Papua Mengalami Masalah Kelaparan, Bukan Kurang Pangan (Bagian 1)


Pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menyangkal puluhan orang Papua meninggal karena kelaparan, menuai kritik. Dalam keterangan kepada media, ia mengatakan, "Itu tidak ada yang mati kelaparan. Bahwa di sana ada kekurangan pangan, iya“.

Sorotan terhadap penghalusan makna kata dari "kelaparan“ menjadi "kekurangan pangan“ telah mengundang perbincangan yang lebih luas, bagaimana pemerintahan Jokowi mereproduksi strategi komunikasi orde baru guna mengurangi gesekan di masyarakat.

Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theo Litaay menjelaskan bahwa maksud pernyataan Ma'ruf Amin adalah "untuk meluruskan berita awal mengenai adanya kematian massal. ternyata tidak ada".

Di sisi lain, Kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan menyiapkan rencana jangka pendek dan panjang untuk menanggulangi kelaparan yang berulang.

Dalam situasi apa wapres menghaluskan kata 'kelaparan'?

Kabar puluhan orang Papua yang diduga mati kelaparan di Distrik Amuma, Yahukimo, Papua Pegunungan Tengah, mencuat sekitar 25 Oktober lalu. Terakhir, datanya menunjukkan sebanyak 24 orang meninggal, tapi pemerintah belum mengumumkan kesimpulan penyebabnya. 

Lima hari kemudian, atau tepatnya 30 Oktober, Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan makan siang bersama tiga bakal capres yaitu Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo di Istana Negara. Foto mereka tersebar dengan “hidangan mewah” di atas meja makan.

Dua hari kemudian, atau pada 1 November, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menanggapi kasus kelaparan di Papua, yang disebutnya “kekurangan pangan”.

"Menurut Bupati Yahukimo, itu tidak ada yang mati kelaparan, bahwa di sana ada kekurangan pangan, iya," kata Ma'ruf Amin.

Situasi ini menjadi kritikan pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio. Kemungkinan, penghalusan kata (eufemisme) “kelaparan” menjadi “kekurangan pangan” terjadi dalam konteks ini, kata pendiri lembaga KedaiKOPI.

“Kejadiannya kurang pas saja, karena pada saat masyarakat kelaparan, presiden menampilkan makanan enak. Itu kurang bagus,” kata Hensat – sapaan Hendri Satrio.

Hensat melanjutkan, tujuan eufemisme “kelaparan” adalah mengurangi polemik di masyarakat. “Ini baru terjadi di era Jokowi, cerdas sekali memang di pemerintahan Jokowi, dalam mengelola kata-kata,” katanya.

Profesor Firman Noor, peneliti senior Pusat Riset Politik BRIN, menilai penghalusan kata “kelaparan” merupakan upaya pemerintah “menyelamatkan muka”. Musababnya, kata Firman, isu Papua sensitif, masih menyimpan persoalan HAM, kesehatan, sampai pendidikan yang tak kunjung selesai.

“Seperti luka bakar pada kulit, kalau tersentuh itu perih. Ini betul-betul dijaga citranya… Realitanya ini adalah bencana kelaparan,” katanya.

Secara umum, kata Prof Firman, eufemisme dalam kacamata politik merupakan upaya menyembunyikan kenyataan, memanipulasi pikiran masyarakat agar menjauh dari realita, dan mengesankan persoalan bukan sebagai masalah besar. Semua demi menjaga stabilitas rezim.

Semakin luas satu pemerintahan menggunakan eufemisme dalam menarasikan persoalan masyarakat, semakin otoriter pemerintahan tersebut.

“Eufemisme merupakan bagian dari propaganda pemerintah di negara-negara non-demokratis, dan otoriter,” tambah Prof Firman.

Mengikuti jejak gaya komunikasi orde baru

Selama pemerintahan Jokowi, ini bukan insiden pertama kalangan elit melunakkan makna kata yang sebenarnya – meskipun muncul kata-kata baru dengan berbagai alasan.

Dalam peristiwa terbaru, Menteri Investasi Bahlil menggunakan istilah "pergeseran“ sebagai pengganti "relokasi” atau lebih tepatnya "penggusuran” terhadap masyarakat adat tua melayu di Rempang, Kepulauan Riau.

Contoh lainnya adalah istilah "mudik” dan "pulang kampung” yang pernah dilontarkan Jokowi dalam sebuah acara bincang-bincang televisi. Saat itu, konteksnya pemerintah sedang merancang larangan bagi yang "mudik” dalam kebijakan pengetatan Covid-19, tapi mereka yang "pulang kampung” tak dipersoalkan.

"Kalau mudik itu di hari lebarannya. Kalau pulang kampung itu bekerja di Jakarta pulang ke kampung," kata Jokowi.

Kementerian Sosial pada 2019 juga menggantikan istilah "keluarga miskin“ menjadi "keluarga prasejahtera“ melalui sebuah kebijakan. Alasannya, untuk menghilangkan stigma sosial di masyarakat terhadap penerima Program Keluarga Harapan (PKH). 

Baca lanjutannya: Papua Mengalami Masalah Kelaparan, Bukan Kurang Pangan (Bagian 2)

Related

Indonesia 8364886700459840645

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item