Harus Ada yang Bertanggung Jawab jika Warga Meninggal Akibat Vaksinasi (Bagian 1)


Naviri Magazine - Keluarga tidak menyangka dengan kepergian Trio Fauqi Virdaus. Meninggalkan rumah dalam keadaan sehat, pulang merintih kesakitan usai menjalani vaksinasi Covid-19.

Hari itu, Trio memang mendapatkan vaksin Covid-19 asal Inggris, AstraZeneca. Hanya dalam waktu 24 jam, tiba-tiba badan Trio menjadi linu dan mengalami sakit kepala luar biasa. Kondisi itu terus terjadi hingga akhirnya pegawai outsourcing salah satu BUMN ini mengembuskan napas terakhir.

Kepergian Trio membawa duka mendalam. Keluarga berharap ada pertanggungjawaban dari pemerintah. Menyampaikan belasungkawa kepada keluarga, hingga meminta maaf di hadapan publik atas kelalaian program vaksinasi.

Menurut informasi yang diterima kakak Trio, Viki, sang adik hanya mengisi selembar kertas mengenai kondisi keadaannya sebelum melakukan vaksinasi, kemudian diperiksa tensi sebelum penyuntikan. Pemeriksaan seperti itu dianggap Viki salah. Seharusnya ada screening mendalam dengan pemeriksaan kesehatan lengkap.

"Jangan saat terjadi seperti ini ketika sudah ada meninggal mereka berkoar-koar 'oh mungkin ada penyakit lain' kenapa tidak dicek dulu sebelum disuntik?" kata Viki.

"Jadinya nyawa seseorang tergantung pada secarik kertas kuisioner," sambungnya.

Viki menyalahkan sistem screening vaksinasi Covid-19 yang digelar pemerintah. Dia mengaku kesal tidak dapat menerima kejadian dialami sang adik.

Viki meminta pertanggungjawaban kepada tiga pihak. Pertama Kementerian Kesehatan sebagai penyelenggara. Kedua Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta Pengadaian, BUMN tempat Trio bekerja sebagai outsourcing yang mewajibkan mengikuti vaksinasi.

"Selama ini bertanya, siapa yang bakal bertanggungjawab. Semua elemen yang tadi saya sebutkan bertanggungjawab," tutur Viki.

Penuturan Viki, sejak kematian adiknya usai divaksinasi, tidak ada respons baik dari pihak pemerintah terhadap keluarganya. Tidak ada pejabat pemerintah yang datang ke kediaman keluarga di kawasan Buaran, Jakarta Timur, bahkan sekadar mengucapkan belasungkawa.

Petugas Puskesmas memang sempat mendatangi kediamannya. Tetapi dia menilai, tidak ada solusi atau jawaban yang diberikan perihal kematian Trio.

"Mengirim orang kecamatan ke rumah, bukan begitu caranya, apa mengirim orang Puskesmas? Hanya sekadar menanyakan ini maunya gimana. Kalau sekadar menanyakan maunya gimana, bisa gak Pemprov hidupin adik saya lagi. Itu mau saya loh. Bisa gak Pemprov hidupin adek saya lagi," tegasnya.

Dia berharap pemangku kebijakan dari level gubernur hingga menteri duduk satu meja membicarakan persoalan ini dan mencari penyebab serta solusinya. Sebab yang dibutuhkan keluarga saat ini, katanya, sebuah penjelasan yang detil tentang penyebab menurunnya kondisi Trio usai divaksin hingga akhirnya meninggal dunia.

"Kalau mau adakan pertemuan, gubernur pak Anies Baswedan yang terhormat, Kemenkes, ibu dan bapak menteri bertemu. Ini loh keluarga korban ayo pecahin masalahnya bagaimana. Jangan cuma sekadar datang beri santunan ya selesai ya. Enggak butuh saya masih bisa kerja," kata Viki meluapkan kekesalannya.

Sejauh ini, kata Viki, keluarga masih berharap ada itikad baik pemerintah daerah dan pusat. Tetapi bila tidak, dia dan keluarga sedang memikirkan langkah selanjutnya.

"Tapi kalau pemerintah masih tetap diam bisu dan tuli saya akan terus bersuara," pungkas Viki.

Tanggapan KIPI dan Pegadaian

Komisi Nasional (Komnas) Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) belum memiliki cukup bukti untuk mengaitkan peristiwa meninggalnya Trio Fauqi Virdaus (22) dengan pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca.

"Saat ini sedang dilakukan penelusuran untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk mengaitkan kejadian ikutan pascaimunisasi dengan imunisasi yang diberikan," kata Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari dilansir Antara.

Hindra mengatakan gejala yang mungkin timbul pascaimunisasi beragam pemicunya, bisa disebabkan oleh kandungan vaksin yang mengalami cacat produk hingga kekeliruan prosedur saat penyuntikan.

"Dulu ada vaksin Rotavirus menyebabkan invaginasi, tapi sekarang sudah diubah produknya jadi generasi berikutnya dan sekarang sudah aman. Atau kekeliruan prosedur, misalnya disuntikkan di dalam otot, ternyata suntiknya terlalu dangkal itu bisa juga sebabkan KIPI," katanya.

Hindra mengatakan Komnas KIPI masih mengumpulkan bukti terkait dugaan pembekuan darah yang dialami warga Buaran, Jakarta Timur itu.

"Belum cukup bukti, namun tidak dapat disingkirkan," katanya saat ditanya apakah kejadian yang dialami Trio berkaitan dengan pembekuan darah.

Prinsip kedua yang sedang ditelusuri Komnas KIPI adalah faktor kecemasan almarhum yang tidak terkait dengan imunisasi.

"Prinsip keduanya adalah kecemasan, namun gejala yang diperlihatkan ada perbedaan," katanya.

Reaksi kecemasan berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada 20 Desember 2019 dikelompokkan dalam 'Immunization Stress-Related Respons' atau gejala dan tanda yang muncul akibat kecemasan.

"Ini tidak berhubungan dengan kecacatan produk, tidak berhubungan dengan isi vaksin bahkan kekeliruan prosedur. Respons ini merupakan reaksi dari 'nerveus fanboost', reaksinya berupa napas cepat berhubungan dengan reaksi psikiatrik yang berhubungan dengan stres," katanya.

Hindra mengatakan faktor stres muncul karena kekuatan psikologi orang berbeda, kerentanan berbeda, pengetahuan tentang vaksin juga berbeda dan persiapan dan konteks sosial berbeda pada setiap individu.

"Misalnya saat mau ujian lisan, kita ke kamar mandi bolak-balik. Atau dipanggil atasan, kita berdebar. Bisa juga diputuskan pacar, tidak ada nafsu makan. Reaksi ini sama dengan imunisasi," katanya.

Baca lanjutannya: Harus Ada yang Bertanggung Jawab jika Warga Meninggal Akibat Vaksinasi (Bagian 2)

Related

News 4711428389860991969

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item