Masalah Startup di Indonesia: Tumbuh dan Inovatif tapi Macet di Tengah Jalan


Naviri Magazine - Masyarakat tentu sudah mengenal perusahaan rintisan yang kini sudah menjadi raksasa. Laporan CB Insight pada Oktober 2020 merilis nama-nama startup lokal yang mencatatkan valuasi tinggi. Tentu saja ada nama Gojek dengan valuasi sebesar USD 10 miliar, lalu Tokopedia sebesar USD 7 Miliar, Traveloka sebesar USD 3 miliar, hingga OVO dengan valuasi hingga USD 2 miliar.

Di balik nama nama startup dengan level unicorn itu, masih ada masalah lain yang luput dari sorotan. Hal itu tidak lain ialah rendahnya success rate bagi pelaku startup di Indonesia. Pemerintah sebenarnya telah turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini.

Upaya pemerintah Indonesia menghasilkan perusahaan berstatus unicorn telah dirintis sejak 2016 silam, di bawah payung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menggandeng KIBAR. Sesuai namanya, program ini menjaring sebanyak mungkin perusahaan rintisan dengan mendirikan pusat inovasi di 10 kota di Indonesia.

Uluran tangan pemerintah tidak cukup besar untuk menangani seluruh pelaku industri startup baru. Akibatnya, ada banyak perusahaan rintisan Indonesia yang tumbang karena ketidaksiapan menghadapi pasar. Padahal, hal ini bisa diantisipasi dengan inkubator dan akselerator bisnis. 

Program akselerasi biasanya menyasar startup dengan produk yang lebih matang, namun masih perlu proses validasi ke pasar. Sementara itu, inkubasi berfokus pada proses menyempurnakan ide dan produk.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Periode 2014 hingga 2019 Rudiantara sempat menyinggung masalah kegagalan ini. Menurut Rudiantara, startup lokal Indonesia kerap buru-buru meluncurkan produk tanpa memvalidasi pasarnya terlebih dahulu.

“Kebanyakan di Indonesia banyak yang techie (techno savvy) tapi mereka lupa terhadap market, ada nggak pasarnya? We need to validate the market. Gimana caranya biar success rate startup kita bisa lebih dari 75%,” kata Rudiantara.

Ekosistem startup lokal pun perlahan berbenah. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menekankan, inkubator sangatlah diperlukan untuk menopang bisnis startup Indonesia saat ini. Terlebih, kata Bambang, keberlangsungan startup sangat strategis dalam menopang Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) tanah air.

“Jika melihat prospek yang menjanjikan dari bisnis startup, belum diimbangi dengan jumlah wirausaha yang ada di Indonesia. Mengingat jumlah wirausaha di Indonesia baru mencapai sekitar 3% saja dari jumlah penduduk Indonesia. Masih di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (5%), Singapura (7%), dan Tiongkok (10%),” ungkap Bambang dalam peluncuran Digital Incubator Playbook.

Dukungan berupa dana juga dikucurkan pemerintah untuk membumikan bisnis startup lokal. Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dalam program Perusahaan Lanjutan Berbasis Teknologi (PLBT) menyiapkan skema berupa dana hibah senilai Rp250 juta hingga Rp1 Miliar. Tahun lalu, sebanyak 300 startup terpilih untuk mendapatkan suntikan dana pemerintah ini.

Menurut Direktur Eksekutif Masyarakat Industri Kreatif Berbasis Teknologi Informasi (MIKTI) Indra Purnama, mewujudkan success rate yang disebut Menkominfo Rudiantara sangatlah sulit.

“Untuk menggarap pasar Indonesia yang sangat luas ini, harusnya jumlah startup yang menggarap ini sangat banyak. Sayangnya jumlah inkubator di Indonesia terbatas hanya 130, tidak mewadahi pertumbuhan startup baru,” Kata Indra.

Menyoal kondisi inkubator tanah air, Indra menyebut mayoritas inkubator startup di Indonesia tidak memiliki bidang fokus industri atau teknologi yang spesifik, terlebih mayoritas di antaranya dimiliki perguruan tinggi. Hal ini membuat inkubator tidak dapat secara optimal merancang program dan bentuk dukungan yang sesuai untuk startup yang dibinanya

Selain itu, kondisi inkubator di Indonesia belum bisa memberikan dukungan penuh. Hal ini nampak dari jumlah inkubator yang mampu memberikan pendanaan awal tidak lebih dari 15 inkubator.

“Dana itu minim sekali diberikan inkubator di Indonesia. Kalau kita lihat di luar negeri itu inkubator sudah memberikan skema-skema pendanaan bagi startup. Beruntung ada dana hibah pemerintah, tapi belum cukup banyak untuk mengcover pertumbuhan awal startup di seluruh Indonesia,” Jelas Indra.

Di sisi lain, Indra melihat mayoritas pendiri startup lokal kerap terkecoh dengan potensi pangsa pasar di Indonesia. Meski data terakhir menunjukkan Indonesia punya 196,7 juta pengguna internet, hal itu tidak menjadi jaminan produk atau layanan startup dibutuhkan oleh pasar.

“Itu menunjukkan pendiri tidak memahami proses inovasi dan hanya fokus pada besarnya pasar tanpa memahami pasar yang besar itu memiliki segmen-segmen dengan kebutuhan yang berbeda juga,” terang Indra.

Terlebih, adanya krisis pandemi covid-19 membuat perubahan perilaku pasar dalam waktu yang singkat. Data dari PwC menunjukkan adanya pergeseran tersebut, misalnya, peningkatan atensi masyarakat terhadap produk kesehatan hingga adaptasi proses berbelanja.

Related

News 1684500087366419938

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item