Kontroversi Tes Keperawanan untuk Pengantin Baru

Kontroversi Tes Keperawanan untuk Pengantin Baru

Naviri.Org - Di tengah laju modernisasi, masih ada bagian masyarakat yang melanggengkan tradisi atau budaya tradisional. Tentu saja tradisi atau nilai budaya tradisional yang dilestarikan itu tidak masalah, jika memang memiliki hal positif dan tidak merugikan siapa pun. Namun, ada kalanya tradisi atau sesuatu yang bersifat tradisional itu justru negatif, dan berpotensi merugikan pihak tertentu.

Seperti tes keperawanan untuk pengantin baru, yang masih diselenggarakan oleh sebagian masyarakat di Negara Bagian Maharashtra, India barat. Tradisi itu, karena dinilai merugikan perempuan, kini memunculkan gerakan untuk menghentikan praktik yang disebut 'menghina' tersebut.

Uji keperawanan dianggap sebagai bagian penting dari proses pernikahan yang diadakan dalam masyarakat adat, dan diawasi oleh panchayat atau lembaga desa, yang sangat berpengaruh. Masyarakat adat Kanjarbhat itu memiliki anggota sekitar 200.000 orang.

Suami bisa membatalkan pernikahan

Pada malam pertama, pasangan pengantin diberi sprei berwarna putih, dan dibawa ke kamar hotel, yang disewa oleh lembaga desa atau oleh keluarga pengantin.

Mereka diminta untuk melakukan hubungan badan, sementara keluarga dari kedua mempelai dan anggota dewan desa menunggu di luar. Jika mempelai perempuan mengeluarkan darah ketika melakukan hubungan seksual, maka ia perawan. Namun jika tidak, maka dampaknya bisa berat.

Pengantin laki-laki diizinkan untuk membatalkan pernikahan jika istrinya tidak berhasil 'membuktikan' bahwa ia perawan, dan perempuan bersangkutan dipermalukan di depan umum, bahkan dipukuli oleh anggota keluarga karena sudah 'mempermalukan' mereka.

Praktik ini masih berlangsung, meskipun banyak ahli yang sudah membuktikan ketidakbenaran dari teori bahwa perempuan selalu mengeluarkan darah ketika pertama kali melakukan hubungan seksual.

"Ada banyak alasan seorang perempuan tidak mengeluarkan darah ketika melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya," jelas dr Sonia Naik, seorang ginekolog yang berkantor di Delhi.

"Jika si perempuan telah banyak melakukan olahraga, ada kemungkinan ia tidak akan mengeluarkan darah. Juga jika pasangannya berlaku lembut, bisa tidak terjadi pendarahan, kendati perempuan itu baru pertama kali melakukan hubungan seks."

Vivek Tamaichekar, 25 tahun, meluncurkan kampanye di kalangan anak muda untuk menolak tes keperawanan. Ditegaskannya bahwa praktik "kemunduran" ini harus diakhiri.

"Ini adalah pelanggaran privasi sepenuhnya, dan cara pelaksanaannya sendiri sangat kasar dan menimbulkan trauma. Mereka dipaksa melakukan hubungan intim sementara banyak orang menunggu di luar, dan pengantin laki-laki sering diberi minuman alkohol dan diberi materi pornografi untuk 'mendidiknya'," kata Tamaichekar.

"Pada hari berikutnya, ia dipanggil untuk menghadiri upacara dan ditanya - dengan kata-kata yang merendahkan - apakah istrinya suci atau tidak suci."

Konspirasi diam

Ketika masih berusia 12 tahun, Tamaichekar menghadiri pernikahan dan menyaksikan orang-orang mulai menyerang mempelai perempuan dengan sepatu dan sandal.

"Saya tidak paham dengan apa yang terjadi," katanya. "Baru ketika dewasa, saya paham dengan yang terjadi."

Ia sendiri berencana menikah sebelum akhir tahun ini. Tamaichekar dan tunangannya sudah memberitahukan kepada panchayat di Pune, kota tempat tinggal mereka, bahwa mereka tidak akan menjalani tes keperawanan. Tapi tak cukup itu saja, karena ia ingin para pemuda di komunitasnya menempuh langkah yang sama, dan mematahkan hal yang disebut sebagai "konspirasi diam".

Ia membentuk kelompok WhatsApp yang diberi nama "hentikan ritual V" dan beranggotakan sekitar 60 orang, sekitar 50% di antara mereka adalah perempuan. Secara bersama-sama, mereka berusaha meyakinkan warga untuk menghentikan pratik itu.

Namun, ada harga yang harus dibayarkan di tataran sosial. Beberapa anggota kelompok itu diserang oleh tamu-tamu lain, yang merasa terganggu ketika mereka menghadiri acara pernikahan di Pune.

Panchayat atau lembaga desa mengatakan, anggota keluarga dari kelompok itu diancam dengan "boikot sosial" jika kelompok itu tidak dibubarkan dan para anggotanya meminta maaf karena berusaha "mencemarkan" masyarakat adat Kanjarbhat.

Bagaimana pun, Tamaichekar bertekad melanjutkan kampanyenya. Serangan yang diarahkan kepada kelompoknya mendapat perhatian media secara luas di India, sehingga tes keperawanan menjadi topik perbincangan di negara itu.

Kini, ia berharap perhatian atas masalah ini akan membantu mengakhiri praktik tersebut selamanya.

Baca juga: Keperawanan Wanita, dari Masa ke Masa

Related

World's Fact 3083890194602001798

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item