Menyoroti Tagar dan Aktivisme di Media Sosial

Menyoroti Tagar dan Aktivisme di Media Sosial

Naviri.Org - Media sosial kini mengalami perkembangan yang mungkin tak terbayangkan sekian tahun lalu. Jika di masa lalu orang-orang hanya menggunakan media sosial untuk berinteraksi atau sekadar pamer diri, kini media sosial juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi. Di media sosial, sebagaimana di dunia nyata, kini muncul para aktivis.

Aktivisme di media sosial umumnya ditandai dengan tanda pagar atau tagar yang mengangkat suatu isu yang sedang disoroti. Biasanya, orang-orang akan menyepakati tagar apa yang akan digunakan, lalu mereka menggunakan tagar itu sebagai bentuk kepedulian pada suatu isu yang sedang diangkat. Kenyataan semacam itu terjadi di berbagai media sosial, meliputi Twitter, Facebook, hingga Instagram.

Penggunaan tagar sebagai wujud kepedulian atau aktivisme mendukung pihak-pihak atau isu tertentu memang telah dimanfaatkan warganet beberapa tahun belakangan ini. Ada alasan mengapa media sosial dan tagar dipilih untuk melakukan aktivisme. Popularitas media sosial di berbagai kalangan membuat pesan aktivisme lebih mudah disebarkan ke banyak orang dan dalam waktu yang lebih singkat.

Menurut data dari The Cultureist pada 2013, sekitar 175 juta cuitan dipublikasikan setiap harinya, sedangkan jumlah foto yang diunggah di Instagram mencapai 40 juta per hari.

Tagar memang bisa menjadi alat yang ampuh untuk mengumpulkan solidaritas massa karena merupakan suatu simbol sederhana yang mudah melekat di benak orang-orang. Saat terjadi aksi terorisme di Paris misalnya, ramai-ramai warganet dari berbagai penjuru dunia menyematkan tagar #prayforparis dalam status, cuitan, maupun gambar yang diunggah di media sosial.

Ada beberapa hal yang membuat aktivisme di media sosial membuahkan hasil positif di kehidupan nyata. Merlyna Lim (2013), dalam jurnalnya yang berjudul Many Clicks, But Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia, mengatakan bahwa terdapat beberapa kriteria yang mendorong kesuksesan suatu aktivisme digital: narasi yang sederhana, kongruen dengan narasi dominan, cenderung berisiko kecil, serta penggunaan simbol-simbol tertentu.

Ketika orang awam dengan mudah memilah mana pihak yang baik dan mana pihak yang berintensi buruk, kemungkinan sukses suatu aktivisme akan makin besar. Kasus Prita Mulyasari yang sempat dituntut RS Omni Batavia pada 2008 lampau, misalnya, berhasil menarik perhatian dan dukungan khalayak lantaran ia dipandang sebagai sosok ibu tak bersalah ketika menyampaikan keluhannya sebagai konsumen.

Lain halnya jika berbicara tentang aktivisme untuk membela hak-hak kaum LGBT. Lantaran narasi dominan di Indonesia masih berpondasi pada nilai-nilai agama dan heteronormativitas, tentunya tidak mudah bagi para aktivis LGBT untuk meraih kesuksesan.

Strategi yang sama dengan aktivisme-aktivisme lain di media sosial pun tak bisa sepenuhnya diandalkan untuk menciptakan kesadaran penerimaan perbedaan orientasi seksual dan kesadaran pemenuhan hak azasi kaum LGBT, sebagaimana orang-orang heteroseksual. 

Begitu suatu wacana ramai diperbincangkan di media sosial, potensi diangkatnya wacana ini di media-media lain seperti televisi, radio, dan surat kabar pun akan meningkat, demikian pendapat Bonilla & Rosa (2015) yang meneliti soal aktivisme tagar #Ferguson sebagai wujud solidaritas terhadap remaja kulit hitam di AS yang ditembak polisi.

Senada dengan Lim, Bonilla & Rosa menyatakan, penggunaan simbol tertentu mampu memompa keberhasilan suatu aktivisme. Tak hanya dengan tagar, aksi dan gambar pun bisa dilibatkan dalam suatu aktivisme di media sosial untuk menarik lebih banyak lagi simpati khalayak.

Dalam jurnal mereka dicantumkan sebuah gambar sekelompok mahasiswa Howard University yang terlihat mengangkat tangan. Gambar tersebut dipublikasikan di Twitter oleh David Flores pada 16 November 2014 dengan dibubuhi tagar #100DaysOfInjustice, #Ferguson, #HandsUpDontShoot.

Meski aktivisme tagar jamak ditemukan di media sosial, beberapa pihak menganggap hal ini potensial berhenti di kegiatan mengklik saja alias clicktivism, atau dalam bahasa Lim, slacktivism. Artinya, warganet yang memublikasikan konten bertagar tertentu hanya sekadar meneruskan aktivitas orang-orang di lingkarannya atau sesuatu yang sedang trending. Sejenak kemudian, kepedulian mereka dianggap akan menguap dan tidak menyisakan tindak lanjut di masa depan.

Namun, benarkah aktivisme tagar merupakan hal remeh temeh? Memang tidak bisa dimungkiri, proses hukum di Indonesia tidak akan terintervensi oleh adanya aktivisme dalam macam-macam bentuk. Kendati demikian, dampak lain yang tak bisa diabaikan pun bisa terjadi akibat aktivisme yang mencuat di media sosial ini.

Tengok saja kasus kriminalisasi Ahok yang memicu aktivisme tagar #lilinforAhok. Masifnya aktivisme ini tak pelak mengundang media-media asing untuk menyoroti situasi sosial politik di Indonesia. Beberapa negara yang tergabung dalam PBB bahkan mendesak Indonesia untuk mencabut regulasi tentang penistaan agama seiring dengan kasus penahanan Ahok silam.

Efektivitas aktivisme di media sosial juga bergantung pada apakah isu yang diangkat menyentuh empati masyarakat atau merupakan isu kolektif. Problem terbesar dari aktivisme tagar adalah sering kali aktivisme menjadi ilusi bahwa dengan melakukan aktivisme tagar saja sudah cukup, terutama untuk isu-isu yang sebenarnya membutuhkan kerja nyata di dunia offline.

Efektivitas suatu aktivisme juga dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan pejabat negara serta kebijakan yang diambil terkait dengan suatu isu.

Dari fenomena-fenomena semacam ini, orang-orang dapat menilai apakah orang-orang yang menggunakan tagar tertentu untuk mengekspresikan keterlibatannya dalam aktivisme hanya sekadar mengklik, mencuit, dan memublikasikan ulang, atau benar-benar menyiratkan kepedulian terhadap isu di sekitar.

Pandangan bahwa media sosial cuma sekadar bagian dari budaya populer yang tidak signifikan terhadap perkembangan situasi sosial politik kini perlu dievaluasi ulang. Beberapa fenomena yang ada justru menunjukkan bukti bahwa media ini bukan sekadar sarana “senang-senang” dan melulu bertujuan untuk pamer diri.

Baca juga: Media, Budaya Populer, dan Kecenderungan Bunuh Diri

Related

Lifestyle 4661425673173145588

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item