Mengapa Gabah Padi Harus Dijemur atau Dikeringkan Setelah Dipanen? Ini Penjelasannya


Naviri Magazine - Bagi petani kecil di Indonesia, pasca panen saat musim penghujan menjadi persoalan tersendiri, terutama dalam pengeringan. Proses pengeringan gabah merupakan cara untuk menurunkan kadar air (KA) gabah dari gabah kering panen (sekitar 23-29%) menjadi gabah kering giling (sekitar 14%).

Setelah panen, gabah harus segera dikeringkan karena kadar air gabah setelah panen masih cukup tinggi (sekitar 23-30%). Gabah yang disimpan tanpa pengeringan terlebih dahulu akan rusak. Bahkan jika terlambat mengeringkan, akan menurunkan mutu dan hasil panen, seperti butir kuning, biji rusak, dan rendemen giling yang rendah.

Pengeringan gabah dapat dilakukan secara tradisional menggunakan tenaga matahari (penjemuran) atau dengan menggunakan alat/mesin pengering buatan. Namun proses pengeringan dengan suhu yang terlalu tinggi atau kondisi panas yang tidak kontinyu akan menyebabkan kadar beras pecah menjadi tinggi.

Sejumlah petani di Indonesia kadang mengakali dengan berbagai cara untuk pengeringan. Contohnya di Desa Demung, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, petani menyiasati keterbatasan tersebut dengan menjemur padi secara tradisional dan sederhana. Alternatifnya di pinggir jalan atau halamam rumahnya dengan beralaskan terpal.

Salah satu petani asal Desa Demung, Kecamatan Besuki, Ika Budiharjo mengatakan, setelah dijemur, padi yang sudah agak kering diangkut lagi ke dalam rumah dan “dijereng” di terpal supaya kena angin. Esoknya, kalau ada sinar matahari, dilakukan penjemuran lagi di halaman hingga 3-4 kali. “Setelah padi benar-benar kering, proses selanjutnya adalah menyimpannya di dalam karung plastik,” katanya.

Menurut dia, penjemuran secara tradisional ini sudah jamak dilakukan petani. Diakui, cara tersebut memang merepotkan, karena harus berburu dengan hujan. “Apalagi matahari saat musim panen Januari-Maret juga tak begitu terang, sehingga perlu penjemuran secara berulang-ulang hingga 3-4 kali,” tuturnya.

Belum meratanya peralatan pasca panen padi seperti lantai jemur, oven, alat modern lainnya untuk memanen padi juga dialami petani kecil di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Sleman, Widi Sutikno, pasca panen yang benar juga menentukan tingkat produktivitas padi.

“Hanya saja, petani di sini tak semuanya memiliki mesin pemanen, lantai jemur dan oven. Mereka hanya memanfaatkan alat tradisional seperti sabit dan terpal. Menjemurnya pun kadang di pinggir jalan atau di pematang sawah,” kata Widi.

Namun, menurut Widi, petani yang sudah menjadi anggota Gapoktan tak mengalami kesulitan mengatasi pasca panen padi saat musim penghujan. Di Sleman ada 86 Gapoktan yang sudah memiliki mesin penggiling, lantai jemur dan oven sendiri. “Hanya saja, kalau dibandingkan dengan jumlah petani yang ada di Sleman, memang peralatan pasca panen ini belum maksimal,” kata Widi.

Karena telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana pasca panen yang memadai, Gapoktan di Sleman hanya perlu waktu penjemuran padi rata-rata 3-4 hari. Bahkan, jika matahari sedang terik, padi yang dijemur hanya perlu waktu dua hari. “Kita juga menyiapkan lumbung pangan di 10 tempat dengan kapasitas 10 ton per unit,” kata Widi.

Meski petani di Sleman belum menggunakan alat modern untuk memanen padi, Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Sleman sudah memberi arahan agar padi yang sudah dijemur jangan langsung dimasukkan ke karung. Sebab, padi yang belum benar-benar kering akan lembap dan akhirnya membusuk.

“Sebaiknya, padi yang sudah dijemur sehari agar diangin-anginkan terlebih dahulu. Bila belum kering benar, harus dijemur lagi. Setelah benar-benar kering, baru disimpan ke dalam karung plastik,” tutur Widi.

Related

Science 2213694559157876888

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item