Mengungkap Taktik Tiga Capres untuk Meraih Suara Pemilih (Bagian 4)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengungkap Taktik Tiga Capres untuk Meraih Suara Pemilih - Bagian 3). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Algoritma media sosial yang mendukung calon

Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan dalam pemilu tahun ini, media sosial menjadi salah satu sarana paling krusial dalam berkampanye.

Hal ini disebabkan besarnya presentase pemilih muda, yakni Milennial dan Gen Z, yang mendominasi lebih dari 50% suara. “Sehingga publik akan merasakan perbedaan tema konten di media sosial dan ruang publik. Akan ada lebih banyak materi atau konten yang mendukung kandidat,“ ujar Firman.

Ia menjelaskan algoritma dalam media sosial memberikan kemudahan bagi tim kampanye untuk memproduksi konten yang dapat disesuaikan dengan profil audiens yang mereka sasar, berdasarkan usia, letak geografis maupun jenis kelamin.

“Saya akan terjebak ke dalam echo chamber, [konten] ini akan masif kalau dari kuantitas. Dari 10 sampai 15 unggahan yang diproduksi dan didistribusi kandidat tertentu, saya bisa terpapar antara tujuh sampai 12,“ katanya.

Berdasarkan laporan Hootsuite We Are Social 2023, lembaga yang menyajikan data beserta tren yang dibutuhkan dalam memahami internet, media sosial dan perilaku e-commerce, penetrasi internet Indonesia cukup besar. Sebanyak 64,4% masyarakat Indonesia menggunakan internet, atau setara dengan 212 juta penduduk.

Sementara, 77% dari pengguna internet Indonesia atau setara dengan 167 juta orang, merupakan pengguna media sosial. Firman mengatakan bahwa semakin banyak orang di daerah luar perkotaan mulai beralih menggunakan media sosial dan internet.

“Terlihat ada aktivitas internet yang cukup masif, terutama terindikasi dari Google search. Mereka mencari produk-produk, terutama mereka mencari informasi tentang kandidat dan partai politik,” ujarnya.

Sehingga, ketika seorang kandidat memiliki dana besar dan sumber daya yang kuat untuk memproduksi konten dalam jumlah tinggi, maka calon tersebut dapat dengan mudah mendominasi lanskap media sosial para pengguna.

“Justru yang harus dihindari adalah dominasi konten dari satu pihak. Ini bukan masalah popularitas, tapi konten dia yang akan muncul terus,“ ujarnya.

Kalaupun seorang kandidat tidak terlalu banyak memproduksi konten resmi, menurut Firman, media sosial dengan mudah dapat memberikan inisiatif bagi para pendukungnya untuk menyebarkan konten sendiri untuk mendukung sang calon.

“Kadang juga kesertaan sukarela dari para pendukung ini sering berlebihan. Di Pemilu 2019 sampai terjadi Cebong dan Kampret, itu karena para pendukung di luar Timses Kampanye inisiatif membuat konten, bahkan mencari sisi-sisi buruk kandidat [lain],” kata Firman.

‘Jangan sampai hanya yang ringan saja yang diberikan’

Peneliti PRP BRIN bidang Komunikasi Politik, Nina Andriana, mengatakan media sosial dapat dimanfaatkan tim kampanye untuk memperlihatkan hanya sisi-sisi positif dari para calon sekaligus menyembunyikan sisi buruk yang mereka tidak ingin publik tahu.

“Gimik-gimik yang diciptakan di sosmed itu bisa menutupi, saya tadinya ingin bersikap positif bahwa TPN akan lebih cerdas menjadi bagian dari seorang edukator politik, tapi saya melihat mereka sangat melihat bahwa ini yang paling tepat,“ ujarnya.

Nina khawatir bahwa dalam upaya tim kampanye menggaet suara Gen Z, mereka akan cenderung hanya memperlihatkan sisi lucu, ringan atau ‘gemoy‘ kandidat. Padahal kebanyakan dari Gen Z mendapatkan informasi mereka dari konten media sosial.

“Mereka akan mengambil kesempatan apapun yang ada supaya calon mereka menang, dan suara terbesar adalah Gen Z. Bagaimana cara mendekatinya? Dengan yang ringan-ringan, gimik-gimik politik ini. Yang penting mereka ingat,“ katanya.

Ia memperingatkan tim kampanye agar tetap bertanggung jawab dalam mengembangkan pemahaman para pemilih muda terhadap calon-calon mereka. Karena masyarakat pun sudah semakin cerdas dan kritis dalam menyikapi suasana politik.

“Dalam masa kampanye jangan gimik itu terus yang jadi andalan, harus ingat bahwa masyarakat sudah mulai cerdas dan mereka ingin tahu calon-calon ini akan melakukan apa secara riil,” kata Nina.

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (Fanta) Prabowo-Gibran, Dedek Prayudi, membantah bahwa mereka berusaha untuk menutup mata generasi muda. Dedek menegaskan tim kampanye Prabowo-Gibran berusaha untuk menarik minat generasi muda dengan cara santai.

“Politik harus disampaikan dengan gestur-gestur dan cara yang dianggap beda. Itu termasuk sensasi dan itu enggak jelek. Sensasi itu mengajak orang untuk beriang gembira,“ katanya.

Juru Bicara Anies Baswedan, Angga Putra Fidrian, mengatakan bahwa timnya tidak pernah berusaha untuk mengubah kepribadian Anies agar masyarakat dapat merasa semakin dekat dengannya.

“Kita inginnya Pak Anies itu tetap otentik, jadi dirinya sendiri dengan karakter dosen, intelektual. Cak Imin atau Gus Imin dengan karakter anak santri yang asik dan pintar. Itu yang ingin kita dorong,“ tutur Angga.

Direktur Eksekutif Komunikasi Informasi & Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Yostinus Tomi Aryanto, mengatakan saat ini tim sedang berfokus pada memaparkan visi-misi Ganjar-Mahfud dengan cara yang mudah dipahami, lebih ringkas dan mudah ditangkap publik.

“Kalau disampaikan dengan terlalu meremehkan tentu saja kehilangan substansinya, begitu juga sebaliknya jangan hal-hal yang sudah berat tapi disampaikan dengan terlalu rumit.

“Tapi komunikasi selalu ada sisi yang kita anggap bisa berhasil bisa tidak, itu tentu menjadi evaluasi kita,“ katanya.

Related

News 2676758616978960828

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item