Mengapa Lebih Banyak Wanita jadi Bintang Iklan Dibanding Laki-laki? (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Lebih Banyak Wanita jadi Bintang Iklan Dibanding Laki-laki? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Apakah sebenarnya seks ampuh dalam mendongkrak penjualan? Menurut desainer Jason Wu, hal ini tergantung pada apa yang dijual. 

“Saya pikir iklan yang menampilkan keseksian secara terang-terangan mendorong penjualan pakaian dalam, tetapi sehubungan dengan koleksi desainer, saya pikir sekarang kita ada dalam tahapan yang lebih mengedepankan penggambaran keseksian yang lebih subtil. Gagasan iklan yang menampilkan keseksian secara gamblang selalu menarik perhatian. Tetapi saya rasa sekarang sudah tidak lagi karena hal tersebut sudah ditampilkan di mana-mana dari waktu ke waktu,” jabarnya. 

Studi dari The Ohio State University juga menyatakan bahwa seks—seperti halnya kekerasan—tidak melulu berdampak positif terhadap penjualan. Brad Bushman, profesor psikologi dari institusi tersebut mengatakan, “Orang-orang begitu fokus terhadap seks dan kekerasan yang ditampilkan di media sehingga mereka malah tidak memperhatikan pesan iklan yang ditampilkan bersamanya. Pengiklan tidak boleh terlalu yakin bahwa seks dan kekerasan bisa membantu meningkatkan penjualan produknya.” 

Dalam studi yang sama juga ditemukan, semakin tinggi konten seksual dalam iklan, semakin negatif tanggapan orang-orang terhadap suatu merek dan semakin rendah kemungkinan mereka ingin membeli produk yang diiklankan. 

Seperti halnya penggambaran tubuh perempuan, tubuh laki-laki telanjang yang ditampilkan dalam iklan memiliki standarisasi tersendiri. Atletis dengan perut berkotak, tanpa bekas luka, dan tinggi semampai adalah karakteristik klasik laki-laki yang ditonjolkan oleh para pengiklan. Lihat saja pin-up majalah perempuan yang sering kali memperlihatkan laki-laki yang cuma bercelana dalam. 

Hal ini lantas melanggengkan stereotip tubuh ideal yang tak pelak dapat membikin laki-laki yang tak serupa gambaran tersebut rendah diri. Tidak heran bila di media sosial atau dalam praktik keseharian, para laki-laki menampilkan otot-otot kencang yang mereka anggap atraktif bagi perempuan.

Beda efek obyektifikasi laki-laki dan perempuan  

Ada yang berpendapat bahwa penampilan laki-laki telanjang sebagai objek dalam iklan merupakan upaya balas dendam atas obyektifikasi yang dialami perempuan. Sebenarnya, ketika perempuan melihat tubuh-tubuh telanjang laki-laki, mereka tidak mendatangkan efek yang sama dengan saat laki-laki mengobyektifikasi perempuan. 

Yang membedakan obyektifikasi laki-laki dan perempuan adalah latar belakang posisi mereka dalam mayoritas masyarakat. Perempuan memiliki sejarah panjang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, serta perlakuan diskriminatif berdasarkan penampilan mereka. 

Media massa sering menampilkan perempuan-perempuan berpakaian seksi—yang salah satu tujuannya memanjakan mata laki-laki. Penampilan mereka lantas diidentikkan dengan sifat terbuka secara seksual. Lantas, saat dalam keseharian terdapat perempuan berpakaian demikian, ia serta merta dianggap menggoda, bisa diajak tidur, murahan, dan aneka stigma negatif lainnya. 

Kenyataannya bisa justru tidak seperti anggapan ini. Ketika laki-laki membuat gerakan dengan asumsi perempuan tersebut menggodanya, si perempuan akan merasa risi atau tidak aman. Mau tidak mau, ia mesti menutupi tubuhnya walau sebenarnya memakai pakaian terbuka lebih terkait kenyamanannya dibanding ekspresi seksual. Apakah laki-laki merasakan ketidaknyamanan yang sama akibat obyektifikasi? 

Orang-orang juga cenderung menoleransi obyektifikasi laki-laki ini lantaran seksualitas mereka tidak seterkungkung perempuan. Laki-laki telanjang dada di depan publik jarang jadi perkara, lain cerita bila perempuan yang terlihat berkutang saja.

Meski obyektifikasi laki-laki tak sejamak perempuan, dan banyak orang yang lebih memaafkannya, tidak berarti hal ini adalah sesuatu yang patut dianggap normal. Apa pun gendernya, seseorang tak patut menjadi sekadar alat, entah bagi manusia lain maupun demi laba. 

Related

Business 4956461904139634472

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item