Asal Usul Bitcoin, dan Cara Kerja Mata Uang Digital Ini di Dunia


Naviri Magazine - Seperti halnya benda seni atau merk fashion, mata uang digital memiliki estetika sendiri yang membuatnya diinginkan. Jika pada masa lalu, alat pamer kekayaan adalah emas, karya seni murni, dan mode mewah, alat pamer kekayaan saat ini bisa dalam bentuk dompet digital atau logo holding koin digital. 

Berbagai macam upaya telah dilakukan untuk mengejawantahkan mata uang digital ke dalam dunia materiil—termasuk dengan menggunakan koin logam dengan motif mencolok atau stik USB berdesain tinggi untuk mencerminkan nilai mata uang itu—tetapi belum ada yang berhasil.

“Tidak adanya bentuk fisik sama sekali tidak menjadi penghalang mata uang digital menjadi simbol status,” ujar Eric Meltzer, yang menjadi partner di sebuah perusahaan investasi mata uang kripto asal RRT, INBlockchain pada 2017. “Orang-orang Bitcoin garis keras berpikir bahwa ini adalah aristokrasi baru. Mereka sangat yakin bahwa merekalah kalangan 0.01 persen yang baru, dan mungkin saja mereka benar.”

Bitcoin diluncurkan pada 2008 oleh seorang tokoh bernama Satoshi Nakamoto, yang identitasnya sendiri, apakah dia satu atau banyak orang, masih belum diketahui. Butuh bertahun-tahun hingga mata uang ini mendapat perhatian mainstream. 

Pada 2012, pengadopsi awal membentuk Bitcoin Foundation, hal yang paling dekat dengan lembaga pengelola resmi, yang dipimpin oleh Gavin Andresen, seseorang yang dipilih oleh Nakamoto sebagai developer utama proyek Bitcoin, sesaat sebelum ia menghilang dari internet pada 2010.

“Narasi menjadi hal yang sangat penting dalam dunia kripto,” ujar seniman asal Berlin, Simon Denny, yang karyanya juga merespons fenomena maraknya Bitcoin. 

Kisah asal usulnya yang misterius menjadi bagian dari daya tarik mata uang ini; anonimitas Nakamoto yang seakan tak dapat ditembus juga memperkuat sifat keanoniman mata uang itu sendiri. 

Ketika diluncurkan tidak lama setelah krisis finansial, Bitcoin memiliki, sebagaimana yang dikatakan Denny, “resonansi yang luas dengan narasi-narasi ketidakpercayaan akan institusi yang mulai muncul pada waktu itu,” termasuk pemberitaan tentang bank-bank yang tidak efektif, kebijakan korup, dan media yang bias. 

Kepopuleran Bitcoin sebagian besar merupakan gejala ketidakpercayaan yang puncaknya terjadi saat Brexit dan kemenangan Donald Trump.

Desentralisasi adalah inti dari mata uang kripto. Untuk memahami bagaimana Bitcoin bekerja—dengan menggunakan metafora visual yang sedikit liar—bayangkan ada peti harta karun yang dikubur di bawah tanah. Di dalam peti itu terdapat 21 juta lembar kertas, yang masing-masing memiliki sederetan angka unik. Inilah yang disebut “koin.” 

Nakamoto kemudian merilis 50 Bitcoin pertama pada Januari 2009, melepasnya dari peti harta karun itu. Ketika para pengguna membelanjakan dan menerima mata uang yang dirilis itu, jaringan komputer terdesentralisasi menjamin keakuratan setiap transaksi Bitcoin. 

Dengan menggunakan peranti keras bertenaga tinggi, orang-orang yang disebut sebagai penambang (yang diperkirakan berjumlah puluhan hingga ratusan ribu orang) memverifikasi transaksi-transaksi yang terjadi. Mereka menjalankan fungsi bank, tetapi tanpa ada otorita yang terpusat, dan dengan demikian menghilangkan risiko korupsi. 

Para penambang kemudian diberi kompensasi dalam bentuk Bitcoin baru. Inilah yang menjadi asal muasal sebutan mereka: merekalah yang menambang dan membawa Bitcoin ke dalam peredaran.

Siapa pun bisa menjadi penambang Bitcoin dengan mencolokkan perangkat keras yang tepat, tetapi biayanya mahal dan butuh banyak waktu untuk melakukannya. Semakin banyak Bitcoin yang ditambang, proses verifikasinya semakin rumit dan memerlukan tenaga komputasi yang semakin tinggi, yang berarti bahwa para penambang harus bekerja sama, dan membentuk pool-pool untuk saling berbagi hasil. 

Pada akhirnya, hanya maksimal 21 juta Bitcoin yang dapat ditambang—batas nilai yang ditetapkan oleh Nakamoto, penciptanya. Saat ini ada 16,8 juta Bitcoin dalam peredaran, meski banyak yang hilang atau terlupakan oleh penambangnya; lebih mudah keliru menaruh angka daripada sebatang emas. Kapitalisasi pasar mata uang ini, hingga bulan Januari 2018, telah mencapai sekitar $290 miliar.

Melalui pertukaran pasar sekunder, pengguna dapat membeli dan menjual koin yang terbagi menjadi pecahan nilai yang berbeda-beda. 

“Tidak sama dengan tas Birkin, di mana kamu harus kenal orang yang kenal dengan seseorang untuk bisa masuk waiting list,” ujar Alice Lloyd George, pemimpin perusahaan investasi asal New York RRE Ventures, yang berinvestasi ke perusahaan-perusahaan startup yang membangun teknologi ini. “Kamu bisa membeli atau menghadiahkan pecahan mata uang kripto.”

Sistem seperti ini memiliki dua keuntungan. Yang pertama, seperti halnya apa pun yang ada di internet (file animasi GIF, misalnya), “koin-koin” ini punya pasokan yang terbatas dan tak dapat direplikasi, yang berarti bahwa penciptaan nilainya mirip seperti lukisan oleh seniman terkenal. 

Keuntungan yang kedua adalah bahwa angka “koin” yang terenkripsi dapat dilacak, meski sifatnya anonim, sehingga setiap transaksi Bitcoin dapat diketahui publik. Database setiap transaksi, yang dibangun oleh para penambang, disebut sebagai blockchain. 

Blockchain, yang sangat aman, menyajikan pencatatan seluruh sejarah perpindahan satu Bitcoin oleh para penggunanya, meski pemegang koin itu sendiri tidak bernama.

Related

Technology 465741359412195271

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item