Good News, Lahirnya Berita Baik di Antara Kabar Buruk

Good News, Lahirnya Berita Baik di Antara Kabar Buruk

Naviri.Org - Selama berpuluh-puluh tahun, media massa yang mengusung berita menggunakan pepatah terkenal di dunia jurnalisme, “bad news is good news”, atau kabar buruk adalah berita baik.

Karena hal itu pula, kita pun lebih sering menerima kabar buruk dari media-media yang kita baca, daripada kabar-kabar baik. Setiap kali kita membaca koran, membuka situs di internet, atau melihat judul-judul berita di linimasa, kita selalu menemukan berita tentang pembunuhan, korupsi, kejahatan, bencana alam, dan lain-lain yang sama buruk.

Media menganggap bahwa berita buruk lebih mudah dijual daripada berita baik. Kabar tentang seorang bupati yang terbunuh, misalnya, lebih menarik perhatian pembaca daripada kabar tentang bupati yang mendapat penghargaan.

Di tengah banyaknya berita buruk, kini mulai muncul jurnalisme aliternatif, yang menyuguhkan berita-berita baik. Perkembangan ini tentu layak diapresiasi, karena setidaknya pembaca mendapat alternatif bacaan yang lebih sehat.

Pada 7 Februari 2018, misalnya, In Better News menurunkan berita dengan pengantar berikut ini:

“Siswa SMP di Texas mengambil-alih kemudi sewaktu sopir bus sekolahnya tiba-tiba mengalami darurat medis saat menyetir. Karson Vega, Siswa Kelas 7, mengemudikan bus ke tempat aman, sementara Kyler Buzek, siswa SMA kelas dua, menelepon 911; sopir itu sudah pulang dari rumah sakit dan sedang dalam masa penyembuhan: ‘Saya sangat bangga kepada para siswa kami, karena dalam situasi kritis, orang perlu mengambil inisiatif, dan mereka melakukannya.’”

In Better News merupakan newsletter harian milik Erin Ruberry, mantan jurnalis Huffington Post dan Discovery Communications. Dalam newsletter-nya itu Ruberry hanya mengumpulkan berita-berita dari situs lain, memberinya pengantar, dan menyediakan tautan ke artikel aslinya.

Selain kejadian di Texas, pada hari itu Ruberry memberi pengantar singkat mengenai lelaki bernama Paul Thomarios yang mendonasikan mobil mainan sebanyak 17.000 kepada pasien anak kecil di Rumah Sakit Anak Akron dan usaha pemerintah kota Los Angeles menggalang dana bagi tuna wisma lewat pembuatan kotak amal berbentuk parking meter. Dalam newsletter-nya itu Ruberry pun menautkan video-video lucu dan menggemaskan, biasanya binatang peliharaan.

Hal mirip dilakukan pula oleh Desiree Shoe, jurnalis The New York Times. Seminggu sekali Shoe mengumpulkan berita-berita, memberinya pengantar, dan menyediakan tautan ke artikel aslinya. Rubrik yang ia asuh itu bernama “This Week in Good News.”

David Beard menyebut keduanya dalam artikel "Turning to ‘Good News’ in Troubled Times" di poynter.org, sebagai dua contoh dari gejala mempromosikan berita-berita yang mengandung “kabar baik”. Beard menyebut keduanya telah "menemukan peluang untuk melawan arus".

Penulisan “berita baik” sebenarnya sudah ada sejak 1993 silam. The Positive News yang didirikan Shauna Crockett-Burrows merupakan media pertama yang menggunakan pendekatan baru dalam jurnalisme. Ia mencanangkan tujuan “untuk melawan negativitas dalam media arus utama dan memberitakan orang-orang serta inisiatif-inisiatifnya dalam menciptakan dunia yang sejahtera dan berkelanjutan.”

“Bentuk jurnalisme yang lebih positif tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan kita,” kata Seán Dagan Wood, dikutip Columbia Journalism Review, “tetapi juga akan membuat kita terlibat dengan masyarakat, dan itu akan membantu mempercepat proses ditemukannya solusi potensial untuk masalah-masalah yang kita hadapi.”

Dalam perkembangannya, oplah The Positive News mencapai 50.000 eksemplar untuk memberitakan berbagai perubahan positif di berbagai bidang kehidupan, seperti  “ekonomi baru, agrikultur organik, dan energi terbarukan.” The Positive News pun memiliki beberapa edisi seperti di Spanyol, AS, Argentina, dan Hongkong.

Sejak saat itu, tren menulis berita positif menyebar. Banyak media lain, selain The Positive News, yang mengkhususkan memuat berita positif, misalnya seperti Good News Network.

Dari segi bisnis pun, aktivitas jurnalistik ini cukup menjanjikan. Konten berita positif kemungkinannya lebih banyak dibagikan dibanding berita konvensional. Jessica Prois, editor eksekutif Good News dan Impact milik Huffington Post, memberi kesaksian:

“Pengunjung berita 'Good News' dua kali lebih besar kemungkinannya untuk membagikan atau memberi komentar, daripada jika hanya membaca berita HuffPost biasanya,” katanya kepada Laura Olivier dari The Guardian.

Namun, bagi sebagian jurnalis, usaha menyeimbangkan berita buruk dengan hanya membuat berita baik dipandang tidak cukup. Banyak media yang memuat berita-berita positif lebih mirip infotainment daripada jurnalisme. Padahal ada perbedaan antara berita positif dan berita yang mengaplikasikan jurnalisme konstruktif.

David Bornstein, salah satu pendiri Solution Journalism Network, menjelaskan perbedaan keduanya. “Solusinya bukan memproduksi lebih banyak berita positif, melainkan menciptakan lebih banyak pengetahuan, berupaya sungguh-sungguh memahami bagaimana dunia ini bekerja, dan kekuatan apa yang bermain sewaktu [kita] mencoba memecahkan masalah-masalah ini,” katanya pada Lene Bech Sillesen dari Columbia Journalism Review.

Baca juga: Masa Depan Bisnis Media Online di Indonesia

Related

Psychology 8984395440011495356

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item