Bagaimana Posisi Kho Ping Hoo dalam Kesastraan Indonesia?


Sosok Kho Ping Hoo tak diragukan memiliki peran penting dalam pengalaman literasi banyak masyarakat Indonesia yang menggemari cerita dunia persilatan. Namun posisinya dalam dunia sastra Indonesia masih dalam keremangan.

Leo Suryadinata, Visiting Senior Fellow ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapore yang meneliti soal cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo semasa hidup, menilai sosok penulis peranakan itu memang lebih dianggap memiliki sumbangsih dalam cabang cersil meski pernah menulis cerpen dan novel di luar cersil.

"Cersil umumnya dianggap bentuk sastra populer dan banyak akademisi menganggapnya tidak setinggi sastra serius atau sastra murni," kata Leo.

"Namun saya berpendapat bahwa cersil sebagai sastra populer ini telah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada masyarakat dan budaya Indonesia, karena jumlah pembacanya yang sangat besar dan ajaran moral yang sering diperolehnya dari cersil Indonesia yang baik," lanjutnya.

Akademisi sastra Indonesia dari Universitas Gadjah Mada, Aprinus Salam, menyebut faktor cersil yang merupakan sastra populer membuat diskusi terkait pengaruh Kho Ping Hoo dalam kesastraan juga kebahasaan Indonesia masih sulit dilakukan.

"Cerita silat itu kan diangkat sebagai salah satu genre sastra populer, sehingga agak dipisah dalam [karya] arus utama," kata Aprinus.

"Jadi agak sulit membicarakan terkait pengaruh kebahasaan karena perlu mengidentifikasi elemen-elemen pengaruh itu apa saja, dan kita secara teoritik belum punya instrumen untuk menguji," ia menambahkan.

Meski begitu, Aprinus sepakat bahwa karya Kho Ping Hoo memiliki penggemar yang amat beragam dan besar dengan nilai-nilai filsafat dalam cerita yang dalam. Nilai-nilai itu kemudian dicampur dengan bahasa sehari-hari "secara estetik" dalam satu bangunan cerita.

"Jadi kelebihan dia memang dengan canggih, mampu mencampurbaurkan secara estetik dalam satu bangunan cerita," kata Aprinus.

"Sehingga walaupun kandungan filsafatnya sebetulnya tinggi-tinggi, karena diramu dalam percakapan sehari-hari, orang bisa lebih memahami dan merasuk ke pembacanya," lanjutnya.

Selain itu, Leo berpendapat salah satu kehebatan Kho Ping Hoo adalah bahwa ia yang "tak pernah sekolah Tionghoa, tidak paham aksara Tionghoa, dan tidak pernah belajar sejarah Tiongkok di sekolah, mampu menghasilkan kira-kira 108 buah judul cersil yang berlatar belakang Tiongkok."

Menurut Leo, Kho Ping Hoo juga telah menghasilkan sekitar 30 buah judul cersil dengan latar belakang 'sejarah' Jawa dan Indonesia, dan memiliki penggemar yang banyak.

"Karya cersil Kho Ping Hoo bukan saja ceritanya menarik, dan bersifat mendidik, tetapi juga disampaikan dalam bahasa Indonesia yang cukup baik sehingga bisa membuat pembaca Indonesia, baik yang peranakan maupun yang pribumi 'kecanduan'," kata Leo.

"Menurut hemat saya, sebagai seorang pengarang cersil yang begitu produktif dan begitu banyak penggemarnya, sampai kini masih belum ada tandingannya," terangnya.

Meski begitu, Leo mengakui bahwa Kho Ping Hoo juga kadang melakukan kesalahan terkait akurasi data dinasti, geografi, dan sebagainya terkait dengan sejarah Tiongkok.

Hal itu berbeda dengan cersil saduran asli Tiongkok yang juga jadi tren kala Kho Ping Hoo memulai menulis pada dekade '50-an, seperti dari karya Jin Yong dan Liang Yusheng (Liang Ie Sheng) yang kuat dalam hal geografi Tiongkok.

Berdekade sebelum Kho Ping Hoo menjadi fenomena, cersil telah menjadi kegemaran masyarakat terutama Tionghoa dan peranakannya di Indonesia, sejak sebelum Perang Dunia II.

Kala itu, cersil-cersil saduran yang berasal dari roman sejarah Tiongkok dan berbahasa Mandarin ditampilkan dalam surat kabar di Indonesia dengan bahasa Melayu-Tionghoa.

Usai Perang Dunia II, mulai terjadi perubahan seiring dengan semakin bertambah populasi peranakan yang lebih mengerti bahasa Indonesia dan perkembangan situasi sosial-politik pada masa pasca kemerdekaan.

"Meskipun demikian, cersil asli Tiongkok yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia masih sangat berbau bahasa Melayu-Tionghoa dan terlalu banyak istilah Tionghoa yang terkadang mengganggu pembacaan," kata Leo.

"Cersil Kho Ping Hoo tidak ada kekurangan yang seperti ini dan lebih mudah diikuti oleh para pembaca 'pribumi'. Meskipun dia juga memakai istilah persilatan Tionghoa, tetapi secara minim demi menunjukkan identitas ketionghoaan," lanjutnya.

Meski posisi Kho Ping Hoo dianggap masih belum sekuat penulis roman sastra lainnya, penulis kelahiran 1926 itu diakui oleh Leo dan Aprinus memiliki peran sendiri dalam ilmu pengetahuan juga kebudayaan di Indonesia

Mereka pun mendorong agar pemerintah Indonesia berperan aktif menjaga warisan cersil Kho Ping Hoo yakni lewat pembangunan museum.

"Mungkin yang perlu diusahakan sekarang museum Kho Ping Hoo, saya kira keluarga Kho Ping Hoo sudah pernah menyicil bangun museum di Sragen," ujar Aprinus.

Selain museum, Leo Suryadinata juga mengusulkan agar pemerintah membuat sebuah jalan di Solo atau di Sragen diberi nama Jalan Kho Ping Hoo sebagai bentuk penghormatan terhadap sosoknya.

Related

Figures 32560774953021516

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item