Kasus Obat Batuk Beracun: Benarkah BPOM Terlibat? (Bagian 1)


Sejumlah keluarga korban anak gagal ginjal akut mendesak Bareskrim Polri segera menyeret pihak yang bertanggung jawab atas peredaran obat batuk sirop beracun, ke pengadilan.

Sebab selain produsen atau perusahaan farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) patut dianggap lalai mengawasi bahan baku obat sirop hingga diterbitkannya nomor izin edar.

Sebelumnya, Kasubdit I Dittipidter Bareskrim Polri, Indra Lutrianto Amstono, mengatakan pihaknya telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) yang artinya akan ada tersangka baru.

Tersangka ini, sambungnya, diduga ada kaitannya dengan prosedur penerbitan izin edar oleh BPOM yang dinilai tidak sesuai standar. Hingga Kamis (20/12) malam, plt Kepala BPOM Lucia Rizka Andalusia tidak menjawab telepon dan pesan singkat yang dikirim.

Adapun Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, berkata menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada kepolisian.

Kasus gagal ginjal akut pada anak mengalami lonjakan pada Agustus hingga Oktober 2022. Kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal.

Dalam perkembangannya, setidaknya per 5 Februari 2023, sudah terdapat 326 kasus gagal ginjal anak dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari kasus tersebut, saat itu dilaporkan total 204 anak meninggal dunia. Sisanya sembuh, tetapi dilaporkan masih terdapat sejumlah pasien yang masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta pada awal 2023.

Orang tua korban: 'Kami harap mereka membusuk di penjara'

Safitri Puspa Rani, ibu dari Panghegar - bocah delapan tahun yang meninggal karena mengonsumsi obat batuk sirop beracun - tak bisa menyembunyikan amarahnya. Dengan suara lantang, dia ingin semua orang yang tersangkut dalam peredaran obat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diseret ke pengadilan.

Sebab menurutnya, mereka lalai mengawasi, dan kalau dibiarkan persoalan yang sama kemungkinan akan terulang kembali lantaran tidak ada perbaikan sistem pengawasan.

"Mereka tidak menghargai nyawa anak kami... jadi kami harap mereka membusuk di penjara. Hukum secara maksimal sebagai efek jera agar ke depan pembuat kebijakan sadar berharganya nyawa manusia," ujar Safitri dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/12).

Safitri kehilangan anak laki-lakinya pada Oktober 2022 silam karena menderita gagal ginjal akut progresif atipikal. Kasus anaknya bermula dari demam yang berulang pada 26 September tahun lalu, hingga dokter menyatakan sang anak menderita gagal ginjal akut progresif atipikak pada 5 Oktober 2022. Sepuluh hari kemudian, kondisi anaknya memburuk.

Di sekujur tubuh tertempel berbagai alat medis untuk menunjang hidup sang anak karena seluruh organnya meradang dan terinfeksi racun yang tersumbat di saluran kemih. Safitri bercerita, anaknya terus mengalami pendarahan. Saraf pada matanya juga tak berfungsi. Sampai akhirnya Hegar tak bisa diselamatkan.

Safitri terang-terangan menyebut peristiwa ini sebagai "kejahatan besar" karena ada pihak-pihak yang disebutnya lalai.

"Di titik ini saya mau menyebut anak saya dibunuh oleh sistem. Karena kesalahannya jelas, tidak perlu orang dengan keilmuan tinggi melihat bagaimana kasus ini terjadi. Ingat kejadian ini akan berulang kalau sistem tidak diperbaiki."

Orang tua korban: 'Santunan tidak pernah ada'

Desi Permatasari, ibu dari Sheena - bocah berusia enam tahun yang menderita gangguan gainjal akut progresif atipikal - juga masih menagih keadilan untuk buah hatinya. Ia ingin pejabat yang bertanggung jawab di BPOM dihukum setimpal bahkan kalau perlu, katanya, dipenjara seumur hidup agar merasakan yang ia alami.

Sebab meski sudah setahun berlalu, kondisi anak perempuannya tak berubah. Sang anak divonis tidak akan bisa hidup normal di usianya.

"Setidaknya mereka merasakan bagaimana perasaan terpisah dari anak, bagaimana rasanya tidur tidak enak, makan tidak enak karena 24 jam kami orang tua berjuang menjaga anak kami," ujar Desi dalam konferensi pers di Jakarta.

Desi bercerita, Sheena masih menggunakan trakeostomi atau alat bantu pernapasan. Dari selang yang tersambung ke hidung itu pula, anaknya mengonsumsi susu khusus. Tubuhnya pun masih kaku, tak bisa duduk tanpa ditopang bantal.

"Jadi belum ada perubahan signifikan dari dulu dirawat sampai sekarang," katanya sembari menangis.

Kondisi seperti ini, ujarnya, sangat berat. Untuk biaya pengobatan ditanggung sendiri sampai-sampai mereka harus menjual rumah dan sekarang tinggal di rumah kontrakan. Padahal dulu pemerintah sempat menjanjikan keluarga korban gagal ginjal akut diberi santunan berupa uang. Tapi janji itu tak pernah terwujud, katanya.

"Yang harusnya mendapat santunan, tidak pernah ada. Dua bulan lalu kami mengurus semua berkas, surat yang diminta pemerintah agar santunan cair. Sampai saat ini tidak ada, boro-boro peduli, bertanya saja tidak."

"Saya tidak mengada-ada. Saya berjuang mati-matian untuk bisa membeli susu, kontrol ke rumah sakit, dan memenuhi segala keperluannya yang lain."

Baca lanjutannya: Kasus Obat Batuk Beracun: Benarkah BPOM Terlibat? (Bagian 2)

Related

News 8073584222834764915

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item