Publisher Rights Dapat jadi Kunci Mengatasi Dominasi Raksasa Digital


Baru-baru ini muncul wacana terkait regulasi publisher right atau hak penerbit. Inisiasi regulasi ini diklaim mampu menjaga keberlangsungan media di tengah transformasi digital yang semakin pesat.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebelumnya menerima draf usulan publisher right dari Dewan Pers dan Task Force (gugus tugas) Media Sustainability, berjudul "Usulan Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform Digital".

Hak penerbit ini berisi hak pengelola media untuk mengatur dan mengurangi dominasi berlebihan platform digital.

Terkait dengan hal tersebut, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong menjelaskan bahwa regulasi ini jika nanti berjalan akan mampu melawan dominasi raksasa digital misalnya Google, Facebook atau Twitter.

Ketiga platform daring tersebut selama ini dikatakan mengeruk keuntungan dan menikmati sendiri atas hasil penerbitan berita-berita dari berbagai media massa baik cetak ataupun online.

Usman menjelaskan bahwa aturan ini dipandang perlu agar konvergensi media bisa memberikan peluang yang sama baik untuk media massa konvensional maupun media baru, seperti platform over-the-top (OTT) seperti tiga nama raksasa di atas.

"Pemerintah akan memfasilitasi baik sebagai fasilitator dan regulator. Disini ada komitmen pemerintah untuk menjaga media sustainability. Contohnya misalnya apa yang digagas oleh Dewan Pers dan kawan-kawan media untuk mendorong lahirnya sebuah regulasi tentang publisher right itu betul-betul kita support," kata Usman.

Usman melanjutkan, inisiasi regulasi publisher right akan mampu menciptakan sebuah ekosistem yang sehat untuk menghasilkan jurnalisme yang lebih baik, tidak mengejar click bait semata.

"Dari sisi jurnalisme misalnya, kita sering lihat baik Facebook atau Google mengagregasi berita dari satu media, keuntungan buat media yang bersangkutan apa? Tidak ada. Hanya klik dan adsense saja misalnya, secara finansial, nggak ada," tegas Usman.

Malahan kadang kala, lanjut Usman, media yang mesti membayar platform untuk bisa beritanya berada di page one atau pencarian teratas. Padahal, kata dia, platform OTT tersebut yang mesti membayar karena sudah menayangkan berita dari satu media sebagai royalti atas usaha jurnalistik yang telah dilakukan satu media.

"Koran misalnya, kan ada usaha, ada upaya untuk mencetak, ada uang untuk membayar karyawan dan sebagainya. Media online juga sama, jadi mestinya mereka yang membayar kita," kata Usman menambahkan.

Selain bisa menjadi sumber pendapatan baru, hak penerbit atau publisher right juga dikatakan mampu mengikis dominasi raksasa teknologi atas penerbitan konten di platform mereka. Kemudian inisiasi ini juga digadang-gadang mampu membuat ranah jurnalisme tanah air lebih sehat.

"Sekarang yang terjadi justru monopoli konten. Tampaknya di sini tidak ada yang terlalu memperhatikan hal tersebut, terkesan "receh" tapi kalau dihitung-hitung ada potensi ekonomi besar di situ," beber Usman.

Walaupun demikian, Usman mengungkapkan kalau pembuatan regulasi hak penerbit ini tidak akan mudah. Sejumlah negara lain yang sudah mengimplementasikan aturan ini juga disebut mengalami kesulitan dalam membuat regulasi itu, karena tarik ulur kepentingan dengan platform digital.

"Tantangannya saya pikir penyelenggara media-media harus kompak. Bukan kita membenci produk dari luar, hanya kita pikir ini perlu ditata. Tujuannya itu tadi, membuat media-media lebih sustainable dan jurnalisme lebih sehat sembari ada sumber pendapatan baru," tandas Usman.

Jadi concern banyak negara

Terpisah, Peneliti Teknologi Informasi dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menjelaskan, publisher right atau hak penerbit juga menjadi isu banyak negara. Menurutnya, hal ini menjadi penting karena hak cipta oleh penyelenggara media mesti dihormati oleh platform OTT seperti Facebook, Google dan lainnya.

"Isu publisher right ini memang menjadi isu di banyak negara. Hal ini karena ada concern dan harapan bahwa hak cipta dan konten harus dihargai oleh pemain seperti Facebook atau Google," terang Heru.

Beberapa negara dikatakan berhasil menerapkan aturan ini dan tak sedikit yang masih berjuang. Untuk kondisi Indonesia, disampaikannya inisiasi ini juga harus diperjuangkan dan didorong pemerintah.

"Agar industri media kita juga lebih bergairah dan dapat memonetisasi konten, bukan saja pemain besar yang mendapatkan iklan atau trafik dari konten yang dibuat di Indonesia. Tantangannya adalah bagaimana bisa memaksa pemain besar itu mematuhi aturan yang dibuat, dan tentunya memformulasikan aturan agar ada keberpihakan bagi publisher lokal," tutup Heru.

Related

Books 9132967937313025840

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item