Kisah TNI Menyerbu OPM di Papua untuk Bebaskan Sandera


Keberhasilan satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dalam Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma 1996, memang tak lepas dari sosok seorang Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Di bawah komandonya, pasukan Korps Baret Merah mampu menumpas anggota Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

Dirangkum dari berbagai sumber, sebuah kesaksian datang dari mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Mayjen TNI I Nyoman Cantiasa. Ternyata, Nyoman adalah salah satu anak buah Prabowo yang ikut terjun dalam Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma. 

Menurut keterangan Nyoman, saat itu ia masih berpangkat Letnan Satu (Lettu) Infanteri TNI. Saat itu pula, lulusan terbaik Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) 1990 menjabat sebagai Wakil Komandan (Wadan) Sub Tim Detasemen 81 (Penanggulangan Teror) atau Sat-81/Gultor Kopassus. 

Nyoman dan para prajurit Kopassus sama sekali tidak menyangka, akan mendapatkan tugas membebaskan sandera di Papua yang dulu bernama Irian Jaya. Tak cuma itu, Nyoman semakin yakin jika tugas ini takkan mudah. Sebab, ada 26 orang yang menjadi sandera kelompok OPM. 

Yang lebih mengkhawatirkan, dalam daftar sandera ada enam orang yang merupakan Warga Negara Asing (WNA). Dua orang diantaranya dari Belanda, dan empat orang lainnya berasal dari Inggris. Sisanya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berprofesi sebagai dosen, pendeta, dan petugas kehutanan. 

Setelah mendengar kabar bahwa ada puluhan sandera yang ditawan oleh kelompok OPM, Prabowo yang saat itu masih berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI langsung memerintahkan pasukannya untuk bergerak.

"Jadi saat operasi pembebasan sandera di Mapenduma, pada saat itu saya berpangkat Letnan Satu. Di mana jabatan saya Wadan Sub Tim pada saat itu," ucap Nyoman. 

"Kami pada saat itu tidak menyangka akan ada tugas operasi pembebasan sandera. Di mana sanderanya bukan hanya Warga Negara Indonesia, tetapi ada warga negara asing. Kami mendapat perintah operasi dari Komandan (Jenderal) Kopassus, pada saat itu Brigadir Jenderal TNI Prabowo Subianto," katanya. 

Melanjutkan ceritanya, Nyoman mengungkap bahwa saat itu kelompok OPM yang berada di bawah pimpinan Kelly Kwalik memberikan sejumlah tuntutan. Tuntutan Kelly saat itu adalah mempublikasikan keberadaan OPM yang eksis di Papua, dan meminta Komite Palang Merah Internasional (ICRC) sebagai fasilitator dan negosiator. Kelly menolak campur tangan pihak lain, apalagi TNI yang saat itu masih bernama ABRI. Kelly juga mendesak ICRC mengirim sejumlah senjata kepada OPM.  

"Kelompok OPM, Kelly Kwalik, dia menutut pada saat itu untuk dipublikasikan lewat televisi dan sebagainya bahwa mereka eksis di Papua. Kemudian mereka hanya mampu difasilitasi oleh ICRC, atau Komite Palang Merah Internasional," ujar Nyoman melanjutkan.

"Jadi mereka tidak mau difasilitasi oleh yang lain, baik ABRI pada saat itu atau dari Pemerintah Daerah di sana. Tuntutan daripada Kelly Kwalik waktu itu, dia minta logistik. Makanan kemudian obat-obatan, dan yang terakhir senjata api," katanya. 

Saat menerima laporan dari ICRC bahwa OPM meminta senjata, maka itulah poin yang memungkinkan pasukan TNI untuk bergerak. ICRC pun akhirnya meminta TNI dalam hal ini Kopassus, untuk mengambil alih statusnya sebagai fasilitator dan negosiator. 

"Nah inilah yang akhirnya ICRC agak kurang berkenan, ibaratnya mereka menyerah memfasilitasi sebagai negosiator untuk mencoba membebaskan para sandera. Hingga akhirnya mereka menyerahkan kepada ABRI," ucap Nyoman lagi. 

"Sehingga pada saat mereka meminta senjata api, di sinilah titik terang bahwa militer boleh untuk segera menyelesaikan operasi militer tersebut," katanya.

Related

Indonesia 3541168963336855620

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item