Jika Vaksin Tidak Efektif, Wabah Corona Diperkirakan Akan Sampai Tahun 2025

Jika Vaksin Tidak Efektif, Wabah Corona Diperkirakan Akan Sampai Tahun 2025, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Siapa tak tahu Bill Gates? Seorang pendiri raksasa teknologi AS Microsoft dan seorang filantropis yang kini popularitasnya makin naik lantaran hilir mudik memberikan pandangannya seputar pandemi Covid-19 dan pengembangan vaksin penangkalnya.

Bill Gates memang sangat fokus dalam pengembangan vaksin. Hal tersebut membuatnya menjadi sosok yang erat dengan teori konspirasi di balik merebaknya pandemi Covid-19.

Barron's melaporkan Gates, melalui Bill & Melinda Gates Foundation akan mendonasikan US$ 1,6 miliar uang untuk menyediakan vaksin bagi anak-anak serta negara-negara miskin.

Sementara itu Forbes melaporkan bahwa salah satu orang terkaya di dunia itu sudah mendonasikan uang sebesar US$ 150 juta kepada Serum Institute of India untuk menyediakan 100 juta dosis vaksin seharga < US$ 3/dosis untuk negara-negara miskin.

Keterlibatan Bill Gates dalam pengembangan vaksin, baik langsung maupun tak langsung, memang jadi sorotan media. Dalam sebuah wawancara dengan media AS bernama Wired, Bill Gates mengatakan dirinya optimis pandemi Covid-19 baru akan usai di akhir 2021 atau 2022 berkat inovasi pengembangan vaksin yang luar biasa.

"Inovasi dalam hal peningkatan diagnosis, pengembangan obat baru hingga vaksin sungguh hebat. Hal ini membuat saya merasa pandemi akan selesai di akhir tahun 2021 untuk negara kaya dan dunia secara keseluruhan di akhir 2022" kata Gates.

Optimisme Bill Gates bisa jadi benar tetapi juga berpotensi sebaliknya. Hingga 13 Agustus lalu, WHO mencatat ada 29 kandidat vaksin yang tengah diuji secara klinis kepada manusia. Delapan di antaranya bahkan sudah masuk fase akhir.

Tahap tiga uji klinis bakal menjadi tahap penentuan. Dalam beberapa bulan ke depan, publik global akan menyaksikan apakah vaksin yang dijanjikan ada sebelum akhir tahun benar-benar tersedia.

Saat ini Rusia dan China dikabarkan menjadi yang terdepan dalam pengembangan vaksin. Sputnik V buatan Rusia di bawah Gamaleya Research Institute dikabarkan telah mendapat persetujuan otoritas kesehatan setempat.

Sementara CanSino Biologics asal China dengan Ad5-nCoV-nya dikabarkan sudah mematenkan vaksin buatannya. Kabar ini jelas membuat geger dunia lantaran pengembangan vaksin membutuhkan waktu yang lama dan tak bisa sembarangan.

Dalam kondisi normal saja waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan vaksin mulai dari riset, uji klinis, persetujuan, produksi hingga distribusi butuh waktu 5-8 tahun. Bahkan ada yang sampai belasan tahun.

Vaksin yang paling cepat dikembangkan dalam sejarah pun butuh waktu kurang lebih empat tahun. Lantas bagaimana bisa vaksin yang belum masuk uji klinis tahap akhir dinyatakan ampuh menimbulkan kekebalan tubuh?

Mengembangkan vaksin bukan masalah siapa yang paling cepat, tetapi seberapa aman dan efektif vaksin dalam memberikan proteksi terhadap patogen ganas dalam kasus ini tentunya adalah virus corona.

Memang perkembangan ilmu dan teknologi serta kerja sama berbagai pihak mulai dari pemerintah, swasta, institusi riset independen, akademisi hingga filantropis memberikan ekosistem yang kondusif untuk pengembangan vaksin.

Namun bukan berarti membuat vaksin bisa dipepet menjadi hitungan bulan saja. Risikonya terlalu tinggi. Selagi vaksin yang efektif belum ada, dunia masih harus bergelut dengan musuh ultra mikroskopis yang menyerang sistem pernapasan manusia itu.

Ahli matematika hingga epidemiologi bekerja sama untuk membuat pemodelan kemungkinan seberapa banyak orang bisa terjangkit penyakit ganas ini dengan berbagai skenario untuk membantu membuat kebijakan mengambil langkah yang tepat.

Hasilnya pun mengejutkan! Hasil kajian Rahmandad, Lim dan Sterman dari Massachussets Institute of Technology (MIT) yang dipublikasikan secara daring di jurnal ilmiah SSRN menunjukkan estimasi infeksi riil pada Juli 2020 sebenarnya berada di angka 10 kali lipat lebih tinggi dari yang dilaporkan.

Dalam kajian tersebut, tiga peneliti tersebut memperkirakan jumlah infeksi total secara global pada Maret tahun depan mencapai angka lebih dari 200 juta orang. Berdasarkan estimasi terbaru bahkan angkanya lebih mengerikan lagi, total infeksi bisa mencapai angka 294 juta Maret tahun depan.

Hal yang perlu ditekankan di sini adalah setiap pemodelan menggunakan asumsi dan time frame pengumpulan data serta metode statistik yang juga berbeda. Jelas hal ini akan memberikan gambaran prediksi yang berbeda-beda pula.

Terlepas dari angka prediksi yang berbeda-beda, para ahli sepakat masih banyak hal yang tidak diketahui tentang patogen yang satu ini sehingga kondisi ke depan penuh tantangan dan ketidakpastian.

Awalnya ada tiga skenario yang memprediksi bagaimana wabah ini akan berakhir. Skenario pertama mengatakan wabah dapat dikendalikan dengan intervensi di sektor kesehatan biasa. Faktanya jelas tidak.

Lonjakan kasus yang terjadi membuat pasien Covid-19 di rumah sakit membludak dan sistem kesehatan baik di negara maju maupun berkembang kewalahan dalam menanganinya.

Skenario kedua adalah wabah akan berhenti merebak jika vaksin sudah ditemukan. Masalahnya adalah seberapa efektif dan lama vaksin dapat memberikan proteksi masih belum diketahui.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Zhao J, dkk dan dimuat di jurnal Clinical Infectious Disease menunjukkan seorang pasien yang sembuh dari Covid-19, antibodinya hanya mampu bertahan selama 40 hari saja sejak awal infeksi.

Apabila karakteristik Covid-19 sama dengan virus penyebab SARS 17 tahun silam, antibodi tersebut bisa bertahan sampai 5 bulan dan mulai menurun setelah 2-3 tahun berikutnya, seperti yang dikemukakan oleh peneliti China yang publikasinya dimuat di jurnal Emerging Infectious Disease 2007 silam.

Namun apabila melihat karakteristik virus dari sisi laju mutasinya, skenario ketiga juga memungkinkan terjadi. Virus tak akan benar-benar musnah. Covid-19 bakal menjadi penyakit musiman seperti halnya flu.

Sebuah prediksi bahkan mengatakan wabah ini bisa terus berlangsung hingga tahun 2025. "Total kejadian SARS-CoV-2 hingga 2025 akan sangat bergantung pada durasi kekebalan ini," tulis Grad, ahli epidemiologi Harvard Marc Lipsitch dan rekannya dalam makalahnya yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Science, Mei lalu.

Pada akhirnya umat manusia harus mulai terbiasa dengan kehidupan abnormal ini entah sampai kapan.

Uniknya, meski kita sama-sama tak tahu kapan hidup normal akan kembali lagi, langkah kecil sederhana seperti mempraktikkan perilaku higienis dengan rajin mencuci tangan serta menggunakan masker saat di ruang publik bisa menurunkan risiko penularan Covid-19 secara signifikan.

So, tunggu apa lagi? Saatnya mulai mendisiplinkan diri dan jangan lupa untuk jaga jarak!

Related

News 2930301492975001798

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item