Bisnis Properti Babak Belur Akibat Corona: Di Masa Pandemi, Tidak Ada Orang Beli Rumah!

Bisnis Properti Babak Belur Akibat Corona: Di Masa Pandemi, Tidak Ada Orang Beli Rumah! naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Emiten properti dan real estate Tanah Air menjadi salah satu korban keganasan dari pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pendapatan berkurang, laba tergerus, likuiditas seret. Itulah realita pahit yang harus dialami oleh sektor properti untuk tahun ini.

Dari 48 emiten di sektor properti dan real estate yang sudah melaporkan kinerja keuangannya kuartal I-2020, ada 31 perusahaan yang melaporkan terjadinya penurunan pendapatan. Sebanyak 33 perusahaan melaporkan penurunan laba bersih.

Nilai median penurunan penjualan emiten properti Tanah Air pada kuartal pertama tahun ini mencapai 10% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara jika dilihat dari sisi bottom line, laba bersih yang dapat diatribusikan ke entitas induk anjlok mencapai 32% dibanding kuartal I-2020.

Jika dikalkulasi secara total, maka terjadi penurunan pendapatan sebesar Rp 1,3 triliun dan anjlok hingga Rp 6,6 triliun. Ini baru terjadi di kuartal pertama saja saat wabah belum ganas dan pembatasan mobilitas publik belum diterapkan.

Memasuki awal kuartal kedua Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan. Awal mulanya di DKI Jakarta pada 10 April lalu. Kemudian kebijakan ini diikuti oleh berbagai wilayah RI lainnya.

PSBB membuat permintaan terhadap rumah menurun, mall yang tutup sehingga gerai dan tenant juga ikut tutup. Ini semakin membebani kinerja keuangan para emiten properti. Penurunan penjualan membuat laba menjadi tergerus. Arus kas pun terganggu, masalah likuiditas akhirnya ikut menjerat industri ini.

Volatilitas rupiah yang tinggi dan depresiasi yang tajam membuat emiten-emiten properti harus menderita kerugian yang besar. Pasalnya pendapatan diterima dalam rupiah, sementara pembayaran kewajiban seperti pinjaman dan obligasi dilakukan dalam mata uang asing.

Hal ini pun mendapat sorotan dari lembaga pemeringkat utang global Moody's. Pada April lalu Moody's merilis laporan dampak pelemahan rupiah terhadap sektor properti Tanah Air.

Beberapa emiten seperti MDLN, ASRI dan LPKR bahkan proporsi utang dalam dolar AS mencapai lebih dari 90%, jika mengacu pada laporan keuangan 9M19. Sementara itu untuk emiten PWON proporsi utang dalam dolarnya mencapai 76% dan BSDE serta APLN masing-masing kurang lebih 60%.

Sejak wabah corona merebak nilai tukar rupiah terus terdepresiasi dan mencetak rekor terlemah sepanjang sejarah untuk penutupan. Nilai tukar rupiah bahkan sempat dibanderol Rp 16.650/US$ pada akhir Maret lalu.

Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi ke level Rp 16.31/US$0, maka 57% dari utang dalam mata uang dolarnya dapat terproteksi. Namun jika nilai tukar rupiah terdepresiasi menembus level Rp 17.000/US$ maka proporsi utang dolar yang terlindung hanya 47%.

"Kami sekarang mengestimasi penjualan menurun sekitar 10%, dengan asumsi tidak ada proyek baru yang diluncurkan dari bulan April hingga Juni tetapi peningkatan pada paruh kedua ini tahun. Pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari investasi properti juga akan terpukul, dengan penurunan paling tajam untuk hotel, diikuti oleh mal ritel dan kantor," tulis Moody's.

Sebelumnya pada awal April, lembaga pemeringkat utang lain yakni Fitch juga merilis laporan untuk sektor properti Tanah Air. Dalam laporan tersebut, Fitch mendowngrade outlook sektor ini menjadi negatif.

Fitch memperkirakan permintaan akan menurun 50% pada kuartal kedua, kemudian mulai membaik pada kuartal III dan IV dengan masing-masing penurunan sebesar 30% dan 20%.

Lembaga jasa keuangan global tersebut juga menyoroti beberapa emiten properti dalam negeri. Menurut Fitch, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) [B-] menjadi yang paling rentan terhadap penurunan penjualan rumah di tahun ini mengingat rating perusahaan disokong oleh kemampuan perusahaan untuk mendongkrak pre-sales melalui proyek baru yang dimulai pada semester kedua tahun ini.

LPKR memiliki arus kas yang memadai untuk 12 bulan ke depan. Namun likuiditas berpotensi tertekan jika tidak ada perubahan yang signifikan dari sisi penjualan. Hal ini membuat Fitch merevisi outlook LPKR menjadi negatif.

Di antara emiten properti lain, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) [CCC] dan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) [B] bahkan lebih rentan lagi terhadap penurunan permintaan rumah dan atau disruspi yang terjadi di pasar modal dan kredit.

Agung Podomoro harus melepaskan investasi di propertinya untuk mendukung likuiditasnya dan juga membayar kewajibannya berupa utang senilai US$ 127 juta yang akan jatuh tempo pada 2021. Sementara itu ASRI membutuhkan dana senilai US$ 115 juta untuk membayar surat utang denominasi dolarnya yang jatuh tempor April tahun depan.

Beberapa emiten properti lain seperti CTRA, MDLN, KIJA, PPRO juga terancam apabila pelemahan permintaan domestik terjadi dalam waktu yang lama dan volatilitas nilai tukar yang tinggi.

Sementara itu untuk emiten PWON dan BSDE, dinilai memiliki likuiditas yang kuat didukung dengan kas perusahaan yang besar. Sehingga Fitch menilai pandemi ini tidak akan berdampak rating dari dua perusahaan.

Namun jika melihat realita di lapangan, korban sebenarnya sudah mulai berjatuhan. Bahkan sebelum pandemi benar-benar mengganas. Pertama adalah perusahaan pelat merah Perumnas yang gagal membayar MTN senilai 200 miliar pada 28 April lalu.

Kemudian ada juga kasus MDLN yang menunda pembayaran obligasi sebesar Rp 150 miliar yang jatuh tempo pada 7 Juli lalu. Melalui restrukturisasi, emiten ini mendapat keringanan berupa bunga dan waktu pelunasan.

Kemudian yang paling baru adalah hangatnya perbincangan terkait status COWL yang dinyatakan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang tertuang dalam surat Perkara Nomor: 21/Pdt. Sus/Pailit/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Tak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai terus menekan kinerja keuangan perusahaan. Saat pandemi merebak, pendapatan masyarakat turun sehingga daya beli tergerus dan masyarakat lebih fokus pada kebutuhan primer.

Permintaan yang lemah juga didorong oleh kredit yang masih cenderung mahal. Meskipun Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan secara agresif sebesar 100 bps, tetapi suku bunga kredit untuk KPR dan KPA reratanya masih tinggi dan di atas 11%.

Selain itu fokus bank yang akan mendorong kredit untuk modal kerja dan UMKM pun menjadi tantangan bagi bisnis properti terutama perumahan yang lebih dari 70%-nya ditopang oleh kredit.

Tahun ini, sektor properti Indonesia belum bisa diharapkan. Ekonomi RI yang diperkirakan mengalami kontraksi membuat permintaan terhadap perumahan juga mengalami kontraksi.

Related

News 416314884147888273

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item