Mengapa Warga Thailand Melakukan Demonstrasi? Ini Kisah dan Penjelasannya

Mengapa Warga Thailand Melakukan Demonstrasi? Ini Kisah dan Penjelasannya

Naviri Magazine - Mengkritik Kerajaan Thailand adalah hal yang tabu dan bisa terancam kurungan penjara. Namun, tabu ini dipatahkan ketika pengunjuk rasa berdemonstrasi di Bangkok pada awal Agustus. Mereka semakin berani mengkritik Raja Maha Vajiralongkorn dan menuntut perubahan.

Protes anti-pemerintah muncul tahun lalu setelah pengadilan melarang partai paling vokal yang menentang pemerintahan mantan pemimpin junta militer Prayuth Chan-ocha.

Aksi sempat jeda ketika pembatasan sosial pencegahan virus corona diberlakukan. Namun protes dilanjutkan pada pertengahan Juli yang menuntut pencopotan Prayuth, konstitusi baru, dan diakhirinya penyerangan terhadap aktivis, dikutip dari Reuters.

Beberapa pengunjuk rasa melangkah lebih jauh dengan daftar 10 tuntutan untuk mereformasi monarki.

Para pengunjuk rasa mengatakan mereka tidak berusaha untuk mengakhiri monarki, hanya mereformasinya, tetapi kaum konservatif cemas dengan tuntutan itu.

Prayuth mengatakan bahwa meski protes harus dibiarkan, mengkritik monarki terlalu berlebihan.

Prayut Chan-Ocha berterima kasih kepada para petugas dan semua orang yang telah bekerja sama untuk mengakhiri situasi secara damai, menurut pernyataan dari juru bicara resminya Anucha Burapachaisri.

"Baik pengunjuk rasa maupun petugas menghindari konfrontasi dan hasutan yang dapat menyebabkan situasi tegang yang tidak perlu," bunyi pernyataan itu, dikutip dari CNN.

"Pemerintah memiliki niat untuk memungkinkan orang untuk secara sah mengekspresikan hak mereka berdasarkan konstitusi."

Tanggapan istana

Kerajaan Thailand belum mengomentari protes dan tuntutan reformasi.

Tidak semua pengunjuk rasa menuntut reformasi monarki, dengan beberapa mengatakan seruan seperti itu kontraproduktif, tetapi demonstrasi pada Ahad memperlihatkan betapa besar massa yang menuntut reformasi kerajaan.

Para pengunjuk rasa ingin membalikkan kekuasaan konstitusional raja pada 2017, yang dibuat setahun setelah ia menggantikan mendiang ayahnya yang sangat dihormati, Raja Bhumibol Adulyadej.

Pemimpin gerakan mahasiswa dan aktivis Panasaya "Rung" Sitthijirawattanakul, 21 tahun, berorasi pada Sabtu malam untuk berbicara langsung kepada Raja Thailand Vajiralongkorn, sebuah tindakan yang dapat dihukum 15 tahun penjara jika komentarnya dianggap mencemarkan nama baik ke monarki.

Bahkan, undang-undang lese majeste membuat media terbatas dalam melaporkan isu seputar monarki Thailand, menurut CNN.

Apa tuntutan demonstran?

Aktivis pro-demokrasi mengatakan Thailand mundur dari monarki konstitusional yang didirikan ketika kekuasaan absolut kerajaan berakhir pada 1932. Mereka mengatakan monarki terlalu dekat dengan tentara dan berpendapat bahwa ini telah merusak demokrasi.

Para pengunjuk rasa juga berupaya membatalkan hukum lese majeste yang melarang penghinaan terhadap raja. Mereka ingin raja melepaskan kendali pribadinya untuk menguasai kekayaan istana yang diperkirakan mencapai puluhan miliar dolar AS, dan beberapa unit tentara.

Para pengunjuk rasa mengeluh bahwa raja mendukung jabatan perdana menteri Prayuth setelah pemilihan tahun lalu yang menurut tokoh oposisi direkayasa untuk tetap memegang kekuasaan. Prayuth, yang sebagai panglima militer memimpin kudeta 2014, mengatakan pemilihan itu adil dan transparan.

Selain itu, para pengunjuk rasa telah menyuarakan kemarahan karena raja menghabiskan begitu banyak waktunya di Eropa.

Mereka juga mengkritik pengeluaran Istana dan gaya hidup raja, yang telah menikah empat kali dan tahun lalu meminang permaisuri kerajaan.

Plakat demonstran

Para pengunjuk rasa menempelkan plakat dari kuningan di Sanam Luang atau Royal Field, dekat Grand Palace. Plakat tersebut menyatakan bahwa Thailand adalah milik rakyat, bukan raja.

Plakat itu menyerupai salah satu peringatan berakhirnya monarki absolut yang dicopot dari luar salah satu istana kerajaan tanpa penjelasan pada 2017, tahun setelah Vajiralongkorn naik takhta dan digantikan oleh satu dengan slogan pro-monarki.

Tentang UU Lese Majeste 

Kerajaan Thailand dilindungi oleh Pasal 112 dari KUHP negara, yang mengatakan siapa pun yang mencemarkan nama baik, menghina atau mengancam raja, ratu, pewaris atau anggota keluarga kerajaan akan dipenjara selama tiga hingga 15 tahun.

Pada Juni, Prayuth mengatakan hukum itu tidak lagi diterapkan karena "belas kasihan Yang Mulia". Istana Kerajaan tidak pernah berkomentar tentang ini.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan penentang pemerintah, termasuk puluhan pemimpin protes, baru-baru ini didakwa dengan undang-undang lain seperti undang-undang penghasutan dan kejahatan siber.

Pemerintah Thailand mengatakan tidak menargetkan lawan poliyik, tetapi adalah tanggung jawab polisi untuk menegakkan hukum.

Raja Vajiralongkorn diyakini menghabiskan sebagian besar waktunya di luar negeri dan sebagian besar absen dari publik saat negara itu bergulat dengan pandemi virus corona.

Sejak menjadi Raja, aset bernilai miliaran dolar AS yang dipegang oleh Kerajaan Thailand telah ditransfer ke Vajiralongkorn, menegaskan kendali atas keuangan kerajaan dan meningkatkan kekayaan pribadinya.

The Crown Property Act, yang disahkan pada 1936, memisahkan aset kerajaan dengan aset pribadi keluarga kerajaan. Mencabut undang-undang itu berarti membuat kepemilikan Istana Kerajaan Thailand dan Raja akan dikelola seluruhnya oleh Raja Vajiralongkorn.

Meskipun monarki absolut dihapuskan di Thailand pada 1932, Raja Thailand masih memiliki pengaruh politik yang signifikan.

Related

News 5993321135672473446

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item