Dilema Kemerdekaan Berpendapat dan Konten Negatif di Media Sosial

Dilema Kemerdekaan Berpendapat dan Konten Negatif di Media Sosial, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Media sosial menjadi platform untuk mengungkapkan kemerdekaan berpendapat yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM). Namun tak jarang, kemerdekaan ini terlalu bebas sehingga muncul lah berbagai konten negatif seperti hoaks, ujaran kebencian, hingga fitnah.

Media sosial hari ini ibarat panggung atau layar kaca, yang membuat siapapun bisa menampilkan diri kapan saja dengan tema apa saja meski orang itu tak memiliki kesempatan untuk tampil di panggung atau layar kaca yang sesungguhnya.

Bagi Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan, hal itu disebabkan oleh lahirnya Web 2.0 yang merupakan perkembangan dari Web 1.0.

Imbasnya semua orang dapat memproduksi kontennya sendiri dan langsung memperoleh respons secara interaktif. Era ini disebut sebagai user generated content (UGC) yang bisa diartikan sebagai konten yang dibuat oleh pengguna.

"Akibat lebih lanjut dari itu, terjadi persaingan antar konten untuk memperoleh perhatian. Terjadi adu kreatif, yang positif, negatif, tak etis, melanggar hukum, dengan memanfaatkan media ini," kata Firman.

Menurut Firman, konsekuensi tersebut sering tak disadari oleh khalayak. Sedangkan bagi mereka yang menyadari konsekuensinya,  media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya, termasuk dengan melanggar hukum.

Pelanggaran hukum ini berupa penipuan, memperdaya orang lain, pencurian identitas, ujaran kebencian, hingga hoaks.

Terlebih, tantangan media sosial adalah real time sehingga arus informasi berjalan dengan cepat. Orang yang punya akses ke media sosial bisa dengan cepat dengan jumlah yang sangat berlimpah tanpa adanya moderasi.

Di sisi lain, media sosial juga dijadikan platform bagi para korban untuk melaporkan sebuah kejadian seperti yang terjadi dalam kasus fetish batik, swinger, hingga pelaporan kasus perkosaan.

Media sosial dengan cepat membuat pelaporan ini viral sehingga mau tak mau, mendorong aparat hukum untuk bertindak. Padahal sebelumnya, kasus-kasus ini tak terendus oleh pihak berwenang.

"Beberapa kasus yang mencuat minggu minggu ini, media sosial dapat digunakan pemiliknya akun  melaporkan kejahatan yang menimpa dirinya, seperti korban fetish hingga korban perkosaan. Yang  kemudian menyebabkan aparat berwenang bergerak menegakkan hukum," tutur Firman.

Bijak pakai media sosial bukan hal mudah

Kepala Sub Divisi Digital at Risks SAFEnet, Ellen Kusuma menjelaskan bijak bermedia sosial ini terlihat tampak mudah, tapi nyatanya sulit untuk diterapkan.

Salah satu tantangannya adalah karena secara sosial, kita tidak benar-benar bisa mengatur semua perilaku orang di media sosial agar sama dengan standar kita secara personal.

"Apalagi di media sosial semua orang tumpek-blek dengan latar belakang yang bisa jauh berbeda satu sama lain, pula pemahaman dan cara menggunakan yang berbeda-beda," kata Ellen.

Menurut Ellen diperlukan literasi digital yang merata agar bisa bijak bermedia sosial. Literasi digital ini berupa dampak, konsekuensi, privasi, persetujuan dan berbagai aspek lainnya.

"Hal-hal seperti mengerti bahwa di balik akun media sosial juga ada manusia dan bukan robot juga penting. Bahwa tubuh kita saat ini juga memiliki tubuh digital, yang sama-sama perlu kita rawat dan jaga," tutur Ellen.

Ellen mengatakan hoaks dan konten negatif sudah ada jauh sebelum era digital. Bagi Ellen, era digital justru mempercepat penyebaran konten dengan kecepatan yang luar biasa.

Kecepatan arus informasi membuat konten negatif bisa viral akibat banyaknya interaksi dengan konten tertentu. Di sisi lain, algoritme AI media sosial justru akan membuat pengguna semakin banyak mengkonsumsi konten-konten negatif.

"Semakin kita engage dengan konten tersebut, maka algoritme media sosial akan menjebloskan kita pada konten-konten seperti itu terus menerus," kata Ellen.

Jadi Ellen menyarankan agar pengguna menghindar dari konten-konten  negatif bila tidak ingin menemukan hidup bertebaran hoaks atau konten negatif.

Terkait kemerdekaan berpendapat, Ellen menyatakan UU ITE kerap kali menjadi alat yang kemudian dianggap bisa mengatur orang agar tidak sembarangan di media sosial.  Pada kenyataannya, Ellen menjelaskan pasal-pasal karet UU ITE seringkali dipakai untuk membungkam kritik atau fakta.

"Ini mematikan demokrasi, ini mematikan diskusi yang bisa mencerdaskan kita sebagai manusia, ini mematikan akal budi manusia. Ini juga melanggar kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia," tutur Ellen.

Related

News 6673121291695584072

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item