Indonesia: Di Antara Wabah Virus Corona dan Ketidakpastian Nasib Ekonomi (Bagian 1)

Indonesia: Di Antara Wabah Virus Corona dan Ketidakpastian Nasib Ekonomi naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Alih-alih mengurai keruwetan akibat pandemi COVID-19, pemerintah kita memilih menciptakan ilusi rasa aman untuk masyarakat. Seperti tak pernah fokus, hal remeh temeh diprioritaskan, sementara upaya mengurangi kasus positif dikesampingkan.

Baru-baru ini Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto kembali membuat kebijakan terkait COVID-19 yakni dengan mengubah istilah-istilah yang sudah mulai familiar di masyarakat. Ia mengganti istilah orang dalam pemantauan (ODP) berubah menjadi kontak erat, pasien dalam pengawasan (PDP) menjadi kasus suspek, dan OTG menjadi kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).

Perubahan itu disahkan lewat Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Memang perubahan istilah ini merujuk aturan internasional yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tapi WHO pun sudah mengeluarkan aturan tersebut sejak 20 Maret lalu.

“Dari awal wabah flu burung kita mengacu istilah dari WHO, entah kenapa yang kemarin (kasus COVID-19) ada istilah baru. Itu yang jadi pertanyaan banyak orang,” ujar Nurul Nadia, seorang praktisi kesehatan masyarakat lulusan Master of Public Health (MPH) dari Universitas Harvard.

Sedari awal Indonesia memang menciptakan istilah sendiri untuk merujuk kasus-kasus COVID-19. WHO mendefinisikan kematian akibat COVID-19 merupakan angka gabungan dari pasien terkonfirmasi positif berdasar hasil tes, juga mereka yang meninggal akibat gejala klinis yang mirip dengan kasus Corona (kasus probabel).

Jika dikonversi ke data internasional, seharusnya kematian akibat COVID-19 di Indonesia menggabungkan data kematian antara pasien positif, ODP, dan PDP. Selama ini kasus kematian kita hanya berasal dari pasien yang terkonfirmasi positif. Jadi sangat besar kemungkinan terdapat angka kematian yang tersembunyi.

“Istilah yang berbeda membuat data kita tidak bisa dibandingkan dengan negara lain, sulit ketika membuat laporan internasional,” ungkap Nurul.

Butuh waktu empat bulan bagi Terawan untuk memperbaiki kesalahan istilah tersebut. Terlihat lamban jika tak mau dikata sia-sia, apalagi hingga sekarang belum ada konversi data lama ke sistem pencatatan anyar. Pergantian istilah tanpa perbaikan data akan percuma dan hanya menambah kebingungan masyarakat.

Sejauh ini Menkes Terawan terlihat suka hal-hal berbau seremoni. Ingat bagaimana dulu ia sempat muncul untuk melegalisasi jamu-jamuan 'penangkal' COVID-19 dengan membuat perayaan untuk tiga penyintas pertama?

Saat kasus pertama ditemukan, Terawan bukannya langsung menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Ia malah membuat pernyataan yang menyepelekan pandemi ini. Ia menyebut COVID-19 tak lebih berbahaya dari flu biasa yang mudah sembuh dengan sendirinya.

Pemerintah tak terlihat responsif atas masukan-masukan dari para pakar dalam negeri untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. Pemerintah justru bersikap jumawa dengan mengklaim iklim, ragam rempah, dan daya tahan tubuh sebagai tameng kekebalan orang Indonesia terhadap virus ini.

Klaim-klaim itu terbukti mentah. Desakan menuntut Presiden Jokowi mencopot Terawan atau dengan sukarela Sang Menkes mundur dari jabatannya pun sempat mengemuka. Tapi yang terjadi ketika kasus COVID-19 tengah naik-naiknya Terawan justru menghilang hingga hitungan bulan.

Strategi komunikasi Sang Menteri

Dalam rentang waktu April hingga pertengahan Juni, Terawan lebih sering menghilang dari hadapan publik. Jika pun terlihat di depan kamera, ia tak pernah bicara banyak. Posisinya secara de facto seperti digantikan oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.

Hingga pada pertengahan Juni Terawan hadir dalam konfrensi pers panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi. Sejak itu gaya komunikasi Terawan ikut berubah dan terlihat lebih berhati-hati. Di sisi lain, manajemen komunikasi risiko yang ia terapkan masih saja buruk. Pemerintah seolah membiarkan rumor-rumor liar—yang cenderung menyepelekan wabah—berkembang di masyarakat.

Baca lanjutannya: Indonesia: Di Antara Wabah Virus Corona dan Ketidakpastian Nasib Ekonomi (Bagian 2)

Related

News 8886650048397253637

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item