Dampak yang Terjadi dari Perang Dagang AS dan Cina

Dampak yang Terjadi dari Perang Dagang AS dan Cina

Naviri.Org - Perang antara dua negara tidak hanya terjadi dalam bentuk kasar seperti invasi menggunakan senjata, tapi juga dapat terjadi dalam bentuk lain. Salah satunya adalah perang dagang. Sebagaimana kita tahu, masing-masing negara di dunia saling membutuhkan, saling mengirim dan menerima barang dalam jual beli, dan hal itu memungkinkan perekonomian dunia berjalan dengan lancar. Namun, masalah mulai terjadi, ketika ada salah satu pihak “mempersulit” proses itu.

Seperti yang dilakukan oleh Presiden AS terhadap Cina.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan kebijakan yang kontroversial, dan membidik negara-negara yang selama ini dianggap merugikan AS. Kali ini kebijakan baru Trump ditujukan untuk memukul Cina, melalui pengenaan tarif atas barang-barang impor.

AS akan memberlakukan tarif terhadap barang impor Cina senilai 60 miliar dolar AS. Angka itu setara 10% dari impor barang dan jasa Cina yang dikirim ke Amerika Serikat. Trump mengatakan, hal itu baru permulaan. Masih banyak langkah lain yang disiapkan untuk barang dan jasa dari Cina. Padahal, sudah 20 tahun lebih Cina dan AS menjadi mitra dagang karib, sejak Cina masuk menjadi anggota WTO.

”Penting untuk meletakkan aksi ini dalam konteksnya. Pada beberapa hal, Cina akan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari AS, Defisit perdagangan membuka 2 juta lapangan pekerjaan di Cina, dan 2 miliar berkurang di sini,” kata Peter Navaro, Penasihat Senior Trump yang mendorong kebijakan ini, seperti dilansir dari Washington Post.

Defisit perdagangan antara AS dengan Cina memang terus meningkat. Pada tahun 2017, ekspor barang dan jasa AS ke Cina naik menjadi 186,6 miliar dolar AS. Angka itu naik 9,8% dari tahun sebelumnya. Impor dari Cina sebesar 524 miliar dolar AS, naik 9,3%. Artinya, ada defisit pada sisi AS sebesar 337,2 miliar dolar AS. Angka defisit itu naik pesat dibandingkan tahun 1999 yang hanya sebesar 67,4 miliar dolar AS saja.

Trump telah berulangkali menyatakan bahwa defisit perdagangan itu merupakan kelemahan AS. Sebaliknya, para ekonom berpendapat bahwa defisit perdagangan hanyalah indikator yang tidak terlalu penting untuk menunjukkan kinerja perekonomian secara keseluruhan.

Menurut data dari pemerintah, AS mengekspor jet Boeing dan perlengkapan armada pesawat lainnya senilai 16,3 miliar dolar AS. Juga kedelai senilai 12,4 miliar dolar AS, mobil baru dan bekas senilai 10,5 miliar dolar AS, dan mikroprosesor senilai 6,1 miliar dolar AS.

Sebaliknya, AS membeli telepon selular dari Cina senilai 70,4 miliar dolar AS, komputer 45,5 miliar dolar AS, perlengkapan telekomunikasi 33,5 miliar dolar AS, perlengkapan digital 31,6 miliar dolar AS, mainan 26,8 miliar dolar AS, pakaian 24,1 miliar dolar AS, juga perabotan 20,7 miliar dolar AS.

Akan tetapi, sebenarnya AS juga banyak mengirimkan jasa ke Cina. Dalam beberapa tahun belakangan, ekspor jasa AS ke Cina banyak pada bidang pariwisata.

Dari sisi investasi, investasi langsung Cina di AS sekitar 29 miliar dolar AS pada tahun 2017, turun 35% dibandingkan tahun 2016. Penurunan tersebut terkait dengan aturan dari Beijing yang mengetatkan aturan mengenai investasi di luar negeri, khususnya pada bidang perumahan dan industri pariwisata.

Cina juga merupakan pembeli setia surat utang pemerintah AS. Saat ini, pemegang terbesar surat utang AS adalah Cina, lalu Jepang. Cina saat ini memiliki 1,2 triliun dolar AS obligasi pemerintah AS. Sekitar 20% dipegang oleh institusi asing.

Serangan balik

Cina sudah pasti tidak berdiam diri atas serangan dari Trump tersebut. Menteri Luar Negeri Cina, Hua Chunying, mengatakan pihaknya akan berjuang untuk mengakhiri perang dagang. Sementara Wakil Perdana Menteri Cina, Liu He, seperti dilansir dari China Daily, mengatakan pihaknya siap untuk mengeluarkan kebijakan yang melindungi kepentingan nasional.

Menteri Perdagangan Cina, seperti dilansir dari Bloomberg, mengatakan akan memberlakukan bea impor sebanyak 25% untuk impor daging babi AS dan aluminium, dan 15% untuk pipa baja, buah dan minuman anggur. Nilainya mencapai 3 miliar dolar AS.

Itu baru tahap pertama. Cina kemungkinan akan menyerang balik dengan memberlakukan tarif pada barang lain. Boeing disebut sebagai sasaran berikutnya jika perang dagang ini memburuk. Menurut Bloomberg, Presiden China, Xi Jinping, telah memberikan order kepada Boeing senilai 38 miliar dolar pada tahun 2015 ketika berkunjung ke pabriknya di Seattle.

Cina dapat saja membalas dengan membatalkan order tersebut, lalu memindahkan order kepada Airbus. Pengadaan pemerintah Cina juga dapat dibatalkan, nilainya sekitar 490 miliar dolar. Cina tidak menandatangani kesepakatan WTO untuk pengadaan pemerintahan. Jadi, bisa saja Cina berbalik membatalkan order pemerintah kepada perusahaan di AS.

Seperti data yang disajikan di atas, Cina merupakan pembeli terbesar kedelai dari AS, senilai 14,6 USD miliar. Jika Cina tidak lagi membeli dari AS, perusahaan dan pertanian AS akan terpukul. Perusahaan teknologi AS seperti Apple Inc, Intel Corp dan Cisco System Inc juga dapat mengalami dampak pembalasan dari Cina.

“Jelas bahwa pembalasan Cina akan menghantam pertanian AS. Sebagian besar kebijakan Trump malahan merugikan basis pendukungnya, dan ini akan menjadi masalah serius seperti di kawasan Midwest,” kata Greg Valliere, strategis global pada Horizon Investment, seperti dilansir Washington Post.

Tidak semua orang di AS sepakat dengan pengenaan tarif ini. Selain pembalasan Cina, dampaknya juga dirasakan oleh konsumen di dalam negeri. Barang dari Cina akan menjadi semakin mahal.

Di banyak toko AS, barang dengan label "Made in China" mudah ditemukan. Berton-ton kaos, sepatu, plastik, dan barang lainnya buatan Cina beredar luas di pasar AS. Pengenaan tambahan biaya akan membuat barang menjadi semakin mahal. Keluarga dengan penghasilan rendah yang lebih banyak membelanjakan gajinya untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari dan sering kali barang murah dari Cina, akan terpengaruh dengan kebijakan ini.

“Banyak barang yang kami impor dari Cina untuk para pelanggan Walmart,” kata Chad Bown, seorang peneliti senior pada Peterson Institute for International Economics. “Jika mulai ada kenaikan harga pakaian, dan lainnya, keluarga berpenghasilan rendah akan merasakan dampaknya,” tambah Bown, seperti dilansir Washington Post.

Para peritel besar seperti Walmart dan Apple sudah mengirimkan surat kepada Trump agar tidak melakukan hal ini karena akan menimbulkan ketimpangan yang lebih parah. Dalam surat tersebut, mereka meminta Trump agar menerapkan kebijakan yang pro pertumbuhan ekonomi, yang menguntungkan para pekerja AS dan keluarganya.


Related

News 4131686276580711563

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item