Review Film No Time To Die: Penutup Kisah James Bond yang Sangat Mengesankan


Naviri Magazine - Penantian panjang akan kehadiran film sang agen rahasia sejak April 2020 ini akhirnya membuahkan hasil di akhir september 2021. Film No Time To Die akhirnya rilis di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lebih cepat 1 minggu dari perilisannya di Amerika Serikat.

Franchise yang lekat dengan kisah agen rahasia yang menyelesaikan misinya menyelamatkan dunia dari ancaman teroris atau organisasi kriminal, dengan bumbu-bumbu percintaan antara James dengan gadis yang kerap dijuluki Bond Girl ini, awalnya memiliki formula yang sama. Hanya saja, seperti yang sudah dimulai sejak film Casino Royale, James Bond versi Daniel Craig lebih tangguh, keras, dan tidak segan memakai license to kill yang ia miliki.

Naskah No Time To Die yang digarap oleh Neal Purvis (Casino Royale, Spectre), Robert Wade (Casino Royale, Spectre), Phoebe Waller-Bridge (Killing Eve) dan sutradara Cary Joji Fukunaga (Beast of No Nation, It) terasa padat dalam 2 jam 43 menit durasi. 

Memulai film tak lama dari akhir film Spectre lalu melanjutkan lima tahun sesudahnya, para penulis memberikan alur cerita yang mengalir dan berkesinambungan, walau sudah melupakan akarnya sebagai film James Bond yang absurd dan komikal. 

Penambahan Phoebe Waller-Bridge, penulis serial komedi Fleabag memberikan dinamika yang baik dari sisi dialog komedi sarkas dan segar, serta perspektif wanita yang kompeten untuk film ini.

Sementara itu, pengarahan Cary Joji Fukunaga (Sin Nombre, Jane Eyre, Beast of No Nation) dalam No Time To Die sangat layak diacungi jempol. Kreativitasnya dalam menciptakan berbagai sekuens action sangat luar biasa. 

Adegan laga kejar-kejaran motor dan mobil di jalan raya berbukit di Acropolis akan membuat penonton menahan napas tegang. Adegan tembak menembak di Kuba bersama Paloma (Ana de Armas) yang mencuri perhatian juga tidak kalah mengesankan.

Ditambah lagi adegan kucing-kucingan di tengah hutan norwegia yang penuh kabut. Menambah suasana mencekam dengan variasi tembak-menembak dengan kejar-kejaran mobil dan motor. 

Puncaknya adalah aksi Bond menyerbu kawasan pabrik yang dikreasikan dengan kamera handheld dan gaya video game yang ciamik, tanpa ada adegan shaky cam saat menangkap aksi Bond menembak dan berkelahi dengan musuh-musuhnya.

Sebuah kerja sama kreatif yang apik disajikan tim produksi dengan sutradara. Sinematografi yang dikerjakan oleh Linus Sandgren (La La Land, First Man) berperan penting dalam membantu Fukunaga memberikan pengalaman luar biasa mengesankan bagi penonton dalam menyaksikan adegan action yang memorable. 

Poin yang juga tidak terlupakan adalah tata musik Hans Zimmer (The Dark Knight) yang sukses membawa penonton ke masa-masa James Bond klasik dengan alunan nada yang khas.

Dari sisi akting, di film pamungkasnya ini Daniel Craig tampil emosional dan garang, tetapi sisi flamboyan masih sesekali muncul ketika berhadapan dengan para wanita. Craig juga terlihat luwes melontarkan candaan yang sarkas dengan celetukan konyol. 

Ralph Fiennes (The English Patient, Schindler’s List) dengan jatah screentime lebih banyak, juga memberikan kesan lugas sebagai pimpinan MI6. Ben Wishaw (Perfume), Naomie Harris (Moonlight), Jeffrey Wright (The Hunger Games: Mockingjay) dan Christoph Waltz (Inglorious Bastards) masih tampil tanpa cela.

Peningkatan drastis dicapai oleh Lea Seydoux (Blue is The Warmest Color) dengan emosi yang turun naik sepanjang film. Sementara Lashana Lynch (Captain Marvel) dan Billy Magnussen (Game Night) memberikan kesan yang baik sebagai wajah segar dalam film ini. 

Tetapi, dari semua aktor pendukung baru yang muncul, tidak ada yang semengesankan Ana de Armas (Knives Out) sebagai Paloma. Karakternya yang menggemaskan dan sebagai agen baru dibawakan dengan cemerlang. Akhir adegannya pun disudahi dengan pujian dari James untuk Paloma. Membuat penulis berharap melihat spin off aksi Paloma sebagai agen rahasia wanita yang bisa difilmkan kisahnya.

Sementara itu, sebagai peran antagonis utama, Rami Malek (Bohemian Rhapsody) jadi sosok misterius yang ditampilkan mengerikan dengan luka parut di wajah. Di awal film, karakter Safin miliknya memang mengerikan dalam meneror korban. Tetapi sepanjang film berjalan, kemisteriusannya memudar seiring dialog-dialog yang seakan dibuat filosofis untuk menjelaskan motifnya, tetapi malah seakan dibuat-buat.

Dialog dan perjalanan karakter antagonis Lyutsifer Safin ini jadi kekurangan paling kentara dalam No Time To Die. Monolog-monolog panjang yang ia miliki tidak menjelaskan dengan baik motif atau penyebab ia melakukan berbagai rencana jahatnya, dan malah berpotensi mengurangi rasa takut penonton pada dirinya. 

Kekurangan lain adalah lagu tema No Time To Die milik Billie Eilish yang kurang masuk saat pertama didengarkan tahun lalu. Tetapi ketika didengar setelah menyaksikan filmnya, akan terasa bermakna dan mampu menguras emosi.

Kesimpulan

Film James Bond terbaru, bertajuk No Time To Die, memberikan penutup saga yang epik dan emosional bagi Bond versi Daniel Craig. Dengan pengarahan sempurna dari Cary Joji Fukunaga yang memberikan adegan action memorable dari Acropolis, Kuba, Norwegia sampai ke Jepang, seakan membayar tunai penantian satu setengah tahun lamanya para penggemar James Bond di seluruh dunia.

Related

Film 67956822572933581

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item