Pasir, Sumber Daya Bumi yang Kini Diperebutkan

Pasir, Sumber Daya Bumi yang Kini Diperebutkan

Naviri Magazine - Minyak dan air adalah dua sumber daya bumi yang sejak dulu diperebutkan, karena memiliki nilai tinggi. Minyak dibutuhkan semua orang untuk berbagai keperluan, khususnya untuk menjadi bahan bakar. Sementara air dibutuhkan semua orang untuk bertahan hidup. Di luar minyak dan air, sebenarnya ada sumber daya bumi lain yang banyak dibutuhkan, namun mungkin selama ini jarang terdengar. Yaitu pasir.

Peningkatan dramatis proyek konstruksi di seluruh dunia menciptakan permintaan besar akan pasir, bahkan di kota yang dikelilingi oleh komoditas ini. Uni Emirat Arab, misalnya, mengimpor pasir, batu, dan kerikil, senilai $456 juta (atau sekitar Rp6 triliun lebih) pada 2014.

Pasir sering kita anggap remeh. Dari gurun pasir ke pantai sampai ke taman bermain untuk anak-anak, pasir tampaknya ada di mana-mana. Namun, sumber daya yang tampak banyak ini mendorong perebutan lahan di seluruh dunia, bahkan menciptakan pasar gelap penyelundupan pasir.

Saat meneliti soal erosi pantai di Negril, Jamaika, sekitar enam tahun lalu, ilmuwan Pascal Peduzzi berbincang dengan penduduk setempat di sebuah desa nelayan, dan dia tertegun.

Terlepas dari pemodelan geospasial canggih serta alat pemindai jarak jauh yang digunakannya untuk menganalisis kerusakan, dia tak bisa menemukan satu pun alasan yang menyebabkan erosi di pesisir barat negara tersebut.

Penduduk setempat menceritakan padanya tentang keberadaan mafia lokal—pria bersenjata yang datang ke pantai pada tengah malam, membawa berkarung-karung pasir dan menjualnya untuk proyek konstruksi properti di pinggir pantai.

“Saya terkejut bahwa orang-orang bisa berebut pasir,” kata Peduzzi, direktur ilmiah di Program Lingkungan PBB di Divisi Peringatan Dini dan Penilaian. “Saya bekerja 20 tahun di sektor lingkungan, tapi ihwal pasir ini cukup mengejutkan saya.”

Sebagai materi bangunan, pasir sudah dipakai sejak lama. Pada 3500 SM, kebudayaan Mesir Kuno dan Mesopotamia menggunakan pasir, yang terbentuk saat angin dan air menggerus batuan menjadi butiran kaya silika, untuk membuat kaca.

Kini, konstruksi di seluruh dunia menggunakan bahan-bahan alami, yang ditemukan di tambang, sungai, danau, dan lautan, untuk banyak kegunaan, termasuk cat dan semen.

Dengan ledakan jumlah pembangunan di dunia dan munculnya teknologi rekah hidrolik untuk minyak dan gas di Amerika Serikat, kebutuhan pasir terus meroket. Menurut Survey Geologi AS, USGS, pada 2014, 196 juta ton pasir dan kerikil ditambang di seluruh dunia.

Setelah air, pasir adalah bahan alami yang banyak tersedia, kata Peduzzi. Pasir digunakan untuk segalanya, mulai dari filter kolam renang, cetakan besi dan ladang minyak, sampai layar telepon seluler dan pasta gigi.

Pasar pasir dan kerikil dunia diperkirakan mencapai $8,3miliar (sekitar Rp110 triliun lebih) di AS dan £1,7miliar (hampir Rp30 triliun) di Inggris pada 2013, menurut Survey Geologi AS dan Asosiasi Produk Mineral di Inggris. Permintaan pasir dunia diperkirakan akan naik 5,5% per tahun, menurut laporan Freedonia Group, Desember 2014.

Investor yang siap untuk menanggung ketidakpastian, menembus pasar yang terfragmentasi dan mengambil risiko lingkungan bisa mendapat keuntungan dari pertumbuhan keinginan akan komoditas global ini.

Selama bertahun-tahun, pasar pasir dunia cukup 'membosankan,' kata Sonny Randhawa, wakil presiden bidang penelitian sektor energi di D.A. Davidson, perusahaan investsasi yang berbasis di Oregon. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pasar pasir menjadi sangat besar atau terlalu sedikit, terutama di AS.

Permintaan pasar dunia yang tak seimbang

Permintaan akan pasir tersebar tak merata di seluruh dunia. Ledakan pembangunan di Cina dan India meningkatkan kebutuhan pasir di pasar-pasar tersebut. Secara global, Cina menyumbang seperlima dari impor pasir dunia, menurut Cabang Statistik Perdagangan PBB.

Akibat pembangunan bendungan-bendungan baru, jalanan, bangunan serta pabrik, pasir yang digunakan negara itu dalam empat tahun terakhir lebih banyak dibandingkan AS dalam seabad terakhir, menurut Peduzzi.

Cina juga sudah menimbun pasir dalam jumlah besar ke karang-karang untuk membentuk pulau baru, dan memperluas kekuasaannya di Laut Cina Selatan. Bahkan Uni Emirat Arab mengimpor pasir, batu, dan kerikil senilai $456 juta (sekitar Rp6 triliun lebih) pada 2014, menurut PBB. Meski berada di gurun pasir, pasir imporlah yang membangun Dubai.

Pesatnya proyek konstruksi di Cina berarti ada permintaan pasir dalam jumlah besar – Cina kini menyerap seperlima impor pasir dunia.

Sementara di Inggris, kebutuhan pasir menurun dengan semakin sedikitnya pembangunan baru, dan materi daur ulang mendapat dukungan politik besar. Permintaan batu, kerikil, dan pasir, sekarang berada 25% di bawah level 2007, menurut Asosiasi Produk Mineral Inggris.

Di Amerika Serikat, meningkatnya rekah hidrolik atau 'fracking' sudah memunculkan minat besar akan pasir. Pada 2013, produksi pasir untuk sumur-sumur fracking lebih tinggi 19 kali lipat dari satu dekade sebelumnya, menurut USGS.

Proses tersebut melibatkan injeksi air, pasir, dan zat kimiawi, ke sebuah sumur yang dibor secara horizontal ribuan meter di bawah permukaan bumi pada formasi batu untuk mengambil minyak bumi dan gas.

Meski pasar untuk pasir industri mengikuti pertumbuhan ekonomi di AS, permintaan akan pasir frac sama tak menentunya seperti harga minyak. Dari 2011 sampai 2014, permintaan pasir frac meningkat dua kali lipat, dari 24 juta ton ke 59 juta ton, tapi kemudian turun tahun lalu, menjadi 50 juta ton.

Namun, saat harga minyak dunia turun, permintaan pasir meningkat, sebagian besar karena peningkatan jumlah pasir menuju ke sumur-sumur baru untuk mengambil semakin banyak minyak bumi, kata Marc Bianchi, direktur pengelola di Cowen and Company.

Karena teknologi rekah hidrolik menjadi semakin baik dalam mengambil jumlah minyak per sumur, jumlah pasir yang digunakan juga meningkat dua kali lipat, dari 2.000 ton per sumur di kuartal kedua 2013, menjadi 4.400 ton di kuartal keempat pada 2015.

Cara berinvestasi

Butuh kocek yang dalam dan semangat pionir untuk membeli tambang pasir atau sebuah fasilitas lepas pantai.

Banyak negara mengatur perdagangan pasir, memberikan izin dalam jumlah terbatas untuk mencegah penambangan berlebihan. Dan teknologi untuk mengekstraksi, memproses, dan memindahkan pasir akan sangat mahal bagi investor individu.

Bahkan berinvestasi di perusahaan pasir yang sudah ada pun membutuhkan upaya mengupas lapisan kompleks di rantainya, dari perusahaan keluarga yang kecil dan memiliki satu tambang, sampai pemain multinasional seperti Sibelco Group asal Belgia, perusahaan 144 tahun yang sudah beroperasi di 41 negara, atau perusahaan Heidelberg Cement asal Jerman yang menjual dan membeli semen di 40 negara, dan memiliki serta mengoperasikan fasilitas pasir di seluruh dunia.

Sebagian besar pasar yang terfragmentasi ini terfokus secara regional. Di Eropa, Asosiasi Produsen Silka Industri Eropa menyimpan daftar komprehensif para pemain besar di benua tersebut.

Di Amerika Serikat, menurut USGS, 230 perusahaan memiliki 335 penambangan pasir di 35 negara bagian. Dalam beberapa tahun terakhir, empat perusahaan pasir AS sudah mulai menjual saham mereka di Bursa Efek New York.

Dua perusahaan—Emerge Energy Services dan Hi Crush Partners—berfokus pada pasar pasir frac, sementara Fairmount Minerals dan U.S. Silica juga memiliki divisi pasir industri.

Karena mereka baru saja menjual saham, sulit untuk menghitung pemasukannya. Tapi dengan harga minyak bumi yang tak bisa diprediksi, investor yang siap mengambil risiko harus juga siap dengan ketidakmenentuan pasar. Baik Randhawa dan Bianchi percaya bahwa U.S. Silica, yang sudah berdiri sejak 1900, adalah yang terbaik dalam menghadapi ketidakmenentuan itu.

Menurut mereka, banyaknya konsumen setia perusahaan tersebut bisa menjadi sumber pemasukan yang stabil, bahkan saat permintaan pasir frac mulai menurun. Selain itu, perusahaan tersebut juga mengeluarkan berbagai produk pasir baru, seperti menambahkan lapisan anti-mikroba, untuk pasir filter kolam renang.

Kekhawatiran masa depan

Pada akhirnya, ada kekhawatiran legal dan lingkunan yang harus dipikirkan di seluruh dunia. Pantai-pantai sudah mengalami erosi rata-rata 40 meter, dari 1968 sampai 2008, kata Peduzzi.

Di beberapa area, seperti South Carolina dan California di AS, erosi dari penambangan berlebihan dan pemanasan global sudah terjadi sejauh ratusan meter. Di berbagai belahan dunia, pulau-pulau sudah menghilang.

“Kita memang masih punya pasir dalam jumlah banyak,” kata Peduzzi, tapi “karena kita sangat banyak menggunakannya, maka pasir menjadi jarang. Tidak berarti kita kemudian berhenti menggunakan pasir, tapi kita harus sedikit berhati-hati.”

Baca juga: Impian Manusia Menambang di Luar Angkasa

Related

Insight 491810000997008079

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item