Brunei, Negara Kaya yang Terancam Kolaps

Brunei, Negara Kaya yang Terancam Kolaps

Naviri.Org - Kekayaan berasal dari banyak hal. Untuk kekayaan sebuah negara, asal kekayaan bisa dari pariwisata, dari sumber alam yang berlimpah, dan lain-lain. Bagaimana dengan Brunei Darussalam?

Brunei menjadi negara yang kaya-raya karena memiliki sumber alam yang sangat berlimpah, yaitu minyak dan gas. Dengan sumber alam yang kaya itulah, Brunei selama ini tumbuh sebagai negara yang sangat megah, dengan warga yang makmur dan kaya-raya.

Namun, akhir-akhir ini, bisa jadi Brunei sedang menghadapi kebingungan. Pasalnya, minyak dan gas yang menjadi sumber kekayaan mereka terus menyusut jumlahnya, dan diperkirakan akan habis dalam dua sampai tiga dekade mendatang. Jika sumber minyak dan gas itu benar-benar habis, kira-kira apa yang akan terjadi pada Brunei? Jika tidak ada upaya serius memikirkan hal tersebut, tidak menutup kemungkinan kalau Brunei akan kolaps.

Kenyataannya, Brunei sudah sejak lama menyadari masalah ini. Mereka sadar harus mendiversifikasi ekonominya, sebab tak bisa selamanya bergantung pada migas. Sayangnya, sektor non-migas yang menyumbang sekitar 40 persen dari PDB masih cenderung tertatih.

Dalam laporan Nikkei Asian Review tiga tahun lalu, sektor non-migas belum tumbuh sesuai harapan selama periode tahun 2013 dan 2014. Brunei berfokus pada industri pengolahan makanan, konstruksi, dan pariwisata. Tingkat pajak perusahaan juga sudah dipangkas sebesar 18,5 persen demi menghasilkan dorongan yang dibutuhkan.

Persoalannya, Brunei selalu mengandalkan orang asing untuk mengerjakan sektor-sektor itu, baik sebagai investor, pekerja, maupun turis. Sedangkan mata uangnya yang selevel dolar Singapura membuat biaya hidup di Brunei amat mahal—salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.

Untungnya, ada negara adidaya di seberang Laut Cina Selatan (LCS) yang bersedia jadi juru selamat: Republik Rakyat China. Kedua negara barangkali bertolak belakang ideologi politik. Namun uang menyatukan Negeri Tirai Bambu dan Negeri Petro Dolar dengan mesra.

Mengutip laporan Asia Times, saat bank-bank internasional seperti HSBC dan Citibank menyetop operasinya di Brunei usai kontraksi ekonomi akibat turunnya harga minyak, Bank of China datang mengisi kekosongan. Pada 2016, mereka membangun kantor cabang di Brunei untuk memfasilitasi segala investasi yang akan Beijing tanamkan.

Yang Jian, duta besar Cina untuk Brunei, tahun lalu mengatakan bahwa Presiden Xi Jinping mengucurkan duit investasi sebesar $1 triliun sebagai bagian dari program ambisius Belt and Road initiative (BRI). BRI adalah investasi agresif Cina ke negara-negara tetangga, mayoritas dalam bentuk infrasturktur, agar tercipta jalur perdagangan yang lebih solid.

Sejumlah analis menilai kebaikan Cina ini juga dilatarbelakangi motif untuk memperkuat daya tawarnya di Laut Cina Selatan. Buktinya, untuk mendorong perdagangan bilateral kedua negara, pada 2014 lahir Brunei-Guanxi Economic Corridor (BGEC). Dalam transaksi yang bernilai lebih dari $500 juta itu, Brunei makin intim dengan wilayah Guangxi Zhuang yang punya akses langsung ke Laut Cina Selatan.

Hingga detik ini, Cina adalah investor asing terbesar di Brunei. Total nilai investasinya mencapai $4,1 milyar. Cina membekingi pembangunan kompleks petrokimia Kilang Muara Besar yang tercatat sebagai proyek investasi asing terbesar dalam sejarah Brunei. Cina telah mengucurkan duit tahap pertama sebesar $3,4 milyar. Fase kedua nanti akan menelan biaya lebih fantastis: $12 milyar.

Konstruksi kilang diserahkan kepada perusahaan swasta asal Cina yang berkantor di Bandar Seri Begawan, Hengyi Industries International Pte Ltd. Pembangunan fasilitas dan awal operasinya dijadwalkan mulai pada awal 2019. Kompleks ini diprediksi akan menciptakan 10.000 tenaga kerja baru, termasuk 175.000 barel bensin, diesel, dan bahan bakar jet.

Tahun lalu perusahaan Cina lain, Guangxi Beibu GulfPort, menjalin kerja sama dengan Darussalam Assets Sdn Bhd, perusahaan investasi milik pemerintah Brunei. Guangxi Beibu GulfPort bertanggung jawab membangun Muara Container Terminal, pelabuhan terbesar Brunei. Perusahaan Cina tak mau ketinggalan dengan menggarap sektor telekomunikasi dan agrikultur Brunei.

Tahun lalu, Bolkiah meluncurkan “Wawasan 2035”, sebuah rencana jangka panjang dengan tujuan membuat Brunei jadi pusat perdagangan dan keuangan regional dalam dua dekade ke depan. Melalui bantuan Cina, mereka ingin meniru Singapura. Maung Zarni, mantan profesor Asian Studies di University of Brunei, mengatakan ketertarikan Cina pada Brunei didasari pada strategi penguasaan kawasan.

“Vietnam, Singapura, Filipina, Malaysia, dan Indonesia adalah sekutu AS atau minimal waspada dengan Cina. Brunei adalah satu-satunya negara dengan ancaman perlawanan paling kecil soal kedaulatan di laut,” katanya, sebagaimana dikutip Asia Times.

Baca juga: Mengenal Kampung Ayer, Desa Terapung di Brunei

Related

World's Fact 6195556336170318512

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item