Sejarah Genosida Rwanda: Penyebab, Kronologi, dan Dampaknya


Genosida Rwanda adalah pembunuhan massal oleh etnis Hutu di Rwanda terhadap suku minoritas Tutsi, yang dimulai pada 6 April 1994. Rwanda adalah negara di Afrika Timur, yang mayoritas penduduknya berasal dari etnis Hutu. Dalam konflik antaretnis yang berlangsung selama 100 hari, sebanyak 800.000, yang sebagian besar orang Tutsi, menjadi korban pembunuhan massal. 

Genosida Rwanda, yang bermula di Kigali, terus menyebar dengan sangat brutal ke seluruh negeri. Hal ini karena hasutan pejabat lokal dan pemerintah yang berasal dari etnis Hutu. 

Latar belakang 

Pada awal 1990-an, Rwanda adalah negara dengan 85 persen penduduk berasal dari suku Hutu, sementara sisanya adalah Tutsi, Twa, dan Pigmi. Setelah Perang Dunia I, Rwanda menjadi perwalian Belgia di bawah mandat Liga Bangsa-Bangsa (LBB). 

Selama Belgia berkuasa, mereka lebih menyukai suku minoritas Tutsi, daripada Hutu. Hal ini memperburuk kecenderungan segelintir orang untuk menindas banyak orang, menciptakan ketegangan yang kemudian meledak menjadi kekerasan, bahkan sebelum Rwanda memperoleh kemerdekaannya. 

Pada 1959, terjadi revolusi Hutu, yang memaksa sebanyak 330.000 orang Tutsi meninggalkan Rwanda, dan populasi mereka pun semakin sedikit. Setelah referendum PBB, Belgia secara resmi memberikan kemerdekaan kepada Rwanda pada Juli 1962. 

Pada 1973, sebuah kelompok militer mengangkat Mayor Jenderal Juvenal Habyarimana, seorang Hutu moderat, untuk berkuasa. Habyarimana, yang terpilih hingga empat periode (1973-1978), (1978-1983), (1983-1988), (1988-1993), mendirikan Partai Gerakan Revolusi Nasional untuk Pembangunan (NRMD). 

Pada 1990, pasukan Front Patriotik Rwanda (RPF), yang sebagian besar terdiri dari pengungsi Tutsi, menyerbu Rwanda dari Uganda. Habyarimana menuduh warga Tutsi sebagai kaki tangan RPF dan menangkap ratusan dari mereka. 

Antara 1990-1993, pejabat pemerintah mengarahkan pembantaian orang Tutsi, yang menewaskan ratusan orang. Pada 1992, sempat terjadi gencatan senjata dan dilakukan negosiasi antara pemerintah dan RPF. 

Namun, keadaan kembali memanas setelah Habyarimana menandatangani kesepakatan di Arusha, Tanzania, pada Agustus 1993, yang menyerukan pembentukan pemerintahan transisi yang akan mencakup RPF. Perjanjian pembagian kekuasaan ini membuat marah para ekstremis Hutu, yang menjadi pemicu terjadinya genosida di Rwanda. 

Kronologi Genosida Rwanda 

Pada 6 April 1994, Habyarimana dan rekannya, Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira, tewas setelah pesawat yang mereka tumpangi ditembak jatuh di Kigali. Tidak diketahui siapa dalang tragedi tersebut. Beberapa menyalahkan ekstremis Hutu, sementara lainnya menuduh para pemimpin RPF. 

Disinyalir, peristiwa penembakan ini merupakan bentuk protes terhadap rencana Habyarimana, yang hendak menyatukan etnis Hutu dan Tutsi. Kejadian ini kemudian dijadikan dalih oleh suku Hutu untuk menyerang etnis Tutsi. 

Beberapa jam setelah tragedi itu, Pengawal Kepresidenan bersama anggota angkatan bersenjata Rwanda (FAR) dan kelompok milisi Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe dan Impuzamugambi, mulai membantai Tutsi dan Hutu moderat. 

Theoneste Bagosora, yang saat itu merupakan tokoh senior di Kementerian Pertahanan Rwanda, mendesak rakyat untuk menyingkirkan Tutsi. Suku Hutu juga mendirikan stasiun radio serta menerbitkan koran-koran untuk menyuarakan propaganda kebencian mereka terhadap suku Tutsi. 

Nama-nama orang Tutsi yang akan disingkirkan dibacakan melalui stasiun radio yang sudah didirikan. Dalam beberapa jam, seluruh tempat di Rwanda diblokade. Di antara korban pertama Genosida Rwanda adalah Perdana Menteri Hutu moderat, Agathe Uwilingiyimana, dan 10 penjaga perdamaian Belgia. Kejahatan kemanusiaan ini menciptakan kekosongan politik. 

Setelah itu, pasukan penjaga perdamaian Belgia ditarik, dan PBB memerintahkan agar mereka hanya membela diri. 

Pembunuhan massal di Kigali dengan cepat menyebar ke seluruh Rwanda. Bahkan, para pejabat menghadiahi para pembunuh dengan makanan, minuman, obat-obatan, dan uang. Dalam waktu tiga bulan, ratusan ribu korban terus berjatuhan. Di saat yang sama, RPF juga melakukan perlawanan. 

Genosida Rwanda berakhir ketiga RPF berhasil menguasai Kigali pada awal Juli 1994. 

Dampak Genosida Rwanda 

Dalam 100 hari, sejak 6 April 1994, sebanyak 800.000, yang sebagian besar orang Tutsi, menjadi korban Genosida Rwanda. Sedangkan lebih dari 2 juta orang, hampir semuanya Hutu, melarikan diri dari Rwanda, memadati kamp-kamp pengungsi di negara-negara tetangga. 

Sementara itu, setelah kemenangannya menduduki Kigali, RPF membentuk pemerintahan koalisi seperti yang disepakati Habyarimana di Arusha pada 1993. Pasteur Bizimungu, seorang Hutu, dipilih sebagai presiden, dan Paul Kagame, seorang Tutsi, sebagai wakil presiden dan menteri pertahanan. 

Penyelesaian Genosida Rwanda 

Pada Oktober 1994, Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR), yang terletak di Tanzania dibentuk dengan mandat untuk mengadili kejahatan genosida. Pada 1995, ICTR mulai mendakwa dan mengadili sejumlah orang berpangkat tinggi yang diduga terlibat dalam Genosida Rwanda. Prosesnya cukup sulit, karena keberadaan tersangka banyak yang tidak diketahui. 

Dalang Genosida Rwanda, Theoneste Bagosora, akhirnya ditangkap dua tahun kemudian setelah peristiwa ini. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh ICTR. Namun, tiga tahun setelahnya, hukuman Bagosora dikurangi menjadi 35 tahun penjara. 

Theoneste Bagosora dipenjara di Koulikoro Mali, bersama dengan para pelaku lainnya yang juga ikut terlibat dalam Genosida Rwanda. Namun, Theoneste Bagosora meninggal di penjara pada 26 September 2021, dalam usia 80 tahun.   

Related

History 1262583687143141405

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item