Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Bagi Mardiono, sebagai anggota kepolisian, wajib hukumnya selalu siap menjalankan komando, termasuk kala dia diminta berpartisipasi menekan angka kriminalitas lewat kebijakan petrus, tak lama usai menyelesaikan misi di Timor Leste. Dengan ikut petrus, setidaknya, Mardiono merasa mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di Tribrata—pedoman hidup personel kepolisian.

"Pokoknya kuncinya cuma dua: berani dan ada jaminan dari komandan kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Selama dua [kunci] itu ada, saya siap menjalankan tugas apa pun itu," tegasnya, yakin.

Mardiono percaya sekali kriminal tetaplah kriminal. Kemungkinan untuk kembali berlaku jahat akan terus terbuka lebar, tak peduli berapa lama penjara menjerat kebebasan hidup.

Dalam mempersiapkan diri menjalani tugas-tugas petrus, Mardiono punya metode khusus. Sebelum turun ke lapangan, dia bakal lebih dulu pergi ke Banyuwangi menemui guru spiritualnya. Di sana, Mardiono bakal mandi dengan air suci serta mendengarkan dengan seksama petuah sang guru. Harapannya, Mardiono terhindar dari petaka di setiap tugas yang diemban.

Selama petrus berlangsung, Mardiono ditempatkan di Surabaya dan sekitarnya. Selain operasi memburu bandit pencuri emas, Mardiono juga pernah terlibat dalam pengejaran kriminal asal Madura yang dikisahkan mati tertembak selepas menginjakkan kaki di bandara, sepulang dari ibadah haji di Makkah.

"Dia [ikut] haji itu buat nutupin boroknya. Padahal, aslinya di bandit kelas kakap yang punya anak buah para kriminal," tuding Mardiono.

Sepasang operasi yang diikuti tersebut, Mardiono mengaku, menciptakan efek kejut luar biasa bagi para kriminal atau mantan kriminal. Mereka tak berani macam-macam karena sekali bertindak demikian, nyawa yang jadi taruhannya.

"Petrus itu berhasil besar. Tingkat kejahatan saat itu turun dengan drastis," klaimnya.

Kemunculan pertama petrus, mengutip penelitian David Bourchier berjudul "Crime, Law, and State Authority", terjadi di Yogyakarta pertengahan Maret 1983. Saat itu, sasarannya adalah bromocorah, gali, dan preman. Di bayangan rezim Suharto, orang-orang macam itu hanya mengganggu stabilitas negara, dan oleh sebabnya mesti dilenyapkan.

Kemunculan petrus tak serta merta sebatas berkorelasi dengan tujuan ketertiban dan keamanan. Dalam pandangan beberapa pihak, kelahiran petrus tak dapat dilepaskan dari lanskap politik saat itu. Aris Santoso, peneliti militer, misalnya, berpandangan bahwa kelahiran operasi petrus disebabkan adanya konflik yang dialami Golkar menjelang dan sesudah Pemilu 1982.

Dalam rangka menjaga kursi kekuasaannya, Suharto meminta Ali Moertopo, menjabat Wakil Kepala BAKIN—sekarang Badan Intelijen Negara—untuk menggalang suara. 

Yang dilakukan Ali, lewat Operasi Khusus (Opsus), yang jadi trademark karier intelijennya, ialah "membina" para preman atau residivis dalam organisasi tertentu, seperti The Prems (Jakarta), Yayasan Fajar Menyingsing (Jawa Tengah), atau Massa 33 (Jawa Timur). Tak hanya difungsikan sebagai lumbung suara, para preman ini juga dipakai Ali jadi alat gebuk oposisi yang menentang rezim.

Relasi preman dan militer bukan hal yang mengagetkan. Peneliti asal Australia Ian Douglas Wilson, dalam buku bertajuk Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, menyebut relasi preman dan pemerintah jamak bermunculan sebelum era Orde Baru. Di masa Orde Lama, ambil contoh, ada Abdul Haris Nasution yang memupuk dukungan dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Pemuda Pancasila.

Akan tetapi, koalisi preman-militer tak selamanya mulus. Usai Pemilu 1982, kata Aris, para preman mulai meminta imbal balik lebih besar, seringkali berwujud sumber daya ekonomi, kepada pemerintah atas kontribusinya dalam membantu memenangkan kontestasi politik tahunan. Alih-alih dituruti, oleh pemerintah, permintaan tersebut dinilai di luar batas.

"Akhirnya karena dianggap rewel, preman-preman ini dihabisi oleh militer," ucap Aris, penulis buku Merekam Derap Sepatu Lars: Kumpulan Catatan Militer di Indonesia. "Karena, pada dasarnya, memelihara preman itu sama seperti memelihara macan. Waktu kecil, mungkin nurut. Tapi, ketika sudah beranjak besar, jadi sulit dikendalikan. Inilah yang kemudian disadari Ali dan Orba."

Baca lanjutannya: Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 3)

Related

Indonesia 1032271160252062562

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item