Selain Resesi, Indonesia Terancam Deflasi dan Meningkatnya Pengangguran

Selain Resesi, Indonesia Terancam Deflasi dan Meningkatnya Pengangguran, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Ekonom UI Fithra Faisal mengingatkan bahaya deflasi sebagai salah satu indikator menurunnya daya beli masyarakat. Jika masalah daya beli lemah terus berlarut, ia menyebut jumlah pengangguran akan meningkat.

Diketahui, Badan Pusat Statistik merilis indeks harga konsumen (IHK) deflasi 0,10 persen secara bulanan pada Juli 2020. Namun, sejak awal tahun (ytd), IHK masih mencatat inflasi sebesar 1,54 persen.

Angka inflasi tahunan tersebut yang terendah sejak Mei 2020 lalu yang berkisar 1,2 persen.

Persoalannya, lanjut Fithra, inflasi dan pengangguran memiliki korelasi berbanding terbalik. Artinya, bila inflasi rendah hingga menyentuh deflasi, maka pengangguran akan bergerak naik karena terbatasnya kesempatan di tengah lesunya kegiatan ekonomi.

"Inflasi dan pengangguran berbanding terbalik. Ketika inflasi naik, maka pengangguran turun. Tapi kalau inflasi turun, justru pengangguran naik karena kesempatan ekonomi menjadi terbatas. Ketika daya beli berkurang, maka mengakibatkan efek domino lintas sektor," ujarnya.

Selain pengangguran, ia menuturkan rendahnya inflasi juga menunjukkan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Deflasi dikatakan sebagai situasi ketika terjadi kelebihan stok di pasar, sementara permintaan turun. Ini yang memicu penurunan harga.

Secara umum, Fithra mengatakan antara pertumbuhan ekonomi dan level inflasi memiliki ruang (gap) kurang lebih 2 persen. Artinya, jika inflasi menyentuh level negatif atau deflasi, maka pertumbuhan ekonomi diproyeksikan tak jauh berbeda dari level inflasi.

Sehingga, jika pemerintah tak dapat mendongkrak daya beli yang tercermin dari data inflasi pada Agustus dan September, bisa jadi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 negatif.

"Kalau inflasi rendah, berarti pertumbuhan ekonomi rendah. Kalau deflasi terus, bisa jadi pertumbuhan ekonomi akan negatif," terang Fithra.

Meski tak ideal, namun deflasi Juli dinilai relatif rendah, yaitu 0,10 persen. Jika pemerintah dapat menggenjot daya beli dalam du bulan mendatang, ia menilai RI berpeluang lolos jerat resesi. Jika inflasi dapat menyentuh 0 persen, maka ekonomi memiliki ruang untuk tumbuh sebesar 1 persen hingga 2 persen.

Selain data inflasi sebagai indikator penentu pertumbuhan, Fithra menyebut PMI (Purchasing Manager's Index) manufaktur harus ditelaah. PMI merupakan indeks yang mengukur kepercayaan manajer bisnis sekaligus geliat industri terkait.

PMI manufaktur sempat menyentuh level tertingginya pada Februari lalu, yakni 51,9. Namun, indeks anjlok pada Maret-April akibat pandemi covid-19, yaitu 45,3 dan 27,5 secara berturut-turut. Pada Mei PMI naik tipis menjadi 28,6 dan membaik pada Juni dengan capaian 39,1 persen.

PMI kembali mencetak perbaikan pada Juli sebesar 46,9. Hal ini sejalan dengan pelonggaran pembatasan sosial.

Menurut Fithra, data tersebut patut dipertimbangkan dalam memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020. "Artinya, ini tren yang bagus karena menunjukkan geliat industri," jelasnya.

Lebih lanjut ia menyebut data ekspor dan impor juga harus menjadi perhitungan jika ingin melihat gambaran perekonomian secara menyeluruh. Pada Juni lalu, BPS mencatat kinerja perdagangan dalam negeri mengalami surplus US$1,27 miliar secara bulanan. Lebih tinggi dari surplus US$200 juta dibandingkan Juni 2019.

Secara total, neraca perdagangan surplus US$5,5 miliar pada Januari-Juni 2020. Realisasi ini lebih baik dari defisit US$1,93 miliar pada Januari-Juni 2019.

Pun dari beberapa rilis data yang dipantau Fithra menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang cenderung positif. Namun, ia menilai realisasi stimulus pemerintah masih rendah, padahal stimulus merupakan kunci untuk mendorong daya beli masyarakat.

Berdasarkan data yang ia terima per 22 Jui lalu, realisasi anggaran stimulus mendorong geliat UMKM di tengah pandemi baru sekitar 25 persen dari alokasi Rp123,46 triliun. Sementara, program penangan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional secara keseluruhan baru mencapai 19 persen.

"Diharapkan tren daya beli dijaga, kalau bisa dipertahankan stabil (Indonesia) tetap punya pertumbuhan positif, kuncinya di kuartal III," katanya.

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menyebut tren inflasi dalam 3 tahun terakhir memang cenderung rendah. Pencapaian diperparah oleh pandemi virus corona, ia memproyeksikan sepanjang tahun ini, rata-rata inflasi 1,5 persen.

Ia menilai pencapaian inflasi yang rendah mencerminkan penanganan wabah covid-19. Jika dibiarkan berlarut, melonjaknya angka pengangguran tak akan terelakkan. Lebih mengkhawatirkan lagi, kian besarnya peluang RI terperosok ke jurang resesi.

"Wabah harus segera ditanggulangi oleh pemerintah lebih serius dan fokus, upaya mengatur stimulus UMKM dan bansos harus direalisasikan. Karena itu yang mempengaruhi daya beli dan inflasi," tandasnya.

Related

News 1554548438346078191

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item