Fakta dan Sejarah Perbudakan Manusia dari Masa ke Masa (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta dan Sejarah Perbudakan Manusia dari Masa ke Masa - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Namun, meski perbudakan sudah dihapuskan, praktik itu masih eksis hingga saat ini meski dalam format berbeda. Laporan dari Global Slavery Index 2016 mengungkapkan, setidaknya ada 45,8 juta orang di 167 negara yang kini termasuk sebagai budak modern. 

Perbudakan modern bisa berupa pernikahan paksa, buruh paksa, termasuk pada anak-anak, eksploitasi seksual, hingga tentara anak. Sebagian besar budak modern terdapat di India, Cina, Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Jumlah buruh modern di lima negara itu mencapai 58 persen.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? 

Praktik perbudakan juga terjadi di Indonesia, sejak era penjajahan Belanda hingga saat ini yang dikemas dalam perbudakan modern, meski Indonesia sendiri sudah mengimplementasikan Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa ke dalam UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999. 

Pada praktiknya, berdasarkan Global Slavery Index 2016, Indonesia berada pada urutan ke-10 dengan jumlah budak modern terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 736 ribu atau 0,3 persen dari populasi Indonesia. 

Menurut lembaga yang fokus pada penghapusan perbudakan modern, Walk Free Foundation mengungkapkan perbudakan modern bermula dari perdagangan manusia. Kemudian, mereka akan dieksploitasi dalam prostitusi, buruh paksa, pernikahan paksa, eksploitasi seksual, dan perdagangan organ.

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu wilayah yang banyak kasus perdagangan manusia di Indonesia. Pada 2015, sebanyak 468 orang terindikasi menjadi korban perdagangan manusia. 

Jumlahnya memang menurun dari tahun 2014 yang mencapai 605 orang, menurut laporan Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC). Menurut data itu, Indonesia memang menjadi salah satu sumber perdagangan manusia untuk dijadikan pekerja paksa. 

Indonesia juga merupakan tujuan dan tempat transit bagi perdagangan manusia dari luar negeri. Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang bekerja sama dengan lembaga IOM mengungkapkan pada 2015 ada lebih dari 1000 nelayan asal Myanmar, Kamboja, Thailand, dan Laos terdampar dan ditemukan di Ambon dan Benjina. Mereka dibawa dari negara asalnya dan dipekerjakan secara paksa hingga 20 jam per hari di kapal-kapal penangkap ikan di Indonesia.

SEAFish for Justice, Ever Green Myanmar, dan JPKP Sulawesi Tenggara, juga melakukan riset bertajuk “Pengalaman Para ABK di Kapal Perikanan: Temuan dan Rekomendasi Kebijakan untuk ASEAN.” 

Riset itu berlokasi di Myanmar dan di Indonesia, tepatnya di Desa Kasuari, Kabupaten Wakatobi dan Desa Boneoge, Kabupaten Buton Tengah. Riset itu menunjukkan para nelayan yang barasal dari Indonesia dan Myanmar diperlakukan secara buruk dengan sistem kerja paksa, tanpa bayaran, mengalami kekerasan fisik, dan bekerja melebihi waktu normal. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kenapa perbudakan masih tetap eksis hingga saat ini dan dalam bentuk yang berbeda? 

Secara umum, ada beberapa alasan yang menyebabkan perbudakan masih tetap ada hingga saat ini. Menurut Kevin Bales, seorang peneliti sosial yang terlibat dalam penyusunan Indeks Perbudakan Dunia, Global Slavery Index 2014, ada tiga hal yang menjadi faktor pendorong hadirnya perbudakan modern. 

Pertama adalah korupsi. Faktor ini sangat berpengaruh pada tumbuhnya praktik perbudakan modern. Korupsi membuat polisi dan para penegak hukum enggan menegakkan hukum meski hampir semua negara menetapkan perbudakan sebagai sebuah pelanggaran hukum 

Faktor kedua adalah ledakan populasi. Jumlah pekerja dengan lapangan pekerjaan yang terbatas tentu membuat orang tak punya pilihan dalam melakukan pekerjaan, termasuk saat ia dijadikan buruh paksa. "Ledakan populasi membuat pasokan tenaga kerja melimpah. Dan itu pula sebabnya saat ini rata-rata biaya untuk memperbudak satu orang menjadi semakin murah," ujar Kevin di London, seperti dikutip Antara.

Faktor lainnya adalah kemiskinan. "Sangat penting untuk dipahami bahwa perbudakan tidak diwariskan. Mereka yang tidak punya pekerjaan dan miskin akan sangat rentan menjadi korban perbudakan modern. Mereka bukan bodoh, tapi memang kesulitan ekonomi membuat mereka tidak punya pilihan lain," kata Kevin. 

Related

History 1899648296351422769

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item