Misteri 10 Wabah Aneh yang Pernah Menyerang Mesir Kuno (Bagian 2)

Misteri 10 Wabah Aneh yang Pernah Menyerang Mesir Kuno, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Misteri 10 Wabah Aneh yang Pernah Menyerang Mesir Kuno - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Naskah Ipuwer merupakan kumpulan sajak yang ditulis di atas selembar kertas papirus. Tidak jelas apakah naskah ini ditulis berdasarkan kejadian nyata atau hanya karya sastra. Menurut para ahli, bencana yang dituturkan pada naskah tersebut memiliki kemiripan dengan tulah-tulah Mesir yang dijelaskan dalam kitab-kitab suci.

Agusto Magini, ahli paleoklimatologi dari Universitas Heidelberg, Jerman, secara tidak langsung mendukung temuan Sebaie tentang kekacauan nasional yang muncul sepeninggal sang Ramses II.

Menurutnya, saat Ramses II masih berkuasa, Mesir justru sangat makmur karena didukung iklim yang baik dan hasil panen yang melimpah. Kemerosotan kualitas hidup masyarakat Mesir kuno bermula ketika perubahan iklim mulai terjadi.

“Hujan turun dengan cukup dan negerinya tumbuh subur. Akan tetapi, periode basah hanya berlangsung selama beberapa dekade. Setelah kekuasaan Ramses berakhir, kurva iklim di Mesir menukik tajam. Kekeringan yang panjang menimbulkan akibat yang sangat serius,” papar Magini kepada The Telegraph.

Sungai darah pembawa wabah

Curtis Malloy dan John Marr, dua ahli epidemiologi asal Inggris, pernah menyusun artikel berjudul “An Epidemiologic Analysis of the Ten Plagues of Egypt” dengan memanfaatkan terjemahan dari naskah Ipuwer. Para penulis menyimpulkan bahwa tulah Mesir kuno pada dasarnya timbul akibat kontaminasi persediaan makanan yang semakin menipis saat bencana kekeringan.

Marr, dalam keterangannya kepada New York Times di tahun 1996, berpegang pada temuan bahwa tumbuhan alga merah yang mencemari Sungai Nil merupakan awal dari segala bencana tersebut. Disebutkan, alga merah mekar ketika debit air Sungai Nil sudah menurun drastis akibat kenaikan temperatur udara.

Burgundy Blood Algae atau Oscillatoria rubescens tidak sekadar mengubah warna air menjadi merah darah, tetapi juga menyerap kandungan oksigen dan melepaskan senyawa racun. Senyawa beracun inilah yang membunuh ikan-ikan hingga memaksa katak keluar dari air dan menyerbu permukiman.

Hilangnya katak dari habitatnya, lanjut Marr, populasi kutu dan lalat pun meningkat. Lambat laun kondisi ini memunculkan wabah penyakit pes yang menyerang manusia dan hewan ternak.

Laporan yang disusun oleh Eva Panagiotakopulu, dalam artikel “Pharaonic Egypt and the origins of plague,” (2004) mendukung argumen Marr. Dia menemukan bahwa wabah pes pada periode Mesir kuno terjadi akibat bakteri yang dibawa kutu tikus yang berkembang biak di sekitar aliran Sungai Nil.

Bakteri Yersinia pestis diperkirakan ditularkan dari tikus hitam dan tikus kapal yang berasal dari India dan Mesopotamia.

Bencana kelaparan juga terjadi ketika Mesir terkena dampak letusan gunung berapi Santorini sekitar 1600 SM.

Siro Trevisanato, ahli biologi molekuler yang banyak menulis tentang wabah Mesir kuno, berpendapat angin musim panas dengan cepat membawa abu vulkanik ke Mesir dan menutupi cahaya matahari selama beberapa hari. Fenomena ini terjadi bersamaan dengan hujan badai dan menghasilkan badai petir yang diikuti hujan es.

“Abu gunung berapi mengakibatkan anomali cuaca, menghasilkan endapan yang tinggi, kelembapan yang tinggi. Dan itulah yang menumbuhkan kehadiran belalang,” terang Trevisanato, seperti dilaporkan The Telegraph.

Setelah pasokan makanan musiman hancur akibat hujan es, tulah kedelapan berupa jutaan belalang datang menghancurkan ladang-ladang terakhir penduduk Mesir.

John Marr menduga pada saat itu para petani tidak berpikir panjang saat menyelamatkan tanaman mereka. Sisa panen yang sudah terkontaminasi oleh bakteri dan jamur dari kotoran serangga tetap disimpan untuk kemudian dikonsumsi.

Jamur yang menempel pada tanaman bijian, menurut Marr, tumbuh lebih cepat dalam lumbung penyimpanan yang lembap. Kondisi ini mempercepat kemunculan jamur hitam bernama Stachybotrys atra yang bisa menyebarkan racun berbahaya bernama mikotoksin. Racun inilah yang diperkirakan membunuh anak-anak sulung dari keluarga petani yang umumnya bertugas memanen atau makan paling awal.

Pendapat terakhir Marr berbeda dari temuan Trevisanato yang dirangkum TIME. Menurutnya, data arkeologi menyebut adanya cerita tentang anak-anak dari keluarga bangsawan yang terbaring mati di depan umum.

Trevisanato percaya bahwa di tengah wabah dan bencana tersebut, anak-anak sulung banyak yang dikorbankan, dengan harapan dewa-dewa mereka berhenti menghukum mereka.

Related

Mistery 4588697832775427919

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item