Kisah WeWork, Startup Bernilai Rp 740 Triliun yang Kini Bangkrut


WeWork, startup penyedia ruang kerja yang pernah memiliki valuasi sebesar US$ 47 miliar (Rp 741,3 triliun), berencana mengajukan kepailitan atau perlindungan bangkrut.

Kebangkrutan akan menjadi akhir yang memalukan bagi perusahaan yang pernah dianggap sebagai masa depan kantor ini. Namun, WeWork dihantui oleh berbagai masalah, termasuk upaya penawaran umum saham perdana (IPO) yang gagal pada 2019 dan pengunduran diri salah satu pendirinya.

Dalam dua tahun terakhir, kapitalisasi pasar WeWork sebagai perusahaan publik telah merosot dari US$ 9 miliar menjadi kurang dari setengah miliar dolar. WeWork mengungkapkan kerugian bersih sebesar US$ 11,4 miliar dari tahun 2020 hingga 30 Juni 2023.

Menurut laporan Wall Street Journal, WeWork melewatkan pembayaran bunga yang jatuh tempo kepada pemegang obligasi pada 2 Oktober, memicu periode penangguhan 30 hari perusahaan harus melakukan pembayaran atau dianggap mengalami default.

WeWork mengumumkan pada Selasa (31/10/2023), telah mencapai kesepakatan dengan pemegang obligasinya, memberikan waktu tujuh hari lagi untuk negosiasi sebelum default dipicu.

Kebangkitan dan Kejatuhan WeWork

Bisnis ini didirikan di New York pada 2010 oleh Adam Neumann, seorang pengusaha Israel. Dalam sebuah wawancara dengan New York Daily News pada 2011, ia sesumbar mengatakan akan mengganti dominasi Apple.

"Era 1990-an dan awal 2000-an adalah 'Era Saya'. iPhone, iPod--semuanya tentang saya (I). Dekade mendatang adalah 'Era Kami (We)'. Generasi ini menyaksikan runtuhnya perusahaan besar. Jika Anda melihat dengan cermat, kita sudah berada dalam revolusi," kata Neumann.

Oleh karena itu, WeWork mengincar pekerja muda, terutama di sektor teknologi, dengan menyediakan ruang kerja berbayar yang terang dan modern, dengan lounge mewah, serta kopi dan bir gratis.

Di dunia properti komersial yang kadang-kadang kaku, WeWork dianggap sebagai inovator. Dalam putaran pendanaan Seri G pada Juli 2017, valuasinya mencapai US$ 20 miliar.

Saat itu, Neumann menjual saham perusahaan, menginvestasikan kembali hasilnya ke properti perumahan. Sejak 2014, ia telah membeli townhouse senilai US$ 10,5 juta di Greenwich Village, New York, dan pada tahun 2016 ia membeli lahan pertanian di Westchester, New York.

Perusahaan mencapai puncaknya ketika, pada Januari 2019, investor teknologi Jepang SoftBank menginvestasikan US$ 2 miliar dengan harga yang memvaluasi WeWork sebesar US$ 47 miliar.

Pada tahun yang sama, perusahaan ini mendaftarkan sahamnya di bursa saham. Namun, hingga September 2019, keraguan terhadap perusahaan mulai meningkat. Pasar melihat WeWork bukanlah perusahaan teknologi, melainkan perusahaan real estat konvensional.

Lebih buruk lagi, perusahaan ini adalah perusahaan yang menyewa tempat dalam jangka waktu yang panjang, biasanya selama 15 tahun, lalu menyewakan kembali ruangan kantor dalam jangka waktu pendek, biasanya dua tahun atau kurang.

Ada juga kekhawatiran tata kelola perusahaan, terutama ketika diketahui bahwa Neumann telah menyewakan properti yang ia miliki pribadi kepada WeWork.

Pada akhir bulan itu, IPO tersebut dibatalkan dan Neumann diberhentikan dari jabatan CEO, dengan pesangon sebesar US$ 1,7 miliar.

Pada November 2019, SoftBank meminta maaf atas kerugian yang telah dideritanya karena berinvestasi di WeWork, sambil tetap menyelamatkan perusahaan dengan tambahan US$ 10 miliar yang memberikan SoftBank 80% saham perusahaan tersebut.

Masayoshi Son, pendiri SoftBank, tetap percaya pada saat itu bahwa investasi itu akan membuahkan hasil.

Tetapi kemudian datanglah Covid-19 dan gelombang lockdown di seluruh dunia. WeWork menghabiskan sebagian besar tahun 2020 dengan melakukan pemutusan hubungan kerja, menutup kantor, dan merenegosiasi sewa di kantor-kantor yang tetap dibuka.

WeWork melantai di bursa saham pada bulan Oktober 2021 dengan valuasi sebesar US$ 9 miliar, setelah melaporkan kerugian sebesar US$ 3 miliar untuk paruh pertama tahun 2021.

Ironisnya, salah satu pemenang terbesar dari penawaran saham tersebut adalah Neumann, yang masih memegang 11% saham perusahaan. Ia dilaporkan merayakan debut saham WeWork dengan pesta tequila yang mewah.

Pada Maret 2022, perusahaan tersebut melaporkan bahwa tingkat hunian meja kerjanya telah kembali ke tingkat sebelum pandemi, yaitu 72%. Perusahaan ini telah membakar uang sebanyak US$ 205 juta selama tiga bulan hingga September tahun lalu. Pengumuman tersebut disertai dengan berita bahwa 40 kantor yang kurang menguntungkan di Amerika akan ditutup.

Perusahaan ini masih tertekan oleh sewa yang berat, dengan banyak lokasinya berada di beberapa lokasi paling mahal di kota-kota tempat mereka beroperasi. Selain itu, penjualan tidak meningkat sesuai dengan ekspektasi. Pada Februari tahun ini, perusahaan tersebut melaporkan pendapatan tahun 2022 sebesar US$ 3,25 miliar, kenaikan sebesar 26% dari tahun 2021 dan di bawah perkiraan sebelumnya.

Sandeep Mathrani turun dari jabatan CEO pada Mei dan, pada Agustus, penggantinya, David Tolley, menyalahkan ekonomi yang sulit dan surplus ruang kerja sebagai alasan perusahaan lagi-lagi tidak memenuhi perkiraannya untuk paruh pertama tahun ini.

Related

International 4821453626683827115

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item