Akibat Terlalu Banyak Penduduk, Hong Kong Kini Menghadapi Masalah

 Akibat Terlalu Banyak Penduduk, Hong Kong Kini Menghadapi Masalah

Naviri Magazine - Idealnya, jumlah penduduk di suatu kota atau negara berimbang dengan luas wilayah yang ditempati. Kota atau negara yang kecil mestinya memiliki jumlah penduduk yang lebih kecil dibanding kota atau negara yang wilayahnya lebih luas. Karena, jika jumlah penduduk tidak imbang dengan luas wilayah, hasilnya adalah masalah.

Salah satunya adalah masalah perumahan. Bagaimana pun, luas lahan terbatas, dan kelebihan jumlah penduduk akan menjadikan sebagian orang tidak memiliki tempat tinggal.

Hal semacam itu kini terjadi di Hong Kong. Sebagai wilayah yang tak terlalu luas, Hong Kong menghadapi masalah lahan bagi penduduknya. Lahan di wilayah mereka sudah sangat padat, sementara ada banyak orang yang kini belum memiliki rumah. Belakangan, Hong Kong berencana membuat pulau buatan di atas laut, untuk tempat tinggal orang-orang yang belum punya rumah.

Rencananya, Laut Cina Selatan bakal menjadi panggung masa depan dystopian Hong Kong, dimana 1,1 juta orang yang telantar karena krisis perumahan diharapkan akan tinggal di pulau-pulau buatan manusia, dalam 30 tahun mendatang.

Pejabat eksekutif Administrasi Hong Kong, Carrie Lam, menjelaskan rancangan pihaknya mengembangkan sebuah proyek geoengineering ambisius, dalam pidato pekan lalu. Proyek yang diberi nama 'Lantau Tomorrow Vision' itu direncanakan bisa menambah 17 kilometer persegi tanah dekat Pulau Lantau, nama pulau terbesar wilayah administratif Hong Kong yang terletak di pesisir Sungai Pearl.

Lokasi ini dipilih dari berbagai daftar calon lokasi lainnya. Pemerintah Hong Kong belum menentukan harga untuk proyek ini, tetapi media lokal telah memperkirakan anggarannya mencapai HK$500 miliar. Amat fantastis.

"Visi proyek ini bertujuan untuk menanam kepercayaan dalam masyarakat Hong Kong demi kemajuan ekonomis, memperbaiki kehidupan warga, dan memenuhi kebutuhan karir dan perumahan mereka," ucap Lam dalam pidatonya.

Selama delapan tahun berturut-turut, Hong Kong dijuluki pasar properti paling mahal di dunia, menurut survei Demographia International Housing Affordability, yang dilakukan di 300 kota berbagai negara. Harga rata-rata per meter persegi mendekati US$15.000 (setara Rp228,1 juta).

Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa apartemen di Hong Kong rata-rata termasuk berdimensi paling kecil di dunia (45 meter persegi). Minimnya lahan yang dapat dikelola dan jumlah populasi yang sangat padat—data terakhir menyebut 7,3 juta orang menempati sekitar 1.105 kilometer persegi—serta ketertarikan banyak migran yang terus meningkat untuk tinggal di pusat teknologi Asia ini, membuat banyak warga tertinggal.

Ada populasi yang sama sekali tidak sanggup membeli rumah di wilayah khusus Tiongkok tersebut, sekalipun mereka berusaha mencicil sampai anak cucu kelak.

Penambahan tanah dan perumahan di Hong Kong memang punya daya tarik sebagai solusi untuk krisis perumahan di wilayah ini. Kawasan reklamasi diramal mampu menyediakan 260 ribu hingga 400 ribu unit perumahan, sementara 70 persen darinya merupakan perumahan umum untuk 700 ribu hingga 1,1 juta orang (setara 15 persen dari total penduduk wilayah khusus Tiongkok tersebut), menurut keterangan pemerintah Hong Kong.

Lantau Tomorrow Vision merupakan proyek reklamasi terbesar Hong Kong, sebuah proses pembuatan pulau di tengah laut. Membangun sebuah pulau tentu saja tidak mudah. Di Hong Kong, metode yang digunakan mencakup pengerukan dan injeksi semen pada dasar laut. Sekitar 6 persen dari permukaan Hong Kong merupakan tanah reklamasi yang ditempati 27 persen penduduknya.

Aktivis lingkungan percaya, proyek ini dapat merusak ekosistem di sekitar daerah reklamasi secara permanen. Pada Agustus lalu, World Wildlife Fund (WWF) menganggap reklamasi sebagai "solusi terakhir yang sebisa mungkin dihindari" untuk krisis perumahan Hong Kong. WWF mendesak pemerintah Hong Kong untuk berkonsultasi dengan para pecinta lingkungan sebelum melanjutkan proyek ini.

Ahli ekologi memperkirakan, pulau-pulau buatan tersebut dapat memusnahkan perikanan dan mengganggu arus angin dan laut. Polusi suara dari konstruksi pulau-pulau tersebut juga dapat membahayakan lumba-lumba putih Cina, jenis lumba-lumba lokal yang populasinya sudah mulai berkurang drastis.

Dampak langsung yang mungkin segera timbul akibat proyek reklamasi ini adalah banjir merusak akibat perubahan iklim. Sejak akhir abad 20, permukaan laut Hong Kong diperkirakan meningkat lebih dari satu meter.

Menurut Leung Wing-mo, mantan asisten direktur observatorium pemantauan cuaca Hong Kong, yang berbicara dengan South China Morning Post, di Hong Kong, Shanghai, dan Tianjin, banjir pesisir dapat memindahkan sebanyak 45 juta orang jika suhu global terus memburuk.

"Untuk mengurangi risiko kebanjiran, ya tentunya perumahan yang dibangun semakin tinggi di atas permukaan laut, semakin baik," ujar Gabriel Lau Ngar-cheung, pakar dari Institut Lingkungan Hidup, Energi, dan Keberlanjutan Hong Kong, mengenai Lantau Tomorrow Vision pada South China Morning Post. "Tapi pasti harga jualnya akan jauh lebih tinggi."

Ringo Mak Wing-hoi, salah satu pendiri organisasi perubahan iklim lokal 350 Hong Kong, menjelaskan bahwa aksi menyesuaikan infrastruktur pada pulau reklamasi untuk melawan kenaikan tinggi permukaan laut bisa membuat harga proyek ini dua kali lebih mahal.

Risiko-risiko ini bukan hanya sekadar teori. Bulan lalu, topan Mangkhut mengguncang Hong Kong dengan angin secepat 172 kilometer per jam. Badai-badai serupa disangka akan lebih sering terjadi. Beberapa minggu sebelumnya, Topan Jebi membanjiri landasan terbang Kansai International Airport di Jepang yang kebetulan dibangun di atas tanah reklamasi, hingga penumpangnya terdampar.

Dalam pidatonya, Lam mengklaim bahwa pulau reklamasi akan menjadi pulau yang "pintar, hijau, dan tangguh menghadapi perubahan lingkungan dan iklim." Pulau tersebut juga akan memanfaatkan energi terbarukan dan teknik pengolahan limbah terkini.

Klaim mulai muncul agar proyek reklamasi memperoleh dukungan. Janji otoritas Hong Kong, “usaha konservasi akan diprioritaskan dalam proses pembangunannya”. Meski, tentu saja, beberapa kelompok pecinta lingkungan menyangsikan komitmen tersebut.

Pihak lain yang menentang proyek reklamasi berargumen bahwa Task Force on Land Supply—badan pemerintah yang dibentuk Lam—terkesan buru-buru menyetujui usulan Lam, walaupun jelas-jelas tidak menguntungkan publik Hong Kong.

Salah satu indikasinya adalah proyek perumahan di pulau reklamasi tersebut baru akan dibuka pada 2032, sementara banyak keluarga di Hong Kong yang rata-rata sudah mengantre selama lima tahun untuk mendapatkan rumah.

Selain itu, sebuah jajak pendapat pemerintah Hong Kong pada 2016 yang menghimpun 7.550 komentar dari penduduk Hong Kong menunjukkan bahwa nyaris tiga perempat warga Hong Kong menolak usulan pembuatan pulau reklamasi di dekat pulau Lantau.

Kontroversi seputar Lantau Tomorrow Vision tak serta merta menegasikan fakta bahwa solusi efektif masalah perumahan di Hong Kong harus segera ditemukan. Krisis ini memaksa sejumlah developer bereksperimen dengan menyediakan 'nano flat', sebutan untuk bangunan bertingkat super tinggi, dan pemukiman permanen di atas kapal pesiar.

Dan meskipun pulau buatan manusia bukanlah fenomena yang benar-benar baru—sejumlah pulau buatan di Asia Timur sudah ada sejak tahun 1600-an—pulau reklamasi kini sering dianggap sebagai solusi masalah kepadatan penduduk dan perubahan iklim di seluruh dunia—dan ini mungkin mengindikasikan betapa kelabakannya manusia menghadapi permasalahan ketersedian lahan perumahan.

Baca juga: Ancaman Bahaya di Balik Ledakan Populasi Manusia

Related

World's Fact 3241294293509243684

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item