Mengapa Bisa Terjadi Tindak Pelecehan Seksual?

Naviri.Org - Berita-berita tentang pelecehan seksual akhir-akhir ini makin sering muncul. Bisa jadi, fenomena ini memang baru meningkat a...

Mengapa Bisa Terjadi Tindak Pelecehan Seksual?

Naviri.Org - Berita-berita tentang pelecehan seksual akhir-akhir ini makin sering muncul. Bisa jadi, fenomena ini memang baru meningkat akhir-akhir ini, atau bisa jadi pula sudah sering terjadi sejak lama namun tidak terekspos seperti sekarang. Di masa kini, ketika ponsel berkamera bisa merekam apa saja, dan media sosial bisa menyebarkan berita apa saja, peristiwa-peristiwa pelecehan seksual pun lebih mduah terekspos.

Kenyataannya, peristiwa semacam itu terjadi di banyak tempat. Dari kereta api, busway, sampai di tempat-tempat semacam rumah sakit. Ada apa sebenarnya di balik fenomena ini? Lebih lugas, mengapa tindak pelecehan seksual bisa terus terjadi?

Anggapan umum melihat pelecehan-pelecehan seksual yang menimpa perempuan diakibatkan oleh para pelaku yang tidak bisa menahan nafsunya. Perkara seks menjadi titik berat perhatian mereka. Namun, pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Spektrum kasus pelecehan seksual lebih luas dibanding yang orang-orang kira.

Pertama, masalah cara memandang posisi gender dalam masyarakat. Bukan hal yang langka ditemukan cara pikir bahwa laki-laki superior atas perempuan. Mereka yang mengamini hal ini percaya bahwa laki-laki lebih kuat secara fisik dan emosi daripada perempuan. Karena merasa dominan, para pelaku pelecehan seksual merasa tidak ada yang salah dengan perbuatannya, apalagi jika didukung oleh lingkungan pergaulan yang kerap melakukan hal serupa.

Tak perlu jauh-jauh sampai aktivitas seksual, perkara mengerling, menggoda secara verbal, atau melontarkan lelucon porno kepada korban pun menjadi hal-hal dalam keseharian yang sering kali dinormalisasi para pelaku pelecehan seksual. Bahkan, bagi sebagian pelaku pelecehan seksual, aktivitas yang mereka lakukan terhadap korban tidak lebih dari bersenang-senang atau mengatasi kebosanan.

Lebih lanjut, karena adanya normalisasi pelecehan seksual, pelaku cenderung menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya, seperti menggunakan alasan pakaian yang dikenakan korban, atau gestur-gestur korban yang dianggap sugestif secara seksual, padahal tidak demikian maksud korban. Dari kacamata psikologi, hal ini tergolong bentuk mekanisme perlindungan diri dengan cara menghindari penyalahan atas perilaku pelaku. 

Normalisasi atau penyalahan perempuan yang dilecehkan ini dapat disokong oleh orang dari kalangan apa pun yang berpegang pada budaya patriarki. Di Mesir, pengacara konservatif Nabih al-Wahsh, sempat mengatakan bahwa perempuan yang memakai jeans sobek patut mendapat kekerasan seksual.

“…Adalah hal patriotik untuk melecehkannya [perempuan yang memakai jeans sobek] dan kewajiban bangsa untuk memperkosanya,” ujar al-Wahsh seperti dikutip dari BBC. Atas pernyataannya ini, al-Wahsh dituntut sanksi tiga bulan penjara dan denda sekitar 839 poundsterling.

Pelecehan seksual juga bisa terjadi lantaran pelaku mengalami tekanan-tekanan dari lingkungan sekitar sebelumnya. Dalam perkembangannya, tekanan tersebut mendorong mereka untuk menumpahkan emosinya dengan cara melakukan tindakan agresif. Tekanan-tekanan ini dapat bersumber dari permasalahan komunikasi dengan orang lain, isolasi sosial, atau problem pada relasi intim pelaku. Pelaku juga bisa saja pernah mengalami perlakuan buruk dari keluarga atau orang-orang terdekatnya.

Dilansir Egyptian Streets, pembuatan pemisahan gerbong untuk perempuan dan campur dapat menimbulkan efek samping terhadap cara pikir sejumlah laki-laki. Memang benar, affirmative action yang dilakukan dengan cara membuat ruang khusus perempuan bertujuan untuk melindungi perempuan dari tindakan tidak menyenangkan.

Namun, menurut Rebecca Chiao, penggagas Harassmap—organisasi nirlaba yang menyuarakan kampanye anti pelecehan seksual di Mesir—segregasi gerbong ini bisa menciptakan atmosfer di mana laki-laki percaya bahwa perempuan yang memilih gerbong campur memang ingin dilecehkan.

Pelaku pelecehan seksual mengetahui bahwa aksinya adalah perbuatan ilegal, tetapi mereka tetap saja melakukan hal tersebut. Ini dikarenakan adanya distorsi kognitif di benak pelaku. Mereka berpikir bahwa ada justifikasi-justifikasi atas perbuatan mereka. Selain berpikir bahwa korban memang ingin dilecehkan, pelaku juga beranggapan bahwa perempuan memang sepantasnya diperlakukan seperti itu, demikian ditulis situs Center for Sex Offender Management. 

Sementara menurut Ellen Hendriksen, Ph.D., psikolog klinis di Boston University's Center for Anxiety and Related Disorders (CARD), ada karakteristik yang dinamakan the dark triad dalam diri pelaku pelecehan seksual. Ditulisnya di Psychology Today, the dark triad mencakup narsisisme, karakter psikopat, dan Machiavellianism.

Karakter Machiavellianism terkait dengan upaya seseorang untuk memanipulasi, membohongi, dan mengeksploitasi orang lain dalam rangka meraih tujuannya. Sedangkan karakter narsisis pada diri pelaku pelecehan seksual terkait dengan kecenderungannya untuk terus mengejar pengakuan bahwa mereka berkuasa atau minta diperhatikan orang-orang sekitarnya.

Karakteristik psikopat akan membuat pelaku merasa tidak takut saat mendominasi korban, dan melakukan tindakan-tindakan agresif yang impulsif. Dalam karakteristik ini pula ditemukan minimnya empati terhadap korban.

Tidak semua orang punya kemampuan baik dalam mengendalikan hasrat, emosi, dan perilakunya. Faktor kurangnya pengendalian diri menjadi alasan psikologis lain yang mendorong aksi melecehkan oleh pelaku. Saat aksi impulsif terjadi, di kepala pelaku tidak terlintas konsekuensi-konsekuensi jangka panjang yang mungkin ia terima.

Kendati tidak semua pelaku pelecehan seksual mempunyai masalah gangguan mental, ada kemungkinan sebagian pelaku memiliki kecenderungan ekshibisionisme—menampilkan alat vital atau aktivitas seksual kepada orang asing. Ekshibisionisme merupakan parafilia yang terjadi secara berulang kali, didasari oleh fantasi-fantasi seks tertentu, dan bisa dikenakan pada orang dewasa atau anak-anak.

Kepuasan seorang ekshibisionis bukan terletak pada aktivitas seksualnya itu sendiri, melainkan pada tindakan menunjukkan kelamin atau masturbasi di depan orang yang tidak mengharapkannya, demikian pendapat James Cantor, associate professor di Toronto Sexuality Centre.

Baca juga: Mencari Akar Kekerasan pada Perempuan

Related

Psychology 3117793015603759926

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item