Perjalanan Hidup Chairil Anwar, Penyair Terbesar Indonesia (Bagian 1)

Perjalanan Hidup Chairil Anwar, Penyair Terbesar Indonesia

Naviri Magazine - Chairil Anwar adalah legenda sastra yang hidup di batin masyarakat Indonesia. Ia menjadi ilham bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi?

Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara.

"Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak. Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah bercerita.

"Suatu kali, kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu."

Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara
buku-buku agama. "Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul.

Chairil Anwar memang seorang "penggila" buku, yang rakus melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitschze, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi.

Tapi dia penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah "ciri-ciri" seniman pada dirinya.

Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin, hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur surat kabar, politikus, atau lainnya, Chairil Anwar semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi.

Tak terurus 

Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. H.B. Jassin punya cerita. "Suatu hari di tahun 1943," tuturnya, "Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli.

“Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru' (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat."

Sejak itu, sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi.

Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat, membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).

Bukan secara kebetulan jika sajak-sajak Chairil memiliki nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembap dalam sebuah ritus pencarian filosofis.

Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja.

Salah kaprah

Buat kita sekarang, sosok Chairil sudah lekat dengan citra kepenyairan Indonesia. Sejumlah larik puisi dari penyair ini telah menjadi semacam pepatah atau kata-kata mutiara yang hidup di kalangan masyarakat: "Aku ini binatang jalang", "Hidup hanya menunda kekalahan", "Aku mau hidup seribu tahun lagi", dan masih banyak lagi.

Atau bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA, siapa penyair kondang Indonesia, niscaya mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul syairnya.

Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, ada yang salah dalam persepsi kita mengenai tokoh satu ini. Ada yang salah kaprah. Sebagai ilustrasi, sajak "Aku" lebih sering dipahami banyak orang sebagai sajak pemberontakan terhadap penjajahan. Padahal tidak. Kata Asrul Sani, sajak itu sebenarnya tidak lebih dari "teriakan putus asa dan rasa getir", termasuk penolakan terhadap sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, yaitu ayahnya.

Sajak "Diponegoro" juga sering dikira sajak perjuangan. Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas.

Ia menulis puisi pertamanya, "Nisan", pada Oktober 1942, ketika ia berusia 20 tahun, ketika teknik persajakan belum dikuasainya benar. Para pengamat sastra menganggap sajak ini sebagai sajak tertuanya. Padahal, menurut H.B. Jassin, sebelum "Nisan", Chairil sudah lebih dulu membuat sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu dia buang.

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.

Sajak "Nisan" ini, yang didedikasikan untuk neneknya yang baru meninggal, merupakan renungan Chairil tentang kematian, yang di matanya teramat misterius, namun tak terhindarkan oleh siapa pun.

Renungannya ini lalu mengantarkan ia pada pertanyan eksistensial: "Bila manusia mati, lantas apa gunanya segala usaha yang dilakukan dalam hidup ini?"

Pertanyaan filosofis itu terus mengejarnya, sementara kehidupan sendiri tidak pernah memberinya jawaban yang memuaskan. Maka bukan hal yang aneh, di saat batin kemanusiaannya begitu merindukan semangat menghadapi hidup yang absurd dengan gagah berani, tiba-tiba Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro sebagai perwujudan yang konkret dari kegairahannya mempertahankan hidup.

Inilah agaknya yang lalu mengilhaminya menulis sajak "Diponegoro", pada Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim dan intens.

Di samping teknik persajakan telah dikuasainya benar sehingga sajak-sajaknya terasa jernih, penghayatannya terhadap kehidupan (dan kematian) yang menjadi subjek puisi-puisinya juga telah mencapai klimaks kematangan sebagai seorang penyair.

Sajak pertama yang ditulis Chairil pada 1949 (tahun kematiannya) adalah "Chairil Muda, Mirat Muda", dengan tambahan judul kecil "Di Pegunungan 1943".

Sajak ini merupakan kenangan Chairil terhadap saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya—sebuah perasaan yang wajar timbul pada orang-orang yang menyongsong kematian. Di akhir sajak tersebut ia sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara yang ringan.

Agaknya, kematian bukan lagi sesuatu yang menjadi objek obsesinya, melainkan sebagai kenyataan yang sederhana, sama sederhananya dengan udara di muka bumi.

Dalam sajak "Yang Terampas dan yang Putus", juga ditulis pada 1949, Chairil malah secara jelas menulis kesiapannya untuk menghadapi kematian. Ia tiba-tiba menyadari bahwa impuls-impuls kehidupan tidak pernah sepenuhnya diam.

Demikian pula dalam sajak "Derai-Derai Cemara", yang ia tulis sesudahnya. Dalam sajak yang ia tulis setelah percakapan panjang dengan dua sahabatnya, Rivai Apin dan Asrul Sani, Chairil kembali menegaskan bahwa kehidupan adalah sebingkai misteri yang tidak bisa kita temui artinya, tapi pada saat yang sama kita memiliki impuls untuk mempertahankannya.

Baca lanjutannya: Perjalanan Hidup Chairil Anwar, Penyair Terbesar Indonesia (Bagian 2)

Related

Figures 1222262301307629062

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item