Media, Budaya Populer, dan Kecenderungan Bunuh Diri

Media, Budaya Populer, dan Kecenderungan Bunuh Diri

Naviri.Org - Kasus bunuh diri yang dilakukan remaja—yang bisa dibilang cukup sering terjadi di berbagai negara—sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, selain mereka masih muda, kecenderungan itu juga bisa mempengaruhi remaja lain untuk melakukan hal yang sama.

Jika merujuk pada kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan kebanyakan remaja, penyebabnya sering kali karena merasa di-bully. Ini juga kenyataan yang menyedihkan. Seperti kita tahu, seiring kehidupan yang makin lekat dengan media sosial, perilaku bullying bisa terjadi di mana-mana, dan bisa menerpa siapa saja. Karena itulah, banyak pihak menyerukan agar berhenti melakukan praktik bullying kepada siapa pun, karena mengkhawatirkan dampaknya.

Selain media sosial, hal lain yang kerap disoroti terkait kecenderungan bunuh diri pada remaja adalah film-film yang terkesan meromantisasi bunuh diri. Serial film 13 Reasons Why, misalnya, disoroti banyak pihak karena serial itu mengisahkan seorang remaja yang melakukan bunuh diri akibat merasa di-bully. Sebagian pihak bahkan meminta agar para remaja tidak menyaksikan serial tersebut, karena bisa jadi ikut mempengaruhi mereka untuk melakukan hal yang sama.

Benarkah film memang dapat memicu atau mempengaruhi seseorang untuk bunuh diri?

Kritik ataupun pelarangan menonton dan membicarakan film-film tertentu, semisal 13 Reasons Why, di kalangan pelajar/remaja mengindikasikan adanya kekhawatiran sejumlah pihak bahwa produk budaya populer ini mampu menggiring penontonnya melakukan tindakan-tindakan negatif. Berbagai studi pun dilakukan untuk mencari kebenaran dari asumsi ini.

Salah satu penelitian yang menginvestigasi adanya pengaruh produk budaya populer seperti film terhadap perubahan persepsi penonton tentang bunuh diri dilakukan oleh Biblarz et. al. (1991). Sebanyak 119 mahasiswa usia 18-20 tahun yang tidak pernah memiliki niat bunuh diri berpartisipasi dalam studi mereka dan dibagi ke dalam tiga kelompok: penonton film bertema bunuh diri, film kekerasan, dan film dengan tema netral.

Mereka lantas diberi serangkaian pernyataan seputar bunuh diri, agresi, dan rangsangan fisiologis yang dapat dijawab sesuai atau tidak setelah menyaksikan film-film yang diberikan sesuai pengelompokan.

Beberapa pernyataan terkait bunuh diri dan agresi di antaranya “membunuh diri sendiri bukanlah jalan yang baik untuk meninggalkan masalah hidup” dan “orang-orang yang mengeksplotasi orang lain dan membuat mereka menderita patut dibunuh”. Sementara pernyataan seputar rangsangan “jantung saya berdegup cepat”, “napas saya menjadi tidak teratur”, dan “perut saya terasa mual”.

Dari hasil penelitian Biblarz et. al. yang dipublikasikan dalam jurnal Suicide and Life-Threatening Behavior, tidak ditemukan peningkatan persepsi positif terhadap bunuh diri yang signifikan dari ketiga kelompok tersebut. Meski demikian, mereka menyatakan terdapat peningkatan rangsangan fisiologis terhadap ide bunuh diri yang signifikan setelah kelompok pertama menonton film Surviving—film televisi yang menggambarkan bunuh diri dua remaja yang mengalami masalah keluarga.

Secara khusus, mereka yang mengidentifikasi pengalaman diri dengan kisah tragis yang dialami tokoh-tokoh dalam film tentang bunuh diri berpotensi untuk memiliki rangsangan fisiologis yang lebih tinggi, dibanding mereka yang tidak merasakan pengalaman serupa.

Temuan penelitian Biblarz et. al. ini mematahkan asumsi penelitian sebelumnya yang dicantumkan dalam buku Suicide Intervention in School (1989) bahwa film Surviving memberikan implikasi terhadap tindakan bunuh diri di kehidupan nyata.

Di lain sisi, terdapat pemberitaan mengenai fenomena bunuh diri remaja yang dipicu dari konsumsi produk budaya populer lainnya yakni social media game. Dilaporkan oleh situs Metro, permainan bernama Blue Whale dikaitkan dengan kematian 130 remaja di Rusia. Dalam social media game ini, pemain diminta untuk menjalankan sejumlah tugas selama 50 hari.

Setelah menjalankan tugas-tugas dalam permainan tersebut, pemain didorong untuk memenangi permainan dengan cara membunuh dirinya sendiri. Salah satu pemain Blue Whale yang bunuh diri, Yulia Konstantinova (15) dikabarkan meninggal setelah meninggalkan pesan di media sosialnya yang mengatakan "selesai" selepas ia memublikasikan gambar paus biru yang diasosiasikan dengan permainan tersebut.

Mencari tahu penyebab munculnya niatan atau upaya bunuh diri seseorang memang tidak gampang. Banyak sekali faktor pemicu di luar paparan produk budaya populer atau media massa yang memungkinkan seseorang berpikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri seperti praktik pergaulan atau situasi keluarga.

Meski demikian, tidak dimungkiri besarnya peranan media massa dalam membentuk realitas para konsumennya. Maka itu, penting untuk memilah konten media mana yang baik dan tidak baik untuk dikonsumsi. Salah-salah, seseorang bisa turut arus meromantisasi masalah psikologis atau bunuh diri.

Hal ini pada akhirnya bukan membuat situasi lebih baik, melainkan melumrahkan, bahkan cenderung menganggap keren sesuatu yang mestinya ditangani secara serius oleh tenaga-tenaga profesional dan diiringi pendampingan orang-orang terdekat.


Related

Lifestyle 8858901674254771738

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item