Jakarta Masuk 10 Ibu Kota dengan Polusi Udara Terburuk di Dunia

Jakarta Masuk 10 Ibu Kota dengan Polusi Udara Terburuk di Dunia

Naviri Magazine - Data terbaru tentang kota-kota paling tercemar di dunia telah dirilis, dan mengonfirmasi bahwa Asia berada dalam krisis besar terkait polusi udara.

Laporan yang dirilis oleh Greenpeace dan perusahaan perangkat lunak IQAir AirVisual, menunjukkan bahwa 22 dari 30 kota paling tercemar di dunia berada di India. Lima di Tiongkok, dua di Pakistan, dan satu adalah ibu kota Bangladesh, yakni Dhaka.

Sementara India mendominasi daftar secara jumlah, Bangladesh sebenarnya negara yang paling tercemar di dunia ketika dikaitkan oleh populasi, diikuti Pakistan dan India. Indonesia berada di posisi ke-11.

Laporan itu menilai 3.000 kota dan menemukan bahwa 64 persen di antaranya memiliki tingkat Particulate Matter 2.5 (PM2.5) lebih tinggi daripada pedoman keselamatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Laporan tersebut mengamati data kualitas udara 2018 yang menilai tingkat PM2.5—campuran partikel padat dan cair berdiameter 2,5 mikrometer atau lebih kecil—yang mengambang di udara. Saking kecilnya partikel itu, ia bisa terisap jantung dan menimbulkan masalah kesehatan.

Paparan polusi PM2.5 meningkatkan risiko penyakit seperti kanker paru-paru, strok, serangan jantung, dan penyakit pernapasan, termasuk gejala asma. Rata-rata harapan hidup global turun 1,8 tahun karena polusi udara. Dengan kata lain, jika semua orang menghirup udara bersih, kita akan hidup rata-rata 1,8 tahun lebih lama.

Misalnya untuk anak-anak yang tinggal di Beijing, Jakarta, dan Hanoi, polusi udara meningkatkan risiko kematian akibat infeksi saluran pernapasan hingga 40 persen dan serangan asma hingga 20 persen.

Saat ini, infeksi akut pada pernapasan atas (ISPA) merupakan penyakit dengan kasus terbesar di 16 kecamatan di Kota Jakarta. Sebagai dampaknya, sebanyak 58,3 persen penduduk di Jakarta telah mengeluarkan biaya kesehatan sebanyak Rp 51,2 triliun karena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara selama tahun 2016.

Pada tahun 2018, Jakarta masuk peringkat sepuluh besar sebagai ibu kota negara dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 pada tahun 2018 sangat buruk, di mana pada Jakarta Selatan mencapai 42.2 µg/m kubik, dan Jakarta Pusat mencapai 37.5 µg/m kubik.

Dengan kata lain, konsentrasi PM2.5 di Jakarta empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar WHO, yaitu 10 µg/m kubik. Angka tersebut juga telah jauh melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional pada PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 15 µg/m kubik.

Selain itu, hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan Kedutaan Amerika Serikat yang berlokasi di Jakarta Utara dan Jakarta Selatan mengindikasikan penurunan kualitas udara pada tahun 2018, dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Hasil pemantauan kualitas udara tersebut menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2017, udara Jakarta dengan kategori sehat hanya dapat ditemui sebanyak 11 hari di Jakarta Selatan dan 23 hari di Jakarta Pusat.

Meningkatnya jumlah kendaraan pribadi yang berseliwearn di Jakarta setiap hari menyebabkan kualitas udara menjadi buruk. Namun, sumber polutan lain seperti PLTU yang terdapat di sekeliling kota Jakarta dalam radius 100 km, turut berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi PM2.5.

Laporan tersebut mengindikasikan bahwa Tiongkok memiliki sejumlah keberhasilan dalam perang melawan polusi. Level PM2.5 kota-kota Tiongkok turun sekitar 12 persen yang tercantum dalam laporan antara tahun 2017 dan 2018, The New York Times melaporkan.

"Polusi udara mencuri mata pencaharian dan masa depan kita, tetapi kita bisa mengubahnya," kata Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Yeb Saño kepada The Guardian.

"Kami ingin laporan ini membuat orang berpikir tentang udara yang kita hirup, karena ketika memahami dampak kualitas udara pada kehidupan kita, maka kita akan bertindak untuk melindungi hal apa yang paling penting."

Indonesia memiliki populasi terbesar keempat di dunia, tetapi hanya memiliki satu kantor pemerintah di Jakarta secara nasional, yang baru terhubung secara daring sejak Mei 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai saat ini belum menyajikan data konsentrasi PM2.5 secara real-time yang dapat diakses oleh masyarakat.

Dalam rilisnya, Greenpeace turut menyatakan bahwa peraturan mengenai pengendalian kualitas udara di Indonesia juga sangat usang, yaitu PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang telah berumur 20 tahun. Sehingga perlu direvisi, sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ini.

Related

World's Fact 6985052251466954332

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item