Meluruskan Pola Pikir Keliru Terkait Kehidupan (2)

Meluruskan Pola Pikir Keliru Terkait Kehidupan

Naviri.Org - Artikel ini lanjutan artikel sebelumnya (Meluruskan Pola Pikir Keliru Terkait Kehidupan 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah artikel sebelumnya terlebih dulu.

Jadi inilah lingkaran setan dalam spektrum yang lebih besar, dalam kehidupan banyak orang: Mereka lahir, tumbuh besar, bersekolah, mendapatkan nasihat bijak (Hei Nak, belajarlah yang rajin), lalu dewasa, masuk perguruan tinggi, lulus, cari pekerjaan, bekerja, menikah, membangun keluarga, punya anak-anak, mewariskan nasihat bijak (Hei Nak, belajarlah yang rajin), lalu... mati. Dan anaknya akan mengulangi siklus lingkaran itu. Tanpa akhir... tanpa usai...

Bukankah menyedihkan kehidupan semacam itu? Saya tidak merisaukan soal menikahnya. Saya tidak meributkan soal mengontrak rumah dan kredit rumahnya. Saya tidak mempersoalkan anak-anak yang mereka miliki. Yang saya risaukan adalah soal keterjebakan mereka dalam siklus lingkaran pengejaran uang yang tanpa henti, dari pertama kali mereka lulus perguruan tinggi sampai mereka hampir mati, dan semuanya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang sepertinya tak pernah selesai.

Mereka bekerja, bekerja, dan bekerja. Mereka mencari uang, mencari uang, dan mencari uang. Seolah-olah hidup ini diciptakan Tuhan hanya untuk melemparkan manusia ke dalam keterjebakan pencarian uang semacam itu, tanpa sempat berhenti untuk memikirkan dan merenungkan, “Benarkah untuk ini aku hidup...?”

Berapa banyakkah dari kita yang mau memahami, dan menyadari bahwa hidup tidaklah sekadar seperti itu...?

Mungkin sempat tersirat dalam pikiranmu, mengapa saya terkesan sinis pada nasihat, ‘Hei Nak, belajarlah yang rajin... bla-bla-bla’ itu. Saya memang sengaja menuliskannya berulang-ulang, karena nasihat itu memang perlu diingat—untuk segera dilupakan.

Nasihat itu sudah ketinggalan zaman, sudah kedaluwarsa—sebaiknya sudah harus ditinggalkan. Dan sebagaimana makanan yang sudah melewati masa kadaluwarsa bisa meracuni tubuh kita, maka nasihat yang sudah kedaluwarsa pun bisa berakibat meracuni pikiran kita.

Mengapa nasihat yang terkesan baik dan bijak itu sudah ketinggalan zaman—dan kadaluwarsa?

Sekarang kita akan menengok kehidupan di bumi, sekian ratus tahun lalu, jauh sebelum ayah-ibu dan kakek-nenek kita dilahirkan.

Dulu, duluuuuu sekali, ketika penduduk bumi masih belum sepadat sekarang, tanah-tanah masih lapang dan lahan-lahan pertanian masih luas membentang. Hutan masih tumbuh subur di mana-mana, dan tanah menumbuhkan banyak hasil bumi yang dapat digunakan manusia untuk makan dan bertahan hidup.

Padi, jagung, palawija, dan buah-buahan, semuanya tumbuh subur dan melimpah, dan manusia bisa mudah memanfaatkan, karena waktu itu setiap orang hampir bisa dipastikan memiliki lahan pertanian dan perkebunan untuk melangsungkan kehidupan. Waktu itu, peradaban manusia disebut Era Agraria—suatu era di mana manusia dapat makan tanpa kekurangan, tanpa harus bekerja, dengan hanya mengandalkan hasil bumi.

Jadi, ketika Era Agraria, manusia tidak butuh kerja. Mereka tidak butuh uang untuk membeli kebutuhan hidup mereka, karena hampir semua kebutuhan hidup telah tercukupi, khususnya dalam hal pangan dan papan. Apabila mereka memerlukan hal lain yang kebetulan tidak mereka miliki, mereka bisa mendapatkannya dengan membarter barang miliknya dengan barang yang mereka inginkan.

Nah, di waktu itu, nasihat para orangtua kepada anak-anaknya adalah, “Hei Nak, jadilah orang yang tekun dan rajin, agar tanah sawah ladangmu terurus, dan dapat tetap memberimu penghidupan.”

Para orangtua pada masa itu tidak mempersoalkan pentingnya memperoleh pekerjaan, karena mereka tidak butuh pekerjaan. Lahan pertanian, ladang dan sawah mereka sudah lebih dari cukup untuk menghidupi mereka, dan... ngapain repot-repot cari pekerjaan?

Pada era itu, para orangtua tidak mementingkan nilai yang tinggi atau rangking sekolah yang hebat—karena bahkan pada waktu itu belum ada sekolah. Pada era itu, para orangtua biasanya mengundang orang-orang yang dianggap pintar dan bijak untuk mengajar dan mendidik anak-anak mereka di rumah.

Ajaran serta pendidikannya tentu saja bukan biologi atau rumus-rumus kimia-fisika seperti anak sekolah jzaman sekarang, tapi pelajaran tentang bagaimana menjalani hidup dengan baik dan benar, pendidikan tentang mengurus tanah sawah ladang, tentang budi pekerti, tentang bagaimana adab terhadap orangtua, tetangga, orang lain, dan semacamnya.

Seiring perjalanan waktu, penduduk bumi semakin padat, manusia beranak-pinak dalam jumlah yang semakin pesat, dan hadirnya para penghuni baru tentu saja juga membutuhkan tempat tinggal baru di bumi. Maka, perlahan namun pasti, tanah-tanah yang mulanya kosong mulai dibangun sebagai tempat tinggal dan komplek perumahan.

Waktu semakin bertambah, dan jumlah manusia pun semakin bertambah. Lahan tanah semakin menyempit, persawahan telah menjadi komplek hunian, dan bumi makin susut memberikan hasilnya. Sekarang manusia tak lagi bisa hidup hanya dengan mengandalkan tanah dan hasil buminya semata-mata. Mereka membutuhkan barang-barang yang tak lagi bisa dihasilkan bumi mereka, dan sistem barter kemudian digantikan sistem mata uang. Era Agraria menuju masa akhir.

Seiring dengan itu, pabrik-pabrik mulai didirikan untuk membuat aneka barang kebutuhan manusia—pakaian, sandal, tas, dan sebagainya—dan pabrik-pabrik itu pun tentunya membutuhkan tenaga kerja untuk menggarapnya. Sekarang, manusia tak lagi bisa mengandalkan hidup dari tanahnya semata-mata, dan mereka pun mulai membutuhkan pekerjaan untuk dapat menghasilkan uang, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Karena bekerja di pabrik membutuhkan keahlian atau setidaknya keterampilan, maka dibukalah sekolah-sekolah yang khusus mengajarkan beberapa keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk bekerja di pabrik-pabrik. Inilah cikal-bakal sekaligus awal mula berdirinya sekolah.

Sampai kemudian James Watt menemukan mesin uap yang lalu memicu lahirnya industri secara besar-besaran di berbagai negara, di berbagai belahan bumi. Pabrik-pabrik baru tumbuh dengan pesat karena lahirnya mesin uap, jalan-jalan kereta api dibangun dimana-mana untuk melancarkan perdagangan antar wilayah, dan mesin-mesin baru pun diciptakan. Era Agraria telah mencapai titik akhir, dan sekarang manusia memasuki era baru bernama Era Industri.

Di Era Industri ini pulalah, sekolah-sekolah semakin banyak dibangun, karena pabrik-pabrik semakin banyak membutuhkan tenaga kerja, untuk berbagai keperluan kerja yang juga membutuhkan semakin banyak ketrampilan dan keahlian. Para orangtua pada era ini mulai menganggap penting sekolah, karena dengan bersekolah itulah anak-anak mereka akan memperoleh pengetahuan yang dapat mereka gunakan untuk mendapatkan pekerjaan.

Baca lanjutannya: Meluruskan Pola Pikir Keliru Terkait Kehidupan (3)

Related

Psychology 1946908228084973545

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item