Mengenal Sarung, dari yang Termahal Sampai Termurah

Mengenal Sarung, dari yang Termahal Sampai Termurah

Naviri.Org - Sarung adalah bagian hidup banyak orang di Indonesia, khususnya kaum pria. Di wilayah Jawa, misalnya, sarung memiliki aneka fungsi atau manfaat. Sebagai busana, sarung dikenakan ketika melayat orang meninggal, ketika mendatangi acara hajatan atau walimah pernikahan, dan lain-lain.

Sarung juga kerap digunakan untuk keperluan lain, semisal untuk dijadikan semacam jaket saat kedinginan, menjadi selimut, atau bahkan menjadi alas tidur. Di luar itu, tentu saja, sarung juga menjadi pelengkap untuk shalat atau beribadah.

Bentuk sarung yang simpel tampaknya menjadikan benda itu dapat difungsikan untuk berbagai keperluan pemiliknya. Di kalangan anak-anak, sarung bahkan kadang dijadikan sarana untuk menutupi wajah hingga mirip ninja, saat mereka bermain dengan kawan-kawan.

Seperti halnya jenis busana bermerek yang melekat juga status sosial di dalamnya, penggunaan sarung akan berbeda tergantung dengan merek-mereknya. Beberapa mereka memang masuk kategori kelas premium karena harga, bahan, dan kualitasnya.

Misalnya sarung merek BHS sebagai sarung premium. Diproduksi oleh PT Behaestex di Kota Gresik. Disebut premium karena harganya berkisar antara Rp500 ribu sampai Rp1 jutaan. Sama dengan merek sarung Lamiri, hanya saja merek ini kurang dikenal.

Harga sarung BHS dan Lamiri termasuk yang paling mahal di antara sarung-sarung yang lain. Sarung-sarung itu biasanya khusus untuk Jumatan, walimahan, mengisi pengajian, dan acara-acara penting lainnya.

Merek sarung bisa menjadi penanda status sosial bagi pemakainya. Jika di level atas ada BHS dan Lamiri dengan kisaran harga sampai jutaan rupiah, maka di bawahnya ada merek Ketjubung. Harganya berkisar di level paling mahal setengah jutaan rupiah. Sama-sama diproduksi di Gresik, keduanya masih satu rumpun dengan BHS sebagai sarung premium.

Selain merek, sarung juga punya nilai berbeda tergantung dari jumlah volume benang yang digunakan. Bisa bervariasi antara 6.000 benang atau 9.000 benang. Paling tidak, menurut Amin Salim Baysmeleh, pendiri PT Duta Ananda Utama Textil (Dutatex), volume benang akan mempengaruhi keawetan, kekuatan, dan kehalusan sebuah sarung. Artinya, semakin banyak volume benang dalam sarung, harganya akan semakin mahal.

Selain itu, level sarung juga bisa ditentukan dari cara pembuatannya. Dengan mesin atau masih manual. Jika menggunakan tangan, akan ada logo stiker ATBM pada kemasannya. Logo yang berarti “alat tenun bukan mesin”. Pada sarung beberapa merek dengan harga lebih rendah dari BHS, kadang-kadang beberapa merek mengeluarkan sarung dengan pembuatan manual untuk mendongkrak harga penjualan.

Selain kelas premium ada sarung kelas menengah, yang biasa digunakan untuk aktivitas sehari-hari, biasanya harganya berkisar puluhan ribu rupiah seperti Wadimor, Gajah Duduk, atau Cap Mangga dan lainnya.

Sedangkan untuk golongan paling bawah, ada istilahnya sendiri, yakni “sarung kluyur”. Dinamakan “kluyur” karena kain yang digunakan begitu licin sehingga mudah sekali melorot ketika dipakai. Beberapa merek sarung tersebut biasanya digunakan golongan kelas menengah ke bawah untuk kegiatan sehari-hari.

Level status sosial dalam penggunaan merek sarung akan semakin terlihat di dunia pesantren. Dalam lingkungan pesantren, biasanya sarung premium dimiliki oleh kiai sebagai pengasuh, barisan gus atau anak kiai, atau ustaz-ustaz senior.

Baca juga: Mengapa Banyak Orang Suka Warna Biru?

Related

Lifestyle 7619476939208554858

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item