Kisah Dokter Lo yang Gratiskan Biaya Berobat Warga Miskin (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Dokter Lo yang Gratiskan Biaya Berobat Warga Miskin - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sebelum meninggal, dokter kelahiran Magelang, 16 Agustus 1934 itu setiap pagi dan sore membuka praktik di rumahnya di kawasan Purwodiningratan, Surakarta. Siang pada hari-hari itu harus dia lewatkan dengan bertugas di Rumah Sakit Kasih Ibu.

Setiap sore hingga malam, antrean pasien selalu mengular di bangku ruang tunggu rumah Dokter Lo yang megah. Bukan hanya warga miskin, orang-orang berpunya juga datang untuk memeriksa kesehatan mereka.

Dokter Lo tidak pernah membebani biaya kesehatan kepada pasiennya. Dia bahkan kerap membayar obat yang harus ditebus pasiennya di apotek. Dokter Lo membubuhkan stempel khusus pada kertas resep pasien yang tak sanggup membeli obat.

Dokter Lo juga dikenal luas karena membantu warga miskin yang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Semua ini dilakukannya sejak tahun 1968. Sikap kedermawanan Dokter Lo itu tidak muncul secara tiba-tiba. Ayahnya pernah berpesan sebelum dia memulai perkuliahan di Universitas Airlangga.

“Waktu mau sekolah dokter, ayah saya bilang ’kalau mau jadi dokter, jangan jadi pedagang. Kalau mau cari duit, jadilah pedagang‘,“ ujar Dokter Lo. “Dari kalimat itu, ayah saya berpesan ‘kalau mau jadi dokter, tugas saya menolong, jangan cari duit dari dokter’.” 

Dokter Lo bercerita tentang peristiwa yang menjadi titik balik kehidupannya—masa ketika dia menjalani kondisi kritis akibat penyakit kuning pada dekade 1960-an.

“Saat itu kondisi saya sudah gawat sekali. Saya terbaring selama 30 hari di rumah sakit dan secara perhitungan teoritis, kemungkinan hidup saya tinggal 10 persen,” ujarnya.

Selama di Rumah Sakit Tentara Magaleng, Dokter Lo ditangani oleh Dokter Supandji. Setelah perawatan intensif, dia dinyatakan sembuh. Merasa berutang budi, Dokter Lo mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Dokter Supandji.

“Tapi Dokter Supandji menolak ucapan itu,” kata Dokter Lo. “Justru beliau yang berterima kasih kepada saya. Jika saya tidak bisa sembuh, maka nama Dokter Supandji akan jatuh.” 

Sebagai ucapan syukur atas hal yang dia anggap sebagai mukjizat itu, Dokter Lo berjanji tidak mengambil untung dari setiap orang sakit yang datang kepadanya.

Dokter Lo juga merujuk Dokter Oen Boen Ing sebagai sosok yang menginspirasinya memberi pelayanan medis tanpa biaya. Dokter Oen adalah dokter yang berpraktik sejak era kolonial Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru. Dia dikenal sebagai dokter kaum miskin karena menggratiskan biaya kesehatan untuk warga dari kelas ekonomi bawah.

Dokter Lo berjumpa dengan Dokter Oen di Rumah Sakit Panti Kosala, Solo—yang kini bernama RS dr. Oen Kandang Sapi. Saat itu Dokter Lo bekerja sebagai tenaga medis.

“Dulu saya kerja sama Dokter Oen. Beliau mengajarkan saya tentang nilai-nilai kemanusiaan seperti membantu orang yang sakit tanpa memasang tarif untuk periksa. Ajaran inilah yang sampai saat ini saya pegang,” tuturnya

Bantu biaya berobat hingga puluhan juta

Veronica Sri Rejeki telah menjadi pasien Dokter Lo sejak puluhan tahun lalu. Belakangan anak dan cucunya juga datang ke Dokter Lo ketika sakit. Veronica ingat betul bagaimana Dokter Lo membayar seluruh biaya berobat dan rawat inap anaknya yang pernah sakit parah.

“Anak saya yang pertama pernah sakit diare, nyaris meninggal. Dia dirawat, dibayari Dokter Lo. Beliau bilang nanti saya yang bayar. Empat hari di sana Dokter Lo bayar Rp2 juta lebih sampai anak saya sembuh,” kata Veronica.

Dokter Lo kerap memarahi orangtua yang baru memeriksakan anak mereka setelah kondisi sakit parah. Dokter Lo meminta kepada siapa pun untuk tidak ragu datang ke kliniknya. Dia berjanji tidak akan pernah memungut biaya.

“Kaya atau miskin, kalau pasien itu terlambat memeriksakan diri, beliau itu sangat sedih,” kata Veronica.

“Dokter Lo mengungkapkan kesedihannya itu dengan memarahi orangtua pasien seperti saya. ‘Apa saya pernah minta uang ke kamu?’,” ujarnya mengingat perkataan Dokter Lo. Veronica terisak saat menceritakan kisah ini.

Dokter Lo juga pernah memeriksa anak kedua Veronica yang menjadi korban tabrak lari. Tangan dan kedua kaki anaknya patah. Anaknya diperiksa dan dirawat di Rumah Sakit Yarsis Surakarta. Seluruh biaya dibayar oleh Dokter Lo. “Saya disuruh bayar Rp2 juta tapi saya tidak punya uang, jadi saya tinggal kendaraan saya di rumah sakit,“ kata Veronica.

“Satu minggu kemudian kendaraan saya diambil oleh Dokter Lo. Setelah itu, dia memindahkan anak saya ke Rumah Sakit Kasih Ibu. Anak saya ditempatkan di ruang VIP. Ruangannya besar sekali. Total biayanya Rp29 juta, seluruhnya dibayar oleh Dokter Lo,” ujar Veronica.

Salah satu tetangga Dokter Lo, Putut Hari Prabowo, juga menceritakan tentang kebiasaan Dokter Lo yang sering memarahi keluarga pasien yang telat memeriksakan anaknya yang sakit. Rumah Putut berjarak satu rumah dengan Dokter Lo. Dia berkisah bagaimana sang dokter meminta warga untuk tidak menanyakan biaya periksa di kliniknya.

“Dokter Lo pasti bilang, ‘opo kowe wis sugih (apa kamu sudah kaya). Mending duit itu nggo tuku (Lebih baik uangnya untuk membeli) obat dan nyekolahke (menyekolahkan) anak’,” kata Putut menirukan ucapan Dokter Lo.

Warga jaga rumah Dokter Lo saat kerusuhan rasial 1998

Saking banyaknya warga yang merasa berhutang budi dengan Dokter Lo, Putut mengatakan saat Kerusuhan Mei 1998, kediaman Dokter Lo aman dari penjarahan, kerusuhan dan pembakaran. Padahal saat itu banyak toko-toko milik keturunan Tionghoa yang dibakar massa. 

Kediaman Dokter Lo tidak terjamah kericuhan karena warga sekitar rumahnya datang dan melindungi rumah tersebut.

“Kebetulan teman-teman kan orang kampung, saya ajak ke depan. ‘Ayo jangan mikir ini dan sebagainya, ini adalah saatnya membalas budi. Keluargamu yang sakit dan dibawa ke sini pasti tidak bayar. Ini saatnya balas budi,” kata Putut mengulang perkataannya pada warga kampung Purwodiningratan.

Putut berkata sempat menemui Dokter Lo saat kerusuhan di Surakarta itu terjadi. Dia meminta Dokter Lo tidak membuka klinik demi keselamatannya. Dokter Lo menyambut saran itu dengan kemarahan. Dia tetap ingin melayani orang-orang yang sakit.

“Pasien siapapun juga saya layani, warna kulit hitam atau kuning saya terima. Mata sipit dan lainnya saya terima semuanya. Korban demo pun saya terima,” kata Putut menirukan ucapan Dokter Lo saat itu.

Pada kerusuhan Mei 1998 itu, kata Putut, Dokter Lo membuka kliniknya hingga malam. Sebuah ambulans yang dikirim aparat keamanan datang untuk mengevakuasi sang dokter. Namun Dokter Lo, kata Putut, menolak bantuan itu. Dia memilih bertahan di rumah bersama istrinya.

“Dokter Lo tidak mau dievakuasi karena dia lebih percaya dengan masyarakat sekitar rumahnya. Hubungan kami baik sekali. Ada ikatan emosional,” ujar dia.

Related

Figures 5454671266255387458

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item