Mengenang Tarbawi, Majalah Penyejuk Hati yang Kini Tak Terbit Lagi (Bagian 2)

Mengenang Tarbawi, Majalah Penyejuk Hati yang Kini Tak Terbit Lagi, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenang Tarbawi, Majalah Penyejuk Hati yang Kini Tak Terbit Lagi - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dalam Kemanusiaan dalam Media: Telaah atas Gaya Jurnalisme Majalah Tarbawi dan Tempo (Jurnal Komunika, Vol. 4 No. 1, Januari-Juni 2010), Edi Santoso menulis bahwa Tarbawi berideologi jurnalisme nurani.

“Secara implisit, Majalah Tarbawi mengaku ‘berideologi’ jurnalisme nurani. Setidaknya, lewat iklan dan merchandiser-nya, majalah ini hampir selalu menyertakan slogan jurnalisme nurani. Bahkan beberapa kali mereka secara khusus menggelar pelatihan jurnalistik bertajuk ‘7 Ideologi Tulisan Mazhab Jurnalisme Nurani’,” tulisnya.

Menurut Ahmad Zairofi, jurnalisme nurani adalah praktik jurnalisme berdasarkan fitrah Islami. Fitrah bermakna universal karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah (kecenderungan) yang sama.

“Jadi meskipun Tarbawi mengusung nilai-nilai Islam, pemberitaannya tetap relevan untuk dibaca kalangan dengan agama apa pun. Pada simpul fitrah inilah, Tarbawi bermaksud membangun kebersamaan umat lintas ras dan budaya. Titik temu jurnalisme nurani Tarbawi dengan jurnalisme lainnya ada pada prinsip tanggung jawab dan kejujuran,” tambahnya.

Menurut Edi, dalam menyeleksi dan memilih isu, Tarbawi tentu mengikuti kaidah nilai jurnalistik, yakni menakar sisi kebaruan informasi (novelty), kedekatan dengan pembaca (proximity), pengaruhnya pada pembaca (consequence), konflik, dan sentuhan nilai kemanusiaan (human interest).

Edi menambahkan, bahwa pertimbangan nilai berita itu lebih pada sisi pelatuk berita (news peg) untuk melakukan kontemplasi.

“Tarbawi lebih menekankan sisi kontemplasi sebuah peristiwa,” terangnya.

Sebelum bergabung dengan Tarbawi, Edi Santoso menelaah bahwa menurutnya majalah tersebut hampir selalu memberikan penekanan pada solusi dari setiap peristiwa yang diangkat.

“Solusi yang ditawarkan Tarbawi cenderung bersifat personal. Tarbawi melihat akar dari segala persoalan sebetulnya ada pada diri manusia (antroposentris) sehingga perubahan lingkungan akan berawal dari perubahan pribadi,” tulis Edi.

Hal ini dibenarkan oleh Ahmad Zairofi yang mengakui bahwa memang Tarbawi lebih fokus pada sisi personal. Ia menambahkan, langkah tersebut adalah pendekatan kultural dengan mengajak pembaca untuk berkontemplasi, merenung, dan membangkitkan kesadaran.

Ahmad Zairofi juga menegaskan bahwa faktor lain di luar manusia, misalnya sistem, memang memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia, namun semuanya berawal dari manusia.

“Kesadaran personal merupakan kekuatan utama sebelum kekuatan kolektif. Daya tahan personal merupakan daya tahan utama sebelum daya tahan kolektif. Dan kecakapan personal secara mental merupakan modal menuju kecakapan sistem,” terangnya.

Menghilang dan dirindukan

Kesibukan meringkus kontemplasi. Sejak Tarbawi berhenti terbit, ketiga pendirinya tercatat aktif di partai politik, yaitu PKS. Ahmad Zairofi sibuk sebagai anggota DPRD DKI Jakarta. M. Lili Nur Aulia menjabat sebagai Ketua Kaderisasai Kader DPW PKS Banten. Dan Arwim Al Ibrahimi menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah Daerah PKS Padang.

Meski Tarbawi memang lahir dari rahim gerakan Tarbiyah, dan para pendirinya kemudian bertungkus lumus di partai tersebut, akan tetapi para pembacanya merasa menyayangkan ketika akhirnya majalah ini berhenti terbit.

Respons masyarakat terhadap Tarbawi sedari awal memang cukup baik. Mula-mula terbit sekitar 2000 eksemplar. Setahun kemudian sudah menerbitkan lebih dari 20.000 eksemplar, padahal pada waktu itu majalah ini hanya terbit bulanan.

Di beberapa laman pribadi pembaca Tarbawi, seperti yang ditulis oleh Triyanto Mekel, ia menyayangkan majalah ini berhenti terbit. Menurutnya, umat masih membutuhkan pemaknaan hidup yang dihadirkan oleh majalah tersebut.

“Majalah Tarbawi sudah lama tak hadir menyapa. Rindu kesejukannya,” tulisnya.

Sementara pembaca lain, Husni Mubarok, yang mengaku sudah mengenal Tarbawi sejak kelas 5 Sekolah Dasar, tak bisa melupakan “gaya bahasanya yang mengalir ringan dan tiada beban.”

“Hilangnya Tarbawi jelas kabar buruk. Cukup menyesakkan dada walau saya tidak rutin membelinya,” tulis Yusuf Maulana.

Menurutnya, situasi politik yang banyak menyita perdebatan adalah momentum yang tepat untuk membaca kembali materi di Tarbawi. Ia berharap media—yang katanya “penyejuk hati” ini hadir kembali.

Sejauh ini, belum ditemukan arsip bahwa Tarbawi berhenti terbit disertai pamit kepada para pembacanya. Majalah itu hilang begitu saja. Pelanggan tiba-tiba tak menemukan lagi edisi terbaru. Padahal Tarbawi sempat punya slogan yang berbunyi, “Kita hidup di kepadatan interaksi, tapi sulit untuk belajar memahami.”

Related

Indonesia 8806220983797289344

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item