Akun Menfess, Sarana Kebebasan Berekspresi di Medsos yang Rentan Kebablasan (Bagian 2)

Akun Menfess, Sarana Kebebasan Berekspresi di Medsos yang Rentan Kebablasan

Naviri Magazine
- Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Akun Menfess, Sarana Kebebasan Berekspresi di Medsos yang Rentan Kebablasan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pengguna Twitter bebas mencurahkan opini dan memberi informasi yang mungkin jarang diketahui orang. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Andina Dwifatma, dosen program studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Berkat keberadaan auto base, sekarang kita tak perlu kenal dengan seseorang untuk mendapatkan saran atau dukungan dari mereka.

“[Auto base] memberi platform atau medium untuk orang bisa berekspresi [dan] menjalin relasi dengan orang lain, baik itu dalam bentuk kirim salam, curhat maupun minta saran, tanpa harus invest di hubungan personal,” Andina menjelaskan. 

Kemudahan itu membuat auto base kerap dijadikan tempat andalan menanyakan sesuatu, meski sebagian besar jawaban dari pertanyaan manusia ada di mesin pencarian Google sekali pun.

Akun Menfess, Sarana Kebebasan Berekspresi di Medsos yang Rentan Kebablasan

Selain itu, auto base bisa populer karena masyarakat Indonesia cenderung takut berpendapat. Penulis dan pegiat literasi digital Lamia Putri Damayanti menilai kebebasan berpendapat yang dikekang atau direpresi sejak era Orde Baru masih menyisakan jejaknya di era pascareformasi. 

Banyak orang Indonesia tidak memahami bagaimana cara menyampaikan pendapat dengan baik. Ruang untuk berdiskusi pun sulit dicari di dunia nyata, sehingga kita kebingungan harus ke mana mengekspresikan pemikiran.

“Hasilnya, kita mencari alternatif untuk ruang diskusi, misalnya saja di internet maupun forum-forum lain,” terang Lamia. “Twitter base memfasilitasi ruang itu, tetapi tidak dibarengi dengan literasi digital ataupun etika bermedia sosial yang baik. Kita sudah lumayan gagap dalam beradaptasi dengan teknologi serta ruang-ruang demokrasi yang diciptakan dari tempat itu.”

Sifatnya yang anonim juga menjadi nilai tambah tersendiri buat akun auto base. Mungkin ada satu dua hal yang mengusik pikiranmu, tapi kalian malu atau tidak berani bertanya langsung ke teman atau keluarga. Di akun menfess, kalian tak perlu khawatir akan dihakimi. Para pengikutnya tidak pernah tahu siapa saja yang mengirim twit-twit tersebut.

Masalahnya, anonimitas acap kali disalahgunakan untuk menyerang pihak tertentu, serta mengekspos beberapa hal lepas dari konteks awalnya. Noam Lapidot-Lefler dan Azy Barak dari Universitas Haifa, Israel, memaparkan kesimpulan kajian tentang pengaruh anonimitas dan invisibilitas di dunia maya.

Pengguna internet yang bersembunyi di balik akun anonim seringkali merasa tidak perlu bertanggung jawab atas perilaku buruk mereka, sebab tidak ada orang yang mengetahui identitas aslinya. 

Dengan hilangnya tanggung jawab, orang lebih leluasa berkata dan bertindak sesuka hati, terbebas dari konsekuensi yang seharusnya mereka tanggung andai interaksi itu terjadi di dunia nyata. Begitu twit menfess mereka viral karena mengundang emosi atau menebar “aib” orang lain, kita sebagai pembaca tidak tahu siapa yang mesti disalahkan.

Kehadiran akun menfess dengan agenda julid sekaligus menawarkan solusi bagi pengguna Twitter yang haus akan drama. Pembaca mungkin tahu, betapa tak sedikit warga Twitter di Indonesia bangga memproklamirkan bahwa mereka suka mencari keributan. 

Walaupun konten yang muncul di linimasa twit @tubirfess atau @AREAJULID tak selalu negatif, drama adalah faktor utama akun-akun menfess ini sangat menarik perhatian netizen.

Lamia dan Andina sepakat, kebanyakan orang yang mengirim tangkapan layar twit atau konten pengguna lain ke akun menfess sebenarnya tak punya niat awal ingin berdiskusi. Mereka hanya tertarik memancing debat; mempermasalahkan sesuatu yang kadang tidak perlu diributkan. Sejujurnya, kebiasaan julid ini berlaku untuk semua pengguna Twitter, bukan hanya dimiliki follower akun menfess saja.

Menurut penelitian yang dilansir BBC, kata-kata atau pesan yang penuh emosional cenderung lebih cepat menyebar di media sosial. Kemungkinan twit bermuatan emosi atau moral untuk di-retweet 20 persen lebih besar dari twit biasa.

“Konten yang memicu amarah jauh lebih mungkin untuk dibagikan [secara luas],” ujar peneliti Molly Crockett saat diwawancarai BBC. Maka tidak heran jika twit kasar dan jahat sering muncul di linimasa, padahal kalian tidak pernah follow akun julid.

Pada akhirnya, sebagian konten akun-akun menfess menjadi lahan subur berseminya perundungan online. Berkaca pada kasus Akib, si pengirim menfess tampaknya ingin menyudutkan sosoknya. Orang-orang spontan bereaksi negatif ketika melihat lelaki “berdandan seperti perempuan”, karena menurut mereka tindakannya menyalahi kodrat.

Sembari kesadaran berdiskusi lebih dewasa bisa muncul, benteng yang tersisa tinggal kesiapan individu buat menghindari efek buruk perundungan macam itu. Akib mengaku kuat menghadapi cercaan yang berasal dari komen-komen menfess, berkat dukungan teman-teman terdekat yang tahu bahwa dia tidak salah, serta sejatinya di keseharian mendukung teman-teman queer di Tanah Air.

“Dari awal menyadari twitnya viral, aku enggak mau back down karena itu justru memberi pesan yang salah bahwa rundungan mereka valid dan mereka bisa merundung,” ujarnya. “Aku tidak mau membuat teman-teman queer berpikir, ‘Oh berarti memang kita harus hati-hati posting di sosmed dan engga menunjukkan jati diri’ karena Akib aja akhirnya take down twitnya.”

Related

News 6862558599169201103

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item