Wabah Corona, Penangkapan Jerinx, dan Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Bagian 2)

Wabah Corona, Penangkapan Jerinx, dan Kebebasan Berpendapat di Indonesia, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Wabah Corona, Penangkapan Jerinx, dan Kebebasan Berpendapat di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Revisi UU ITE pada 2016 dinilai Safenet tidak mengubah sifatnya yang predatoris terhadap kebebasan berekspresi, khususnya bagi mereka yang kontra terhadap pemerintah. Sebab Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3), yang sering dipakai untuk mempidanakan individu atau lembaga, masih bertahan.

“Koalisi mendesak [DPR] agar dua pasal karet di dalam UU ITE dihapus,” kata Damar Juniarto, selaku koordinator Safenet.

Pakar Teknologi Informasi, Abimanyu Wahjoehidajat, turut prihatin melihat agresifnya pemakaian UU ITE. Dia menilai masa depan kebebasan berpendapat dan bermedia sosial di Indonesia akan suram, jika dimensi kepastian hukum dalam menyuarakan pendapat malah dikembalikan kepada tafsir individu.

"Sungguh mengerikan apabila masyarakat kita jadi saling menuntut untuk sesuatu yang batasannya tidak jelas dan semuanya bergantung persepsi di individu. Bisa dibayangkan masa depan sosmed kita akan menjadi suram," kata Abimanyu.

Argumen konspiratif, bisa juga wawancara seorang influencer dengan pakar abal-abal, sebaiknya tidak diberi panggung oleh media massa di momen krisis seperti sekarang.

Dalam menghadapi pandemi, media lebih baik menyediakan ruang lebih besar untuk menyorot perjuangan tenaga medis, akuntabilitas kebijakan pemerintah, dan mempromosikan temuan berbasis sains untuk melawan penularan Covid-19.

Bisa dipahami bila IDI terluka melihat institusinya dihina oleh Jerinx, yang sedang memiliki banyak pendukung di medsos. Namun tentu ada jalan lain lebih baik, yang melelahkan tapi lebih efektif, yakni edukasi dan upaya komunikasi publik yang konstan.

Sudah fitrahnya bila dari sekian banyak influencer, ada yang bangga mempertontonkan pendapat pandir. André Spicer, Guru Besar Kajian perilaku organisasional dari City University of London, pernah mengkaji alasan ada orang pede mengampanyekan pandangan pribadi yang bertolak belakang dari ahli kesehatan. Jawabannya: di Abad 21 problem bias kognitif membesar akibat media sosial.

Bias kognitif terbangun ketika manusia merumuskan pandangannya pada suatu isu yang rumit hanya berdasarkan kepercayaannya selama ini. Setelah memutuskan keberpihakan, manusia lantas melakukan usaha apa pun untuk menjustifikasi bahwa pandangannya benar.

Akar masalahnya pendidikan yang tidak memadai, atau minimnya akses informasi yang akurat untuk meragukan pendapat pribadi mereka sendiri. Artinya, semua itu tak akan efektif diubah memakai pendekatan ancaman penjara.

Sayangnya, komunikasi dan transparansi kebijakan juga gagal dicontohkan pemerintah pusat selama masa awal penanganan Pandemi Corona. Alhasil, teori konspirasi dan kepatuhan warga menjalankan PSBB tak meningkat.

Jika kasus pencemaran nama baik dan penghinaan di media sosial definisinya senantiasa kabur, bahkan pemaknaan pasalnya bisa diinterpretasikan terlampau luas, yang jadi korban adalah kebebasan kita semua sebagai warga negara.

Memberi lampu hijau untuk pemakaian pasal karet UU ITE, dengan dalih melawan misinformasi Covid-19 sekalipun, akan melapangkan jalan penguasa memakainya membungkam kritik dalam bentuk apapun di masa mendatang.

Related

News 5833370790565447017

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item