Mengapa Orang Minahasa Mengonsumsi Daging Hewan Liar?


Baju adat khas Minahasa, Kabasaran, memiliki corak tengkorak di bagian depan. Tengkorak yang berukuran kecil tersebut diyakini sebagai wujud Yaki atau monyet hitam satwa endemik Sulawesi. Budayawan sekaligus Dosen Universitas Sam Ratulangi, Fredy Sreudeman Wowor, mengenalkan baju itu sebagai salah satu pertanda atas pola konsumsi warga Minahasa yang mayoritas bermukim Sulawesi Utara. 

Dahulu, tengkorak itu asli berasal dari Yaki. Namun, seiring punahnya populasi Yaki, penggunaannya juga kian dikurangi dan diganti bahan imitasi. Berikut juga kebiasaan konsumsinya. Dia juga mengisahkan bahwa kebiasaan masyarakat Minahasa mengonsumsi banyak satwa liar bukan dimulai dari kebiasaan berburu. Namun, kebiasaan saat membuka kebun dari hutan. 

Masyarakat Minahasa meyakini bahwa setiap satwa yang masuk ke dalam kebun yang mereka buka, merupakan rezeki dari Yang Maha Kuasa. "Sehingga tidak mungkin orang berburu ular, karena itu sulit. Tetapi kalau ada ular masuk, itu sudah menjadi pertanda bahwa itu rezeki," kata Fredy. 

Seiring perkembangan waktu, masyarakat yang aktif berkebun mulai mengenal perniagaan. Saat itu pula komoditas kebun mulai ditukar dengan ikan milik masyarakat tepi laut. Tidak hanya sayuran saja yang dibawa, namun juga hewan lain yang masuk ke dalam kebun mereka. Sehingga mulailah satwa liar menjadi komoditas dagang di Minahasa. 

Akibatnya, seiring waktu konsumsi satwa liar tidak hanya menunggu pada hewan yang masuk ke kebun. Bahkan sudah diburu ke dalam penjuru hutan. Bahkan saat ini, daging-daging satwa liar bukan lagi didatangkan dari Bumi Minahasa namun dari wilayah Sulawesi lainnya bahkan sampai luar pulau. "Ini bahkan sudah dipasok dari luar. Bukan dari Minahasa lagi," kata dia. 

Hal serupa juga disampaikan oleh Tokoh Agama Katolik, Paul Richard Renwarin. Dia mengklaim bahwa kebiasaan konsumsi daging ekstrem di Minahasa bukanlah kegiatan rutin seperti halnya memakan daging ikan ataupun makanan pokok. 

Menurut dia, perspektif publik mengenai konsumsi satwa liar di Tomohon terlalu berlebihan. Karena, baginya, masyarakat Minahasa hanya memakan daging anjing, kucing, tikus hutan ataupun ular hanya di saat tertentu dan tidak disajikan kepada khalayak banyak. 

"Coba kalian ke pesta-pesta, tidak akan kalian menemukan daging anjing ataupun kucing. Kalian akan menemukan itu kalau dipesan secara khusus dan biasanya menjadi cemilan saat meminum minuman keras. Itu hanya rekreatif," kata Renwarin. 

Di balik atas nama budaya, kebiasaan mengonsumsi daging ekstrem terutama dari satwa liar memiliki implikasi bahaya bagi kesehatan. Konsumsi daging dari alam liar berpotensi membawa mikroorganisme yang dapat menjadi zoonosis, penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. 

Dosen Biodiversitas Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, John Tasirin, menemukan konsumsi satwa liar yang selama ini diyakini menjadi obat alternatif malah memberi efek sebaliknya. Seperti konsumsi kelelawar dalam temuan, dapat merusak fungsi otak bila dilakukan dalam jangka waktu lama. 

"Suku-suku di Hawai itu memiliki insiden penyakit-penyakit degradasi fungsi otak. Mereka berasal dari suku-suku yang mengonsumsi kelelawar," kata John. 

Related

Indonesia 8807068865743309413

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item