Sejarah Ivermectin, Obat Cacing yang Diduga Dapat Melawan Virus Covid-19 (Bagian 1)


Naviri Magazine - Pada 1971, Satoshi Omura--ilmuwan di Kitasato Institute, Tokyo--ingin membagi pengetahuannya. Ia memutuskan mengambil cuti panjang untuk menjadi pengajar dan peneliti di Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat. 

Satoshi mengajar bersama Max Tishler, ilmuwan yang menjadi akademisi setelah sukses berkarier pada perusahaan farmasi Merck, Sharpe, and Dohme (MSD atau Merck & Co). Satoshi dan Tishler menjadi "duet maut", menempa para mahasiswa Wesleyan University memahami bidang yang mereka kuasai, yaitu kimia. 

Ketika Satoshi dan Tishler duduk di kampus yang sama, institusi yang menaungi Satoshi, Kitasato Institute, tengah berupaya mencari mitra industri guna melakukan penelitian bersama. 

Kitasato Institute ingin mencari senyawa kimiawi baru yang bermanfaat, khususnya untuk menemukan obat-obatan bagi hewan. Tujuan tersebut hanya bisa dicapai melalui kerjasama dengan pihak industri dan dana yang disediakannya. 

Paham bahwa institusinya membutuhkan mitra industri, Satoshi lantas bercerita kepada Tishler. Melalui koneksi yang dimiliki, Tishler tahu bahwa MSD tengah berada di titik jenuh dalam melakukan kerja-kerja penelitian bahan kimia sintetik dan tengah berupaya melakukan terobosan baru demi menopang bisnis farmasi mereka. 

Akhirnya, sebagaimana dikisahkan Satoshi dalam artikel berjudul "The Life and Times of Ivermectin: A Success Story" (Jurnal Nature Vol. 2 2004), Kitasato Institute menjalin hubungan dengan MSD pada 1973. 

Hubungan saintifik itu menghasilkan ivermectin, obat yang diyakini peneliti Royal Melbourne Hospital, Australia, bernama Leon Caly dalam studi berjudul "The FDA-approved Drug Ivermectin Inhibits the Replication os SARS-CoV-2 in vitro" (Antiviral Research Vol. 178 2020) dapat mengurangi replikasi SARS-CoV-2, virus di balik wabah Covid-19, di dalam tubuh manusia yang terjangkit. 

Dari Hewan ke Manusia 

Dalam "Ivermectin: 25 Years and Still Going Strong" (International Journal of Antimicrobial Agent Vol. 31 2008), Satoshi Omura menyebut bahwa kisah awal ditemukannya ivermectin terjadi pada 1974. 

Kala itu, melalui kerjasama yang dilakukan Kitasato Institute dan MSD yang dikepalai Satoshi, tim peneliti melakukan pengambilan sampel tanah dari lapangan golf yang berada di kawasan Kawaka, Kota Ito, Prefektur Shizuoka, Jepang. 

Dari sampel tanah tersebut, melalui proses penyaringan yang dilakukan di Amerika Serikat, ditemukanlah sebuah organisme bernama Streptomyces avermitilis, keluarga dari spesies actinomycete. 

Dalam penelitian lebih lanjut, organisme tersebut difermentasikan lalu disuntikkan pada tikus yang terinfeksi Nematospiroides debius atau cacing gelang usus. Dari situ diketahui bahwa Streptomyces avermitilis memiliki kandungan antelmintik, bioaktif yang dapat melumpuhkan cacing parasit tanpa menghasilkan toksisitas apapun. 

Pada 1975, kandungan antelmintik yang dimiliki Streptomyces avermitilis diisolasi dan akhirnya menghasilkan produk kimiawi bernama avermectin, ester (senyawa yang terbentuk atas reaksi asam organik) yang memiliki 16 macrocyclic--gabungan molekul dan ion dalam rantai kimiawi. 

Melalui proses dihydro (proses penyuntikan dua atom hidrogen), terciptalah ivermectin, obat yang memiliki kemampuan membunuh ektoparasit (parasit yang hidup di permukaan inangnya) dan endoparasit (parasit yang hidup di dalam organisme). 

Semenjak 1981, sebagaimana dituturkan William C. Campbell dalam studi berjudul "Ivermectin: An Update" (Parasitology Today Vol. 1 1985), ivermectin mulai digunakan sebagai antibiotik dan antiparasit pada berbagai jenis hewan. 

Dengan menyuntikkan ivermectin sebanyak 0,2 miligram per kilogram berat badan, misalnya, 16 cacing parasit yang umum menjangkiti sapi, semisal Haemonchus placei dan Trichostrongylus axei hingga belatung, kutu, dan tungau, dapat dimusnahkan dengan efikasi mencapai 90-100 persen. 

Pada anjing, 0,2 miligram ivermectin per kilogram berat badan terbukti ampuh membunuh hookworm--cacing yang menggeliat di dalam usus kecil salah satu sahabat manusia ini. 

Secara umum, tulis Campbell, "di awal-awal kemunculannya, ivermectin terbukti berkhasiat melawan berbagai jenis cacing, nematoda, dan artropoda, serta sedikit ampuh dalam melawan protozoa ataupun bakteria yang menjangkiti hewan." 

Pada masa-masa berikutnya, ivermectin tak hanya digunakan untuk mengobati hewan, tetapi juga manusia. 

Andy Crump dalam studi berjudul "Ivermectin, 'Wonder Drug' from Japan: The Human Use Perspective" (Jurnal Japan Academy Vol. 87 2011) menyebutkan, asal-usul digunakannya ivermectin sebagai obat untuk manusia berhubungan erat dengan wabah Onchocerciasis atau Kebutaan Sungai yang menimpa dunia, khususnya Afrika Barat, pada awal 1970-an. 

Wabah yang disebabkan oleh cacing bernama Onchocerna volvulus yang ditularkan melalui gigitan lalat ini, tubuh manusia yang terinfeksi akan menjadi inang bagi cacing untuk bereproduksi sebanyak 1.000 ekor per hari. Ribuan (bahkan jutaan) Onchocerna volvulus itu kemudian mengambil alih tubuh manusia, menyebabkan ruam pada kulit, gatal, dan yang paling parah, kebutaan. 

Baca lanjutannya: Sejarah Ivermectin, Obat Cacing yang Diduga Dapat Melawan Virus Covid-19 (Bagian 2)

Related

Science 297161119942999436

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item