Mengenal Swinger, Tukar Pasangan, dan Risiko di Baliknya
https://www.naviri.org/2021/09/mengenal-swinger-tukar-pasangan-dan.html
Naviri Magazine - Di sebagian kalangan, ada “acara” yang disebut swinging, yaitu tukar menukar pasangan. Pasangan Si A dan Si B, misalnya, bisa saling bertukar pasangan dengan Si C dan Si D. Pertukaran yang terjadi sebatas pada aktivitas hubungan seks. Pasangan Si A bercinta dengan pasangan Si C, dan begitu pula sebaliknya. Sementara para pelakunya disebut swinger.
Ada beragam penyebab orang melakukan tukar pasangan. Bisa karena ketidakpuasan seksual dari pasangan resmi, bisa pula karena lelah atau sedang dalam masa jeda setelah melahirkan. Namun, terlepas dari itu, aktivitas swinging cukup berisiko.
Sebuah penelitian di Belanda menyatakan para swinger heteroseksual berisiko mengalami penyakit menular seksual sebanding dengan pria gay atau biseksual. Keduanya dianggap kelompok berisiko tinggi mengidap penyakit herpes, infeksi yang disebabkan oleh virus.
Mereka juga berisiko terkena HIV yang merupakan virus penyebab AIDS. Virus ini menyerang imunitas, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Swinger juga berisiko menderita klamidia, penyakit menular seksual, yang salah satunya disebabkan hubungan seks tanpa kondom.
Masalah kesehatan ini kerap diderita perempuan muda yang aktif secara seksual. Terakhir, gonore atau kencing nanah, yang umumnya disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae.
Para peneliti mengumpulkan data dari sembilan ribu kunjungan pasien di tiga klinik kesehatan di Limburg Selatan. Hasil pengamatan tim menyebutkan sebanyak 50 persen diagnosis penyakit klamidia dan gonore terdapat pada swinger. Jumlah ini lebih besar dibanding yang diidap oleh kelompok pria gay, sebesar 31 persen.
Secara keseluruhan, satu dari 10 swinger menderita klamidia, sementara sekitar satu dari 20 swinger dinyatakan positif gonore. Pada swinger yang berusia di atas 45 tahun, risiko terkena penyakit menular seksual akan lebih tinggi dibandingkan dengan swinger di bawah umur tersebut.
Pada swinger pria di atas 45 tahun sekitar 10,4 persen, dari mereka mengidap klamidia dan atau gonore. Jumlahnya berselisih sekitar 8 persen dibanding pria heteroseksual lainnya, yakni 2,4 persen. Sementara itu, tingkat klamidia di antara pria gay atau biseksual adalah 14,6 persen.
Risiko klamidia pada perempuan swinger di atas 45 tahun berada di angka 18 persen. Risiko itu berkisar di angka 4 persen pada perempuan heteroseksual, dan kurang dari 3 persen pada pekerja seks komersial.
“Melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu orang pada satu waktu atau secara berurutan, mendorong penyebaran penyakit menular seksual,” tegas H. Hunter Handsfield, seorang profesor kedokteran di pusat AIDS dan STD Universitas Washington.
Sayangnya, karena melakukan aktivitasnya secara tersembunyi, penyakit menular seksual pada para swinger kurang teridentifikasi. Bahkan banyak di antara mereka kurang menyadari penularan penyakit tersebut.
Swingers Date Club, situs kencan untuk swinger, memperkirakan ada jutaan swinger di seluruh dunia. Di Belanda saja ada 30 ribu orang telah menjadi anggota, dan mengunggah profil online dalam situsweb tersebut.
Dr. Cynthia Krause, asisten profesor klinis kebidanan dan ginekologi di New York City, mengatakan banyak swinger tidak mempraktikkan seks yang aman. Padahal, menggunakan kondom amat disarankan jika melihat risiko klamidia dan gonore pada swinger lebih tinggi dibanding kelompok lainnya.
Setidaknya, kondom efektif dalam mencegah penyakit menular seksual yang disebarkan oleh cairan tubuh, terutama klamidia, gonore, dan HIV.
Meski demikian, tak semua bisa dicegah oleh kondom. “Ia kurang efektif dalam mencegah infeksi yang menyebar melalui kontak kulit ke kulit, seperti virus HPV, kutil kelamin, kanker serviks, dan herpes,” kata Cynthia Krause, asisten profesor klinis kebidanan dan ginekologi di New York City.