Kisah Para Artis yang Bergelimang Popularitas, tapi Merasa Sunyi dan Lelah (Bagian 1)


Naviri Magazine - "Tak ada ilmu yang bisa mengajarkan cara menghadapi popularitas. Tak ada panduan yang bisa menyiapkanmu menghadapi perasaan aneh dan sesak karena dikenali ke mana pun kamu pergi. Tak ada latihan untuk menghadapi itu semua," tulis Duff McKagan dalam It's So Easy and Other Lies (2011). 

Jauh sebelum Appetite for Destruction dirilis, Duff McKagan hanyalah pemuda asal Seattle dengan dandanan mencolok. Tinggi nyaris 2 meter, rambut dicat merah, suka mengenakan mantel kulit yang ujung belakangnya menyentuh betis. 

Dengan dandanan seperti itu, Duff diacuhkan oleh sekelilingnya. Dianggap sebagai anak muda biasa yang mencari perhatian. Namun, saat Guns N Roses merilis album perdana yang kemudian terjual 30 juta kopi di seluruh dunia, dunia Duff tak lagi sama. 

Ia bukan sekadar pemuda aneh dengan pakaian kacau balau. Bukan cuma pemuda berambut merah yang suka memakai gembok sebagai kalung. Tak lagi menjadi pemuda jangkung yang hobi minum bir. Ia adalah Duff McKagan, basis grup rock terbesar dunia. Ia adalah bintang rock. Ia dikenali saat pergi ke mana pun. 

Ternyata popularitas macam itu membuatnya merasakan cemas sekaligus ketakutan yang ganjil. Ia merasa betapa sempit kebebasannya. Duff baru berusia 23 saat semua kegilaan itu dimulai. 

"Suatu hari kamu pergi ke toko kelontong untuk beli rokok. Kemudian tiba-tiba saja ada histeria massa saat kamu masuk ke toko. Dalam teori, dunia dan masa depanku terbuka. Uang dan ketenaran seolah mewakili kesempatan yang tak terbatas. Tapi praktiknya, duniaku terasa menciut karena semakin sedikit tempat yang bisa aku kunjungi tanpa dikenali dan menarik perhatian. Aku mulai merasa seperti macan di kebun binatang: raja hutan tapi terperangkap dalam kandang," ujar Duff dalam buku biografinya. 

Untuk menghilangkan rasa gugup karena popularitas itu, Duff semakin rajin menenggak alkohol. Segala macam alkohol ia minum. Vodka. Wine. Bir. Wiski. Bahkan pada satu titik, ia tak pernah minum air putih selama 10 tahun. Kebiasaan buruk ini membuat pankreasnya membengkak dan meledak. 

Dokter memvonis, kalau Duff tak berhenti minum alkohol, ia akan mati dalam waktu satu bulan. Maka, peristiwa yang hampir membuatnya mati itu jadi titik balik kehidupan Duff. Ia berhenti minum alkohol dan mulai rajin olahraga. 

Dalam satu wawancara, Duff mengaku bersepeda ke gunung dan bela diri. Aktivitas ini berjasa membuatnya berjarak dari alkohol. Duff kemudian memutuskan untuk kuliah di Albers School of Business and Economics. Selain itu, ia rutin menulis kolom ekonomi dan gaya hidup di sejumlah media. 

Duff bisa dibilang beruntung karena punya kesempatan kedua. Ada banyak artis yang kemudian jadi depresi karena popularitas di usia muda. Beberapa berakhir tragis. Entah bunuh diri, entah meninggal karena overdosis, ada pula yang memutuskan untuk menghilang dari dunia artis. 

Usia Belia: Sukses sekaligus Kelelahan 

Nike Ardilla adalah salah satu artis yang memulai karier di usia yang amat belia. Nike memasuki dunia tarik suara sejak umur 10. Menurut Alan Yudi, kakak lelaki Nike, bakat seni sang adik menurun dari kakek buyutnya, Kartabrata (dari pihak ayah) dan E. Muchtar (dari pihak ibu). 

Nike kecil pernah meraih pelbagai penghargaan menyanyi, sebelum kemudian bergabung dengan manajemen Denny Sabri. Bergabungnya Nike dengan promotor musik kawakan ini membawa dampak besar dalam karier sekaligus hidup Nike. 

Pertama, nama Nike diubah untuk kepentingan pembentukan citra. Dari Nike Astrina menjadi Nike Ardilla. Kedua, Denny mengenalkan Nike kepada Deddy Dores, yang kelak menciptakan lagu-lagu hits Nike. 

Saat merilis album Seberkas Sinar pada 1989, usia Nike baru 14. Di tempat lain, anak-anak seumuran Nike sedang asyik bersekolah dan bermain. Album itu laris terjual 500.000 keping. Jumlah besar untuk artis pendatang baru. 

Album kedua, Bintang Kehidupan, malah terjual 2 juta keping. Album ini membawa Nike ke jagat yang lebih luas lagi: jadi foto model dan membintangi film serta sinetron. Sejak 1989, Nike membintangi 7 film layar lebar dan 11 sinetron. Membuat jadwalnya semakin padat dan melelahkan. Menjalani tapping sinetron hingga tengah malam adalah rutinitas biasa bagi Nike kala itu. 

Ditemui di museum Nike Ardilla, Alan Yudi masih ingat keluhan Nike beberapa hari sebelum meninggal. "Ia bilang capek banget," katanya. 

Baca lanjutannya: Kisah Para Artis yang Bergelimang Popularitas, tapi Merasa Sunyi dan Lelah (Bagian 2)

Related

Entertaintment 3899369546326911954

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item