Mengapa Otoritas Keuangan Indonesia Melarang Bitcoin?

  Mengapa Otoritas Keuangan Indonesia Melarang Bitcoin?

Naviri.Org - Otoritas keuangan Indonesia, dalam hal ini pihak perbankan, melarang penggunaan bitcoin sebagai sarana jual beli atau transaksi. Bagi sebagian pihak, pelarangan itu mungkin dianggap aneh, mengingat saat ini bitcoin telah populer dan sudah digunakan banyak orang, khususnya di dunia maya.

Di dunia maya, kita tahu, bitcoin telah lama beredar, dan sering dijadikan sebagai sarana pembayaran dalam transaksi tertentu, sebagaimana mata uang di dunia nyata. Mengapa otoritas keuangan di Indonesia harus melarang bitcoin?

Sebenarnya bukan hanya bitcoin yang dilarang. Otoritas moneter Indonesia bakal mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan bitcoin juga mata uang virtual lainnya sebagai alat pembayaran. Pelarangan oleh Bank Indonesia (BI) ditujukan bagi pelaku layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology), termasuk e-commerce, agar tidak menerima bitcoin. Pemrosesan mata uang virtual juga dilarang.

"Dalam konteks sistem pembayaran, bitcoin bukan alat pembayaran yang sah," kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman Zainal, kepada media.

Menurut Agusman, hal itu sejatinya sudah diatur dalam Peraturan Bank lndonesia tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran tahun 2016. Pasal 34 beleid itu menyebut, "Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang: (a) melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan mengunakan virtual currency."

Bagian keterangannya disebutkan, virtual currency adalah uang digital yang diterbitkan selain otoritas moneter, yang diperoleh dengan cara mining. Antara lain Bitcoin, BlackCoin, Dash, Degecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, dan Ven.

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, menyebutkan alasan melarang adalah dalam rangka melaksanakan prinsip kehati-hatian, menjaga persaingan usaha, pengendalian risiko, dan perlindungan konsumen.

"Kami melarang penyelenggara tekfin (teknologi finansial) dan e-commerce, serta penyelenggara jasa sistem pembayaran menggunakan dan memproses virtual currency, serta bekerja sama dengan pihak-pihak yang memfasilitasi transaksi menggunakan virtual currency," kata Agus Martowardojo.

Pelarangan itu, lanjut Agus, guna mencegah kejahatan, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, dan menjaga kedaulatan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Alasan yang diungkapkan Agus punya dasar. Pada 2013, pendiri situs Silk Road, Ross Ulbricht, ditangkap aparat Amerika karena situsnya ketahuan lebih pada jual beli narkoba daripada menjual bitcoin.

Pada Oktober 2014, seorang mahasiswa Indonesia, DB, ditangkap di Bintaro karena membeli sabu secara online, dan membayarnya dengan bitcoin. Ia memesan sabu itu dari Meksiko.

Oktober 2015, LWK, pelaku teror bom Mal Alam Sutera, meminta ditransfer Rp300 juta dalam bentuk bitcoin. "Tersangka melakukan pemerasan," kata Dirkrimum Polda Metro Jaya, Kombes Krishna Murti.

Pada Desember 2016, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan bahwa pendanaan kelompok terorisme sudah menggunakan mata uang virtual. "Ada yang menggunakan bitcoin," kata Tito kala itu.

Rencananya, Bank Indonesia akan menerbitkan aturan yang lebih tegas soal penggunaan mata uang virtual tersebut pada 2018. "Intinya akan memperkuat ketentuan yang sudah ada," kata Agusman. BI tidak bekerja sendiri, tetapi juga menggandeng sejumlah instansi lainnya, seperti Otoritas Jasa Keuangan.

"Saya kira ini bukan konteks moneter. (Tetapi) dampak ke pelaku usaha dan konsumen, sejauh mana ada perlindungan konsumen," kata Agusman.

Baca juga: Dari Mana Asal Bitcoin, dan Siapa Penciptanya?

Related

Money 5861855899904014492

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item