Sejarah dan Perkembangan Novel Detektif Indonesia (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah dan Perkembangan Novel Detektif Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

“Kekagumannya kepada Agatha Christie itu tercermin benar dalam gaya ceritanya. Alur cerita disusun secara kronologis, sehingga pembaca bisa mengikuti secara cermat perkembangan kejadian dari waktu ke waktu. Tokoh-tokoh cerita pun diperkenalkan dulu di bagian awal, sehingga pembaca sudah mempunyai gambaran terlebih dahulu terhadap para tokoh cerita. Ini semua pola yang digunakan Agatha Christie,” tulis Kompas (13/12/1987). 

Namun, S. Mara Gd tak mentah-mentah meniru idolanya. Kekhasan Agatha Christie adalah pada caranya memperlihatkan kemampuan deduksi sang detektif. Sementara S. Mara Gd lebih menitik pada plot-plot tak terduga dan motif kelam yang mendorong tokohnya melakukan tindak kejahatan keji. 

Penulis lain yang hampir mendekati produktivitas S. Mara Gd adalah sang veteran Aryono Grandy. Sejak pertama kali menerbitkan kisah detektif pada 1952, serial detektif Naga Mas masih tayang sebagai kisah bersambung di beberapa media hingga 1980-an. Ketika majalah Terang Bulan berhenti terbit sekitar 1982, Naga Mas pindah terbit dalam Harian Bhirawa dan Suara Indonesia di Surabaya (1982). 

Cerita Naga Mas juga muncul di harian Pikiran Rakyat Bandung (1982-1984), Majalah Liberty Surabaya (1984) serta majalah Detektif & Romantika Jakarta (1987). 

“Tidak setiap tokoh bisa tetap digemari selama 39 tahun. Banyak rekan sezaman Naga Mas sekarang ini sudah lama mengundurkan diri. Kalau tidak akibat penciptanya meninggal dunia, mungkin juga karena mereka malahan sudah kehabisan bahan petualangan. Bisa kita tengok bagaimana dengan nasib Pacar Mas, Garuda Putih, Gagak Hitam, Elang Emas dan juga Gagak Lodra,” tulis Kompas (19/9/1991).

Kendati dekade 1980-an itu novel detektif laris manis di pasaran, nyatanya tak banyak penulis yang tertarik untuk menekuninya sebagai spesialisasi. Selepas S. Mara Gd dan Aryono Grandy, nisbi sedikit penulis yang mengikuti jejak mereka atau berhasil menerbitkan novel detektif yang jadi populer. Pamor fiksi detektif Indonesia pun meredup menjelang pergantian milenium ketiga. 

Selalu Punya Pembaca 

Fiksi detektif yang terbit pada 1980-an tumbuh bersama dengan genre novel pop pada umumnya. Pembaca terbesarnya adalah kalangan kelas menengah yang kala itu juga baru tumbuh di kota-kota besar. Pertumbuhan pembaca itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh majalah gaya hidup seperti Femina, Kartini, dan semacamnya. Jadi, segmentasi khusus pembacanya adalah wanita atau ibu-ibu kelas menengah yang mapan. 

“Di rumah ada pembantu, suami bekerja dengan penghasilan cukup baik. Lalu para wanita yang rata-rata berpendidikan itu hanya di rumah. Lalu apa yang diperlukannya? Yang diperlukannya adalah hiburan, salah satunya melalui bacaan,” tutur Ibnu Wahyudi. 

Di antara novel-novel populer bertema percintaan dan kehidupan keluarga, novel detektif menjadi karya pembeda. Seperti diakui S. Mara Gd sendiri, ia tidak ingin sekadar menulis cerita yang sudah banyak ditulis orang. Menulis novel detektif juga menjadi caranya untuk menggaet pembaca yang lebih luas daripada novel-novel romansa biasa. 

“Dengan menyuguhkan tulisan yang bersifat suspense, saya berharap bisa menyediakan bacaan ringan bagi kaum pria yang mendekati selera mereka, sambil mengajak wanita pembaca untuk menyenangi juga pemikiran yang bersifat kritis rasional,” ungkap penulis asal Surabaya itu, dikutip Kompas (29/7/1988). 

Meskipun kini seakan tenggelam dan sedikit penulis yang menekuninya, novel detektif lawas tidak pernah kehilangan penggemar. Tidak kalah dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang dihargai mahal, seri-seri novel detektif second hand juga ramai diburu. Di bursa buku lawas Blok M Square, misalnya, hampir setiap lapak memajang novel detektif karya penulis lokal maupun internasional. 

Dewi, salah seorang penjual buku di basement Blok M Square, mengaku selalu ada saja pelanggannya yang mencari novel-novel S. Mara Gd. Penjualannya pun terbilang laris. Setiap datang kiriman dari pengepul buku bekas, ia biasa menyisihkan novel-novel pengarang Surabaya itu untuk pelanggan yang sudah memesannya. 

“Kami selalu rutin nyetok sebenarnya, tapi selalu habis karena memang banyak juga yang mencari. Seperti pelanggan saya dari Palembang yang selalu menanyakan apakah sudah ada stok judul yang belum dia punya. Kalau ada dia pasti minta dikirim,” ujar Dewi di kiosnya. 

Tak jarang ketika ada pelanggan yang datang langsung ke lapaknya, ia harus meminta maaf karena stok bukunya habis. Imel, juga pedagang buku di Blok M Square, mengatakan bahwa penggemar-penggemar cerita detektif lawas yang datang padanya umumnya berumur paruh baya. 

“Kalau S. Mara Gd yang nyari orang-orang tua, kalau yang muda-muda enggak ngerti itu siapa. Atau kalau ada yang tahu biasanya mahasiswa untuk skripsi,” kata Imel. 

Meskipun biasa dikategorikan sebagai bacaan pop dan sering dianggap bukan sastra, toh harga jual novel-novel detektif itu tidak kalah tinggi. Itu karena umumnya para pemburu novel detektif adalah kolektor. 

“Kalau terbitan baru bisa saya kasih harga murah, tapi kalau yang second asli bisa saya jual lebih dari Rp100.000. Apalagi kalau judulnya langka,” lanjut Imel. 

Kini, novel detektif Indonesia memang agak sulit meraih kejayaan seperti pada dekade 1980-an silam. Tetapi, sebagaimana pembacanya yang tetap ada, beberapa penulis juga mulai berkarya dalam genre ini. “Sepuluh tahun belakangan saya dapati beberapa novel detektif karya penulis kita. Memang tidak seterkenal tahun 1980-an, tetapi tetap ada,” kata Ibnu Wahyudi seraya menyunggingkan senyum. 

Related

Books 5988700955543142286

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item