Pertempuran Antara AS, Facebook, dan Microsoft, Melawan TikTok (Bagian 2)

Pertempuran Antara AS, Facebook, dan Microsoft, Melawan TikTok naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Pertempuran Antara AS, Facebook, dan Microsoft, Melawan TikTok - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

TikTok membantah segala tuduhan negatif kepadanya. Kevin Mayer, CEO TikTok, menegaskan bahwa platform yang dikomandoinya “aman digunakan oleh jutaan pengguna di Amerika”.

Menurutnya, setiap lini di dunia teknologi memang diawasi, tetapi TikTok jauh lebih diperhatikan Paman Sam karena berasal dari Cina. Mayer bahkan sesumbar bahwa semua platform digital (tidak hanya TikTok) “harus membuka algoritmanya”, jika tujuannya adalah menghapus kecurigaan.

Donny Eryastha, Head of Public Policy TikTok Indonesia, Malaysia, Filipina, melalui rilis media, menyebut bahwa TikTok “mengembangkan infrastruktur keamanan yang terbaik dan menjunjung Panduan Komunitas serta mematuhi aturan dan hukum privasi setempat yang berlaku.”

Sebagai catatan, bukan hanya AS yang bernafsu memblokir TikTok. Di India, TikTok dan 59 aplikasi asal Cina telah diblokir. Pemblokiran Cina di India didasari anggapan bahwa aplikasi ini bagian dari “serangan digital” dan "agen propaganda pemerintah Cina”. Sekelompok pengacara di Jepang juga menuntut Tokyo segera mengambil langkah serupa AS dan India dengan alasan yang sama.

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah memblokir TikTok. Pada 2018, tatkala Bowo Alpenliebe jadi bintang TikTok di Indonesia, aplikasi ini diblokir dengan alasan “banyak konten yang negatif, terutama bagi anak-anak”. Alasan itu dikemukakan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenkominfo Noor Iza.

Namun, ketegangan antara Trump dan TikTok kali ini lebih diyakini karena semakin memanasnya hubungan Washington dengan Beijing, alih-alih soal spionase. Benarkah?

Trump menghardik TikTok sejak memanasnya Washington-Beijing. Masalahnya, jika TikTok dianggap sebagai alat spionase Cina (baca: menghisap data pengguna di AS), media sosial yang lainnya pun begitu. Salah satu contoh terbaik adalah Facebook.

Pada 2007, untuk meningkatkan minat penggunaan Facebook, Leah Pearlman, salah satu karyawan terawal Facebook, menginisiasi penciptaan “Props”, kode proyek yang pada akhirnya melahirkan fitur bernama “Like”.

Bagi Pearlman, sebagaimana diungkap Steven Levy dalam Facebook: The Inside Story, Like diciptakan untuk membuat para pengguna Facebook berinteraksi dan menumbuhkan antusiasme terhadap suatu unggahan.

Awalnya, Mark Zuckerberg skeptis dengan Like dengan alasan fitur baru ini dapat membuat para pengguna Facebook enggan berkomentar di unggahan-unggahan teman-teman Facebook mereka.

Jared Morgenstern, karyawan Facebook lainnya, lalu berinisiatif merilis fitur tersebut secara terbatas ke negara-negara Skandinavia, tanpa sepengetahuan Zuckerberg. Tak disangka, Like laku dan komentar tidak menurun. Singkat cerita, Zuckerberg merilis Like untuk semua pengguna Facebook, bahkan untuk aplikasi/situsweb mana pun.

Like memang terdengar sederhana. Fitur untuk mengapresiasi unggahan teman. Namun, melalui Like, Facebook dapat melakukan identifikasi para penggunanya. Rob Shavell, ahli privasi yang diwawancarai Levy, menegaskan bahwa Like “bertindak bagai CCTV,” merekam segala tindakan pengguna Facebook, entah di dalam platform Facebook sendiri maupun di luar.

Dari Like ini, Facebook sukses melahirkan PPI alias Personally Identifiable Information alias set data tentang akun seseorang yang, menurut Sheryl Sandberg (bos bayangan Facebook), lebih hebat dibandingkan cookies.

TikTok, dalam aplikasinya, memiliki fitur Like (dengan simbol hati, bukan jempol seperti milik Facebook), komentar, dan tentu saja, setiap penggunanya—yang aktif—mengunggah video pendek, yang memperlihatkan wajah hingga tempat merekam.

Inilah informasi yang dianggap mengerikan jika jatuh ke tangan Beijing, entah melalui Undang-Undang Intelijen Nasional 2017 dan Undang-Undang Anti Spionase 2014 atau via paksaan—peretasan TikTok, misalnya.

Tentu, menghancurkan TikTok dengan alasan yang sesungguhnya masih samar adalah buruk bagi AS. Namun, di balik keburukan itu ada pihak yang diuntungkan. Facebook dan Microsoft.

Dalam sejarahnya, Facebook memang selalu ketakutan dengan pendatang baru, khususnya di dunia media sosial. Ketika Instagram datang, mereka mengakuisisinya dengan nilai 1 miliar dolar AS.

WhatsApp juga dibeli dengan uang yang lebih, yaitu 19 miliar dolar AS (karena pembelian WhatsApp disertai saham Facebook, pembelian ini sempat mencapai angka $22 miliar). Tatkala Facebook gagal membeli SnapChat, mereka menduplikasi fitur-fiturnya, Stories misalnya. Ketika Youtube jadi musuh utama, Facebook merilis Watch.

Tatkala TikTok muncul, Facebook lantas mengeluarkan Lasso, TikTok buatan Zuckerberg. Sial, Lasso gagal dan akhirnya Facebook merilis Reels, fitur seperti TikTok yang disematkan pada Instagram.

Dengan digembosinya TikTok oleh Trump, Facebook seakan punya napas baru.

Di sisi lain, Microsoft adalah perusahaan yang kini dianggap “tua dan uzur.” Portofolio mereka berkutat pada aplikasi-aplikasi perkantoran yang serba serius. Di ranah media sosial, Microsoft hanya memiliki LinkedIn—lagi-lagi, platform yang terlalu serius.

LinkedIn lebih tepat disebut sebagai “CV online” alih-alih media sosial. Jika benar-benar TikTok cabang AS diambil-alih Microsoft, perusahaan ini punya amunisi baru untuk menjangkau anak muda.

Dengan kesukaran yang dihadapi TikTok di Amerika kini, Zhang Yiming, pendiri ByteDance sekaligus pemilik TikTok, tampaknya harus sungguh-sungguh mencerna petuah Chibo Tang.

Tang, investor pada kapital ventura bernama Gobi Partners, sebagaimana dikatakannya pada The New York Times, menyatakan tak masalah jika perusahaan Cina masuk ke pasar AS.

Namun, ada “konsekuensi dan biaya tambahan” buat ekspansi ini. Konsekuensi dan biaya tambahan itu kemungkinan muncul sebagai balasan Amerika terhadap The Great Firewall of China, tembok raksasa yang membuat perusahaan-perusahaan teknologi AS selalu gagal masuk ke pasar Cina.

Related

News 6721843419479922587

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item