informasi, skema Pandemic Bond memang kerap dianggap mirip seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. BLBI adalah skema bantuan yang diberikan bank sentral kepada bank yang mengalami likuiditas pada saat krisis 1997-1998.

Bantuan likuiditas yang dimaksud berupa pinjaman sejumlah uang. Kala itu, total dana talangan BLBI yang dikeluarkan bank sentral mencapai Rp 144,5 triliun. Namun, Sri Mulyani menegaskan akan mengatur aturan recovery bond dengan hati-hati.

"Anggota KSSK [Komite Stabilitas Sistem Keuangan] tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika lakukan tugas Perppu. Ini langkah untuk menghindari moral hazard," jelasnya.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu di tengah 'perang' melawan virus corona (COVID-19) yang berimbas pada perekonomian domestik dan global.

Perppu tersebut yakni Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu ini disebutkan ada kewenangan tambahan dari KSSK, BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Salah satu kewenangan BI yakni bisa membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana.

Pasal 15 Ayat (1), BI diberi kewenangan untuk: "Membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi covid-19."

Lalu bagaimana skema Pandemic Bond?

Mengutip penjelasan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, Recovery Bond/Pandemic Bond akan berbentuk surat utang pemerintah dalam bentuk rupiah yang bisa dibeli oleh BI dan pihak swasta lain, seperti importir, eksportir, dan investor.

"Dana hasil penjualan surat utang ini dipegang oleh pemerintah, lalu disalurkan ke seluruh dunia usaha dalam bentuk kredit khusus, untuk bangkitkan dunia usaha," jelas Susiwijono dalam konferensi pers.

Bagi pengusaha yang ingin mendapatkan kredit khusus ini, kata Susiwijono, ada syarat yang harus dipenuhi, yakni tidak boleh ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Kalau pun ada karyawannya yang harus kena PHK, harus mempertahankan 90% karyawan dengan gaji tidak berkurang dari sebelumnya," tutur Susiwijono.

Rencana pemerintah ini pun mengingatkan publik pada mekanisme bantuan likuiditas yang pernah dikucurkan pada era 1998, yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Menurut matriks perbandingan, kedua instrumen ini memiliki perbedaan yang mendasar dalam tataran teknis.

Namun demikian, ada tiga kesamaan antara R-Bond dengan BLBI, yang justru sangat penting untuk diperhatikan, yakni: tujuan, risiko, dan efek likuiditas. Kegagalan pengelolaan risiko BLBI terbukti meninggalkan bom waktu yang hingga 30 tahun belum sepenuhnya tuntas.

Meski R-Bond diterbitkan dalam bentuk surat utang, yang melalui mekanisme pasar, tetapi risiko moral hazard tidak lantas hilang. Moral hazard kasus BLBI terjadi di internal pengawasan BI yang saat itu secara kelembagaan lemah, karena belum sekuat seperti sekarang, setelah muncul Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Untuk R-Bond, risiko moral hazard berpeluang terjadi di wilayah fiskal, yakni Kementerian Keuangan, dalam hal penentuan kategori perusahaan yang berhak menerima kredit khusus dari pemerintah. Dari puluhan ribu perusahaan, perusahaan mana yang dinilai layak untuk menerima kredit ini?

Dalam aspek inilah, faktor moral hazard berpeluang terjadi ketika pelaku usaha dan politisi berusaha masuk untuk "memengaruhi" proses birokrasi yang melibatkan dana triliunan ini.

Risiko lain di BLBI yang juga terkandung di R-Bond terletak pada assessment terkait pembayaran kredit dan kerugian negara. Jika sebuah perusahaan penerima kredit khusus ini tiba-tiba gulung tikar atau menyatakan pailit setelah menerima kucuran kredit itu, maka pemerintah akan berurusan dengan PKPU dan berpeluang mencatatkan kerugian negara.

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

News 8862881243308158221

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item