Mengenal dan Memahami AI (Artificial Intelligence)

Mengenal dan Memahami AI (Artificial Intelligence)

Naviri.Org - Artificial Intelligence, yang biasa disingkat AI, saat ini menjadi topik yang terus dibahas di mana-mana. Meningkatnya topik AI, setidaknya dilatari karena beberapa hal. Pertama, masih banyak orang yang asing dengan hal tersebut, sehingga berusaha mencari tahu lebih lanjut. Kedua, karena adanya pro dan kontra terhadap AI. Dan ketiga, karena sebagian kalangan menganggap AI sebagai bagian yang memiliki peran penting bagi masa depan dunia.

Jadi, apa sebenarnya yang disebut AI atau Artificial Intelligence?

Secara sederhana, AI merupakan "mesin" yang mampu melakukan berbagai hal yang dipandang membutuhkan kecerdasan ketika manusia melakukannya, seperti memahami bahasa manusia secara natural, mengenali wajah dalam foto, mengemudikan kendaraan, atau menerka buku apa yang kita mungkin sukai berdasarkan buku-buku yang telah kita baca sebelumnya.

Berbeda dengan robot pabrik yang terus menerus melakukan hal yang berulang seperti mengemas suatu produk, AI membuka kemungkinan untuk menyelesaikan suatu tugas setelah melakukan pembelajaran lewat proses trial and error.

AI sudah banyak beredar dalam kehidupan keseharian manusia. Google Assistant yang dapat ditemui pada smartphone Pixel, atau Siri pada ekosistem perangkat keras Apple, dan Cortana pada sistem operasi Windows, mungkin bisa merepresentasikan hal itu. Dan jika lebih jeli lagi, AI yang lebih sederhana sesungguhnya dapat kita temukan pada kalkulator, atau ketika memproses sejumlah data menggunakan Microsoft Excel.

Saat ini, dengan segala keterbatasan teknologi manusia, AI hanya baru bisa berkembang pada tahapan pengolahan data, termasuk Big Data, untuk kemudian melakukan tugas tertentu seperti yang dilakukan oleh Siri, Cortana, dan Google Assistant. AI model ini disebut dengan narrow AI (atau weak AI), yakni AI yang hanya dapat melakukan tugas-tugas yang terbatas.

Namun demikian, teknologi ini tidak berhenti di sini. Ilmuwan tersebut berupaya untuk mengembangkan AI hingga ke sebuah model yang disebut dengan general AI (AGI atau strong AI). Sebuah model di mana AI dapat belajar dan beradaptasi untuk kemudian melakukan hampir setiap tantangan ataupun tugas yang membutuhkan kecerdasan manusia.

Centre For Study of Existential Risk University of Cambridge menuliskan dalam laman resminya, meski saat ini general AI belum mampu diciptakan, banyak peneliti memprediksi AI dengan tingkat kecerdasan manusia itu mampu terwujud di masa depan yang tidak terlalu fana. Mereka memprediksi hal itu akan terwujud dalam tempo 300 tahun hingga dalam tempo 15 tahun, dengan sebagian besar prediksi tersebut jatuh pada tempo 70 tahun.

Mempersiapkan masa depan yang dipenuhi AI

Bayangkan jika general AI menguasai dunia di masa depan. Suasana futuristik tentu saja hinggap pada fantasi kita, di mana segala hal yang kita lakukan, mulai dari memasak hingga mengelola sistem yang kompleks seperti jaringan perkapalan global, akan dengan mudah dilakukan dengan bantuan AI.

Namun seiring dengan makin hebatnya kemampuan AI dan semakin umum fungsinya, potensinya untuk berjalan ke arah yang "salah" pun akan semakin meningkat. Film Terminator, dengan general AI-nya yang disebut dengan Skynet, bisa menjadi gambaran mengenai potensi kehancuran yang mungkin dapat diproduksi oleh AI model itu.

Max Tegmark, Presiden the Future of Life Institute, seperti dikutip dari laman futurelife.org, mengatakan, ketika mempertimbangkan risiko yang mungkin dibawa oleh AI, para ahli memikirkan setidaknya dua skenario besar.

Yang pertama adalah ketika AI diprogram untuk melakukan sesuatu yang bersifat menghancurkan, seperti ketika digunakan untuk perang. Risiko yang saat ini muncul ketika narrow AI digunakan dalam perang, seperti untuk menggerakkan senjata autonomous, misalnya, akan berlipat ganda ketika general AI mengambil alih.

Sementara yang kedua adalah ketika AI diprogram untuk melakukan suatu hal yang menguntungkan, namun ia kemudian membangun sebuah metode yang bersifat destruktif untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut, menurut Max, dapat terjadi ketika manusia gagal menyejajarkan secara utuh tujuan AI dengan tujuan manusia, sebuah hal yang sesungguhnya sangatlah sulit untuk dilakukan.

"Jika sistem super intelligent ditugaskan dalam sebuah proyek geoengineering ambisius, sistem itu mungkin mendatangkan malapetaka pada ekosistem kita sebagai efek sampingnya, dan melihat upaya manusia untuk menghentikannya sebagai ancaman," jelas Max.

Nama-nama besar seperti Chief Executive Officer (CEO) Tesla Motors dan SpaceX, Elon Musk, dan fisikawan genius Stephen Hawking, juga telah mengungkapkan potensi ancaman tersebut. Hawking menggarisbawahi bahwa teknologi primitif AI yang digunakan saat ini sudah sangat berguna bagi manusia, namun ia takut terhadap konsekuensi menciptakan sesuatu yang dapat bersaing atau bahkan melebihi kemampuan manusia.

"[AI] akan dapat berjalan sendiri, dan mendesain ulang dirinya sendiri pada tingkatan yang semakin meningkat," katanya. "Manusia, yang dibatasi oleh evolusi biologis yang lambat, tidak bisa bersaing, dan akan digantikan."

Sementara itu, seperti dikutip dari BBC, tahun 2015 lalu Elon Musk pernah mengatakan kepada mahasiswa the Massachusetts Institute of Technology (MIT) bahwa AI merupakan "ancaman eksistensial terbesar" manusia.

Risiko AI sendiri saat ini sudah dapat dirasakan pada model narrow AI. Orang saat ini sudah terlalu terbiasa untuk menaruh kepercayaan penuh pada sistem canggih yang diciptakan oleh manusia. Padahal, sistem tersebut akan memberikan umpan balik berdasarkan data yang tersedia, di mana data yang tersedia tersebut tidak selalu merupakan data yang ter-input dengan baik. Ujungnya, tidak semua jawaban atau tindakan yang dilakukan oleh narrow AI menjadi sempurna.

Meski demikian, Musk dan sejumlah peneliti lainnya masih tetap meletakkan kepercayaan mereka terhadap AI. Musk, misalnya, telah bergabung dengan sejumlah miliarder lainnya seperti co-founder Paypal, Peter Thiel, untuk memberikan dana bantuan sebesar $1 milyar kepada OpenAI, sebuah perusahaan non-profit yang bertujuan untuk mengembangkan AI untuk manfaat kemanusiaan.

Andrew Ng di Stanford University, yang juga kepala ilmuwan raksasa internet Cina, Baidu, mengatakan bahwa ketakutan pada bangkitnya robot pembunuh itu seperti mengkhawatirkan kelebihan penduduk di Mars.

Di sisi lain, berdasarkan data dari Accenture dan Frontier Economics yang diolah Statista, AI memiliki potensi untuk meningkatkan Gross Value Added (GVA) negara-negara di dunia pada tahun 2035. Pada tahun tersebut, AI diperkirakan dapat meningkatkan GVA Amerika Serikat dari 2,6 persen menjadi 4,6 persen, United Kingdom dari 2,5 persen menjadi 3,9 persen, Belanda dari 1,6 persen menjadi 3,2 persen, dan Jepang dari 0,8 persen menjadi 2,7 persen.

Pendapatan pasar AI global juga diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada tahun 2015 "hanya" mencapai angka $126 miliar, maka pada tahun 2024 diproyeksikan mampu mencapai angka $3 triliun.

Dengan statistik dan manfaat sedemikian rupa, terlepas dari kemungkinan risiko yang dibawanya, potensi AI jelas begitu sayang untuk disia-siakan.

Saat ini, banyak sekali penelitian yang sedang dilakukan untuk menjamin faktor keamanan dari general AI di masa depan. Penelitian itu tidak hanya dilakukan oleh para pengembang model AI tersebut, namun juga universitas dan lembaga independen. DeepMind, yang merupakan bagian dari grup Alphabet (perusahaan induk Google Inc.) merupakan salah satu perusahaan tersebut.

Mereka percaya bahwa AI tetap merupakan kunci menuju masa depan, dan akan menjadi bagian yang lebih terintegrasi dalam kehidupan masyarakat global.


Related

Technology 6398457894397949979

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item